Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Topeng

4 Januari 2025   07:47 Diperbarui: 4 Januari 2025   07:47 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 1: Kelam yang menyelimuti

_Ema melihat pantulan dirinya di cermin toilet kampus, ia melihat tubuh gemuknya dengan wajah bulat berkacamata. Ia juga mengingat semua perlakuan bibi dan sepupunya di rumah serta teman-temannya di kampus. Air matanya menetes, "Ibu, seandainya kau masih ada.." gumamnya lirih._

***

Hujan mengguyur deras ketika Ema tiba di rumah. Pakaiannya basah kuyup, tubuhnya menggigil. Ia baru saja pulang dari kampus, terlambat karena dosen memperpanjang kelas. Bibinya, Bu Mirah, langsung menyambutnya dengan suara nyaring.

"Astaga, kamu ini tidak tahu diri! Lihat lantai yang baru saja aku pel! Sekarang basah semua karenamu!" Bibinya melotot dengan tangan di pinggang.

Ema menunduk, berusaha menjelaskan, "Maaf, Bi. Hujannya tiba-tiba deras, aku ... "

"Diam! Kamu selalu punya alasan! Cepat bersihkan lantainya!" bentak bibinya sambil menyerahkan kain pel dengan kasar. "Setelah itu cepat buatkan kami makan malam. Apa sih bisamu? Sudah pemalas, lamban lagi!" lanjutnya.

Ema menghela napas, tubuhnya yang lelah semakin terasa berat. Sejak kepergian orang tuanya, rumah ini bukan lagi tempatnya bernaung, melainkan menjadi neraka kecil. Bibinya memperlakukannya seperti pembantu, sementara Sofie, sepupu sebayanya, selalu menemukan cara untuk mempermalukannya.

***

Di kampus, Sofie dan gengnya adalah mimpi buruk lain bagi Ema.

"Hei, lihat siapa yang datang! Si anak gendut dengan wajah penuh jerawat!" seru Sofie keras-keras di tengah koridor.

Teman-temannya tertawa keras. "Ema, kenapa kau tak coba diet? Oh, maaf, aku lupa. Mungkin makanan adalah satu-satunya hal yang menyukai keberadaanmu," tambah salah satu dari mereka dengan sinis.

Ema mencoba mengabaikan mereka, tapi Sofie menghalangi jalannya. "Mau kemana? Kau pikir kami selesai? Oh, tunggu, aku tahu! Kamu pasti mau ke perpustakaan lagi, kan? Sok rajin! Kamu tahu, kepintaranmu itu takkan mengubah fakta kalau kau itu cuma parasit."

"Aku harus pergi," kata Ema pelan, suaranya bergetar.

Namun, Sofie menarik tasnya dengan kasar. "Belum selesai, Ema. Kamu harus tahu tempatmu."

Mereka mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Buku-bukunya berhamburan, dan Ema hanya bisa menahan tangis sambil memungutnya satu per satu.

"Dasar gembrot!" ujar salah satu dari mereka sambil menendang buku Ema jauh-jauh.

Pak Brian, dosen muda tampan yang sedari tadi memperhatikan ternyata tak tinggal diam. Ia menghampiri mereka dan berusaha menghentikan semuanya.

"Cukup! Kalian ini keterlaluan, kalian memperlakukan teman kalian seperti ini? Sofie, bukannya Ema itu saudaramu? Bantu ia mengambil buku-bukunya!"

Tak lama Sofie membungkuk, pura-pura membantu Ema sambil berbisik dengan nada dingin, "Awas kau ya, gara-gara kau pak Brian membentakku. Kamu tahu? kamu ini hanya beban, sama seperti di rumah. Semua orang merasa lebih baik tanpa kamu Ema!"

Kata-kata itu menusuk hati Ema lebih dalam dari apapun.

***

Puncaknya terjadi di sore itu. Sepulang kelas, Sofie dan gengnya yang marah karena kejadian tadi menyeret Ema ke ruangan kosong di gedung belakang kampus.

"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!" teriak Ema, berusaha melawan.

Namun, mereka terlalu kuat. Sofie mendorong Ema masuk ke ruangan itu dengan kasar, membuatnya terjatuh.

"Kamu merasa menang kan hari ini? Kamu itu sering mendekati pak Brian, kamu suka? Ngaca dong! Dia itu punyaku! cerita apa aja ke dia? Awas ya kalau kamu jelek-jelekin aku. Dan untuk hari ini, ini hukumanmu, Ema. Tinggallah semalam di tempat yang pas untuk parasit sepertimu," ujar Sofie sambil tertawa.

Salah satu temannya mengeluarkan kunci dan mengunci pintu dari luar. "Selamat menikmati malam yang panjang, Ema!" serunya diikuti derai tawa mereka yang menjauh.

Ema mencoba membuka pintu, tapi sia-sia. Ruangan itu gelap, dingin, dan berdebu. Ia merosot di lantai, tubuhnya gemetar.

"Kenapa aku harus hidup seperti ini?" bisiknya, air mata mengalir deras. Ia memeluk lututnya erat-erat, mencoba menahan rasa takut dan dingin yang merayap.

Perutnya keroncongan, tubuhnya lelah, dan hatinya hancur. Ia hanya bisa menangis dalam kesunyian, berharap ada yang mendengar jeritannya. Tapi tak ada. Tak lama ia tertidur memeluk tas ranselnya, air mata masih terlihat di pipinya.

Di titik terendah dalam hidupnya, entah mimpi atau nyata, sebuah suara lembut memecah keheningan.

"Nak, kau baik-baik saja?"

Ema mendongak dengan terkejut. Di hadapannya berdiri seorang nenek tua dengan wajah penuh kasih.

***
Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun