Yang diperlukan justru mengajarkan cara berperilaku yang lebih baik. "Teach & reinforce" yang berkelanjutan. Dalam konteks anak dengan autisme, menghukum bahkan dapat memperburuk kondisi, membuat mereka merasa tidak dipahami atau semakin cemas.
Sebagai alternatif, kita dapat menggunakan pendekatan positif untuk mengajarkan keterampilan baru. Misalnya:
Jika seorang anak sering berteriak untuk mendapatkan perhatian, kita dapat mengajarkan cara meminta perhatian dengan kata-kata sederhana atau gestur tertentu.
Jika seorang anak melempar barang untuk menghindari tugas, kita dapat mengajarkan cara meminta waktu istirahat dengan cara yang lebih tepat.
Studi Kasus: Pendekatan FBA dalam Kehidupan Nyata
Mari kita ambil contoh seorang anak bernama Awan, seorang anak autistik non-verbal yang sering menangis setiap kali ada perubahan jadwal sekolah.Â
Melalui FBA, kita menemukan bahwa tangisannya muncul karena ia merasa tidak siap menghadapi situasi baru. Dengan memberikan jadwal visual dan penanda waktu yang jelas, Awan dapat lebih memahami apa yang akan terjadi dan tangisannya berkurang secara signifikan.
Contoh lain adalah Hans, seorang anak autistik nonverbal yang juga memiliki disabilitas fisik. Ia sering menolak berinteraksi dengan teman-temannya.Â
Setelah dilakukan FBA, diketahui bahwa ia kesulitan merespons sapaan karena ia tidak tahu bagaimana caranya. Dengan latihan bertahap menggunakan kartu visual, ia mulai belajar cara merespons sapaan dan menunjukkan minat untuk berkomunikasi.
Merangkul Perilaku dengan Empati dan Ilmu Pengetahuan
Melalui Functional Behaviour Assessment kita memahami bahwa setiap perilaku memiliki makna. ada pesan yang ingin disampaikan oleh anak melalui perilakunya.