Mohon tunggu...
Nunung Kusumawati
Nunung Kusumawati Mohon Tunggu... Guru - Aktivitas sehari-hari sebagai pengajar SMA di Semarang

Penyuka seni, filsafat, dan berpikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

R.A. Kartini, Ikon Transformasi Pendidikan

20 April 2024   22:00 Diperbarui: 21 April 2024   07:45 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” Ungkapan R.A. Katini tersebut acap kali terngiang di kepala dan menjadi pelecut semangat menatap masa depan. 

Raden Ajeng Kartini, sosok perempuan visioner yang mampu membaca tantangan serta peluang zaman. Julukan Trinil agaknya memang pas disematkan  untuk nama panggilan beliau karena  si Trinil selalu lincah, tidak mau “diam” seperti burung trinil yang suka terbang kesana kemari. 

Putri bangsawan yang cerdas ini sungguh layak untuk selalu kita renungi buah pikirannya serta sepak terjangnya guna menjadi cermin bagi generasi kini utamanya kaum perempuan dalam menata kehidupan bangasa yang lebih baik.

Siapakah Kartini?

Lahir di Mayong, Jepara pada tanggal 21 April 1879, Raden Ayu Kartini adalah putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang wedana yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara. 

Sang ibu bernama Mas Ajeng Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara. 

M.A. Ngasirah adalah istri pertama namun bukan istri utama (garwa padmi). Saat Ayahanda R.A. Kartini akan dilantik menjadi bupati, sesuai tatanan sosial waktu itu, seorang bupati harus memperistri seorang perempuan dari kalangan priyayi atau bangsawan. Karena Ibunda R.A. Kartini bukan dari kalangan bangsawan, maka Ayahanda harus menikah lagi.

Sejak saat itulah “kegelapan” mulai hadir dalam kehidupan Kartini. Dia harus rela menyaksikan “penderitaan” yang dirasakan oleh sang ibu meski sang ibu sangat pandai menyembunyikannya di depan anak-anaknya. 

Pun tangis pilu Kartini kembali pecah, saat “kejamnya” adat mengharuskan dia memanggil ibunya dengan sebutan “yu,” sebutan yang biasa dipakai untuk memanggil seorang pembantu di rumah. dan sang ibu harus memanggil Kartini “ndara” (baca: ndoro). Sebutan “ibu” hanya untuk si “garwa padmi” (ibu tiri Kartini).

Hari-hari Kartini semakin gelap saat ia genap berusia dua belas tahun. Ia harus berhenti sekolah di Europese Lagere School (ELS). Perempuan priyayi harus dipingit sampai datang seorang lelaki melamarnya. 

Kembali Kartini harus mau melewatkan hidupnya “terpasung” di dalam rumah, pasrah dengan tradisi yang tidak kenal belas kasih. Si trinil saat belia senang memiliki ayah seorang bangsawan, namun kini dia menanggung pilu karena harus menjadi Raden Ayu yang harus tunduk dengan semua aturan-aturan yang menyengsarakan. 

Nasib sangat tidak berpihak pada perempuan, berbeda terbalik dengan para lelaki yang memperoleh hak apa saja, bebas keluar rumah, mengenyam pendidikan, dan lain-lain. 

Secuil kisah di atas adalah fenomena yang menjadikan R.A. Kartini merasa harus berbuat sesuatu. Sesuatu yang bisa membawa perubahan. Perubahan pola pikir, perilaku, dan peradaban yang akhirnya hingga kini masyarakat Indonesia sudah menikmatinya.

Pelopor Literasi

Perubahan yang menjadi cikal bakal revolusi pola pikir Kartini adalah ketika dia membaca buku-buku yang diberikan oleh kakaknya, Raden Mas Panji Sosrokartono. Beliau adalah mahasiswa Indonesia yang pertama kali bersekolah di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. 

Bersama dengan kedua adik perempuannya, Kardinah dan Roekmini, mereka bersemangat melahap pengetahuan yang ada dalam buku-buku tersebut. Bak menemukan oase di tengah gurun, mereka yang memang fasih berbahasa Belanda tidak hanya rajin membaca buku namun juga membaca berbagai jurnal-jurnal ilmiah, surat kabar Semarang (De Locomotief), dan majalah Eropa (id.wikipedia.org). 

Semenjak itulah, Trio Semanggi (julukan Kartini, Kardinah, Roekmini) ini pun kompak mengguncang tatanan feodal dan memprotes segala tata krama yang merepotkan gerak tubuh serta mengekang pemikiran-pemikirannya.

Saat berusia 16 tahun, akhirnya Kartini dan kedua adiknya terbebas dari masa pingitan. Berkat desakan terus menerus dari Residen Sijthoff dan Ovink Soer kepada ayah Kartini, akhirnya ayahnya mengizinkan mereka untuk mengenal dunia luar (tidak dipingit lagi). Salah satunya, mereka diizinkan untuk berkenalan dengan orang-orang Belanda yang datang ke Jepara. 

Orang-orang ini termasuk J.H. Abendanon dan istrinya yang nantinya berjasa mengantarkan mereka melihat cakrawala baru dunia luar. Kartini pun kemudian bersemangat menulis jurnal dan majalah. 

