Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Makna di Balik Perilaku Anak Autistik Melalui Functional Behaviour Assessment (FBA)

21 Januari 2025   06:20 Diperbarui: 21 Januari 2025   06:28 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap perilaku memiliki makna. Hal ini berlaku pula pada anak-anak dengan autisme yang sering menunjukkan perilaku unik dan sulit dipahami oleh masyarakat umum. 

Untuk memahami makna tersebut, diperlukan pendekatan ilmiah yang berfokus pada analisis perilaku dalam konteksnya, yaitu Functional Behaviour Assessment (FBA). 

Artikel ini akan mengupas pentingnya FBA dalam memahami perilaku, bagaimana kita dapat melihat autisme sebagai bentuk keragaman, dan pentingnya mengajarkan keterampilan daripada menghukum, sesuai dengan pemikiran John Herner (1998).

Functional Behaviour Assessment: Sebuah Pendekatan Ilmiah

Functional Behaviour Assessment adalah metode sistematis untuk mengidentifikasi fungsi di balik perilaku individu. Proses ini melibatkan pengumpulan data yang mendalam tentang konteks perilaku melalui tiga elemen utama:

  1. Antecedent (Pemicu): Apa yang terjadi sebelum perilaku muncul? Misalnya, suara bising, perubahan jadwal, atau tugas yang sulit.
  2. Behavior (Perilaku): Apa perilaku yang muncul? Misalnya, menangis, berteriak, atau memukul.
  3. Consequence (Konsekuensi): Apa yang terjadi setelah perilaku? Misalnya, anak mendapat perhatian, menghindari tugas, atau memperoleh akses ke benda yang diinginkan.

Melalui analisis ini, kita dapat mengidentifikasi pola perilaku dan memahami bahwa setiap tindakan memiliki tujuan tertentu, seperti untuk mendapatkan perhatian, menghindari situasi yang tidak nyaman, atau memenuhi kebutuhan sensorik.

Misalnya, seorang anak dengan autisme yang sering memukul meja saat belajar mungkin sebenarnya sedang merasa cemas dengan lingkungan yang bising.

Jika kita memahami pemicu tersebut, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih tenang dan nyaman bagi anak tersebut.

Autisme Sebagai Keragaman, Bukan Kekurangan

Autisme sering kali dipandang sebagai gangguan yang harus "diperbaiki". Namun, pendekatan neurodiversitas menekankan bahwa autisme adalah bentuk variasi alami dalam cara manusia berpikir, merasa, dan bertindak. 

Anak-anak dengan autisme bukanlah "tidak mampu berperilaku", melainkan menunjukkan variasi perilaku yang unik.

Sebagai contoh, seorang anak dengan autisme yang lebih suka bermain sendirian tidak berarti ia tidak ingin bersosialisasi, tetapi mungkin ia lebih nyaman dengan cara tersebut.

Pemahaman ini membantu kita melihat bahwa perilaku yang berbeda bukanlah sebuah kekurangan, melainkan bagian dari keunikan individu.

Mengajarkan, Bukan Menghukum: Refleksi dari John Herner

Pada tahun 1998, John Herner menyatakan, 

"If the Child doesn't know how to read, we teach."

"If a child doesn't know how to swim, we teach"

"If a child doesn't know how to multiply, we teach."

If a child doesn't know how to Drive, we teach."

"If a child doesn't know how to behave, we... Teach? Punish?."

Pernyataan di atas mengingatkan kita bahwa apa pun perlu diajarkan, termasuk perilaku. Perilaku adalah sebuah keterampilan yang dapat diajarkan, sama seperti membaca atau pun berhitung.

Namun, sering kali masyarakat cenderung menghukum ketika anak menunjukkan perilaku yang dianggap tidak sesuai. Padahal, menghukum tidak mengatasi masalah. 

Yang diperlukan justru mengajarkan cara berperilaku yang lebih baik. "Teach & reinforce" yang berkelanjutan. Dalam konteks anak dengan autisme, menghukum bahkan dapat memperburuk kondisi, membuat mereka merasa tidak dipahami atau semakin cemas.

Sebagai alternatif, kita dapat menggunakan pendekatan positif untuk mengajarkan keterampilan baru. Misalnya:

Jika seorang anak sering berteriak untuk mendapatkan perhatian, kita dapat mengajarkan cara meminta perhatian dengan kata-kata sederhana atau gestur tertentu.

Jika seorang anak melempar barang untuk menghindari tugas, kita dapat mengajarkan cara meminta waktu istirahat dengan cara yang lebih tepat.

Studi Kasus: Pendekatan FBA dalam Kehidupan Nyata

Mari kita ambil contoh seorang anak bernama Awan, seorang anak autistik non-verbal yang sering menangis setiap kali ada perubahan jadwal sekolah. 

Melalui FBA, kita menemukan bahwa tangisannya muncul karena ia merasa tidak siap menghadapi situasi baru. Dengan memberikan jadwal visual dan penanda waktu yang jelas, Awan dapat lebih memahami apa yang akan terjadi dan tangisannya berkurang secara signifikan.

Contoh lain adalah Hans, seorang anak autistik nonverbal yang juga memiliki disabilitas fisik. Ia sering menolak berinteraksi dengan teman-temannya. 

Setelah dilakukan FBA, diketahui bahwa ia kesulitan merespons sapaan karena ia tidak tahu bagaimana caranya. Dengan latihan bertahap menggunakan kartu visual, ia mulai belajar cara merespons sapaan dan menunjukkan minat untuk berkomunikasi.

Merangkul Perilaku dengan Empati dan Ilmu Pengetahuan

Melalui Functional Behaviour Assessment kita memahami bahwa setiap perilaku memiliki makna. ada pesan yang ingin disampaikan oleh anak melalui perilakunya.

Kita diajak untuk memahami makna di balik perilaku anak, terutama anak-anak dengan autisme. Pendekatan ini membantu kita merancang intervensi yang lebih efektif dan empati terhadap kebutuhan unik setiap anak.

Autisme bukanlah kekurangan yang harus diperbaiki, melainkan keragaman yang harus dihargai. Seperti yang dikatakan John Herner, terus mengajarkan dan memberi penguatan adalah jalan terbaik untuk mendukung anak-anak autis berkembang. 

Dengan begitu, kita tidak hanya membantu mereka beradaptasi dengan dunia, tetapi juga mengajarkan dunia untuk lebih inklusif terhadap mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun