Kembali Kartini harus mau melewatkan hidupnya “terpasung” di dalam rumah, pasrah dengan tradisi yang tidak kenal belas kasih. Si trinil saat belia senang memiliki ayah seorang bangsawan, namun kini dia menanggung pilu karena harus menjadi Raden Ayu yang harus tunduk dengan semua aturan-aturan yang menyengsarakan.
Nasib sangat tidak berpihak pada perempuan, berbeda terbalik dengan para lelaki yang memperoleh hak apa saja, bebas keluar rumah, mengenyam pendidikan, dan lain-lain.
Secuil kisah di atas adalah fenomena yang menjadikan R.A. Kartini merasa harus berbuat sesuatu. Sesuatu yang bisa membawa perubahan. Perubahan pola pikir, perilaku, dan peradaban yang akhirnya hingga kini masyarakat Indonesia sudah menikmatinya.
Pelopor Literasi
Perubahan yang menjadi cikal bakal revolusi pola pikir Kartini adalah ketika dia membaca buku-buku yang diberikan oleh kakaknya, Raden Mas Panji Sosrokartono. Beliau adalah mahasiswa Indonesia yang pertama kali bersekolah di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden.
Bersama dengan kedua adik perempuannya, Kardinah dan Roekmini, mereka bersemangat melahap pengetahuan yang ada dalam buku-buku tersebut. Bak menemukan oase di tengah gurun, mereka yang memang fasih berbahasa Belanda tidak hanya rajin membaca buku namun juga membaca berbagai jurnal-jurnal ilmiah, surat kabar Semarang (De Locomotief), dan majalah Eropa (id.wikipedia.org).
Semenjak itulah, Trio Semanggi (julukan Kartini, Kardinah, Roekmini) ini pun kompak mengguncang tatanan feodal dan memprotes segala tata krama yang merepotkan gerak tubuh serta mengekang pemikiran-pemikirannya.
Saat berusia 16 tahun, akhirnya Kartini dan kedua adiknya terbebas dari masa pingitan. Berkat desakan terus menerus dari Residen Sijthoff dan Ovink Soer kepada ayah Kartini, akhirnya ayahnya mengizinkan mereka untuk mengenal dunia luar (tidak dipingit lagi). Salah satunya, mereka diizinkan untuk berkenalan dengan orang-orang Belanda yang datang ke Jepara.
Orang-orang ini termasuk J.H. Abendanon dan istrinya yang nantinya berjasa mengantarkan mereka melihat cakrawala baru dunia luar. Kartini pun kemudian bersemangat menulis jurnal dan majalah.
Saat itu, masih menjadi fenomena aneh bahwa perempuan menulis. Dan mungkin hanya Kartini satu-satunya perempuan Jawa yang boleh menulis.
Untuk memperluas jaringan dengan dunia luar, Kartini melakukan korespondesi antara lain dengan Cvink Nestenenk (seorang janda dan ipar dari Asisten Residen Jepara yang banyak memberi pelajaran menggambar), J.H. Abendanon (Direktur Pengajaran Hindia Belanda), Rosa Manuela Mandris Abendanon (istri J.H. Abendanon), Stella Zaehandelaar (aktivis gerakan sosialis di Belanda), dan lain-lain. (Rosyadi:2012).