Saat itu, masih menjadi fenomena aneh bahwa perempuan menulis. Dan mungkin hanya Kartini satu-satunya perempuan Jawa yang boleh menulis. 

Untuk memperluas  jaringan dengan dunia luar, Kartini melakukan korespondesi antara lain dengan Cvink Nestenenk (seorang janda dan ipar dari Asisten Residen Jepara yang banyak memberi pelajaran menggambar), J.H. Abendanon (Direktur Pengajaran Hindia Belanda), Rosa Manuela Mandris Abendanon (istri J.H. Abendanon), Stella Zaehandelaar (aktivis gerakan sosialis di Belanda), dan lain-lain. (Rosyadi:2012).  

Di awal tahun 1900-an, Kartini dan kedua adiknya sudah memiliki pemikiran yang melampaui zamannya. Mereka sadar betul bahwa untuk mengawali segala perubahan adalah dengan literasi/membaca (pendidikan). 

Literasi yang sekarang ini didengungkan oleh pemerintah khususnya di dunia pendidikan, satu abad silam Trio Semanggi sudah memulainya. 

Kiprah Trio Semanggi yang lain adalah mengajar anak-anak miskin sekitar pendopo kabupaten. Mereka juga ikut membantu pengrajin ukir memasarkan berbagai hasil ukiran di Jepara. 

Kartini dan adik-adiknya tidak hanya menuntut emansipasi wanita, namun juga sebagai pelopor atau cikial bakal bidang literasi, pendidikan, ekonomi kreatif, dan seni. 

Seperti apa yang dituturkan oleh Ibu Asri Miminingtyas yaitu cucu R.A. Sumantri-adik R.A. Kartini/Cucu keponakan pada kanal YouTube IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawanan Nasional Indonesia).

Setelah R.A. Kartini wafat, perjuangan beliau juga dilanjutkan oleh adik-adiknya. R.A. Roekmini masih melanjutkan mengajar di pendopo kabupaten Jepara. 

Sedangkan R.A. Kardinah mendirikan sekolah di Tegal yang bernama Wisma Pranowa. Beliau berpindah ke Tegal karena menikah dengan Bupati Tegal, Raden Mas Ario Reksonegoro X. 

Selain itu beliau juga mendirikan  rumah sakit yang sekarang menjadi RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kardinah, mengorganisir para pengrajin perak di Tegal dan menyelenggarakan bazaar, serta menulis buku khususnya buku-buku tentang batik dan resep masakan.

Perempuan dan Pendidikan

Semua pasti mengamini bahwa majunya peradaban berawal dari seriusnya negeri ini mengurusi pendidikan. Untuk itu, concern pemerintah sangat diperlukan guna mendongkrak gerak lajunya pendidikan. 

Memang, ketika kita berbicara pendidikan tidak bisa sepenuhnya kita serahkan kepada pemerintah saja, tetapi tanggung jawab ini mestinya dipikul oleh semua pihak dari semua elemen masyarakat. Tidak terkecuali peran korporasi yang secara sadar menggelontorkan CSR-nya untuk pendidikan. 

Menggandeng korporasi-korporasi untuk terlibat dalam beragam proyek-proyek pendidikan seperti pemberian beasiswa, menjadi tempat magang, webinar dan workshop bagi para pengajar, hibah untuk penlitian, dan semacamnya adalah langkah bagus untuk terus dilaksanakan.

Selain itu, elemen masyarakat yang diharapkan sekali perannya dalam memberikan akselerasi mutu pendidikan adalah keluarga. Keluarga adalah unsur masyarakat terkecil dan merupakan ujung tombak dalam membangun karakter anggota keluarga. 

Peran strategis ini tentu diambil oleh seorang “ibu” yang memiliki akses dalam segala hal dalam mendidik anak-anaknya. Peran sebagai utradara atau manager urusan pendidikan dalam keluarga dipegang oleh ibu. 

Oleh karena itu perempuan sebagai calon ibu atau sudah menjadi ibu mestinya tidak berhenti untuk belajar. Membaca (baca: mecari ilmu) seyogyanya menjadi kebutuhan sehari-hari yang akan menjadi solusi dalam setiap masalah, termasuk dalam mendidik anak-anak dalam keluarga.

Kiprah Kartini yang juga diikuti oleh adik-adiknya, adalah teladan nyata yang mesti harus ditiru, diperjuangkan oleh kaum perempuan kini. 

Jika Kartini berhasil mendobrak hal-hal yang tidak pas masa itu dan berhasil menciptakan kontrusksi baru atas peran perempuan, maka tidak mustahil perempuan hari ini, dengan ilmu yang diperoleh, skill dan fasilitas yang dimiliki, pasti mampu mengambil peran aktif, bergotong royong menciptakan transformasi pendidikan di Indonesia. 

Kemalasan dan ketidakpedulian adalah pasung yang sesungguhnya, maka segera lepaskanlah tali pasung itu agar jiwa dan pikiran terbebas dari belenggu. Mari bangkit perempuan Indonesia.

Selamat hari Kartini, selamat bertransformasi untuk pendidikan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun