Teman-temannya tertawa keras. "Ema, kenapa kau tak coba diet? Oh, maaf, aku lupa. Mungkin makanan adalah satu-satunya hal yang menyukai keberadaanmu," tambah salah satu dari mereka dengan sinis.
Ema mencoba mengabaikan mereka, tapi Sofie menghalangi jalannya. "Mau kemana? Kau pikir kami selesai? Oh, tunggu, aku tahu! Kamu pasti mau ke perpustakaan lagi, kan? Sok rajin! Kamu tahu, kepintaranmu itu takkan mengubah fakta kalau kau itu cuma parasit."
"Aku harus pergi," kata Ema pelan, suaranya bergetar.
Namun, Sofie menarik tasnya dengan kasar. "Belum selesai, Ema. Kamu harus tahu tempatmu."
Mereka mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Buku-bukunya berhamburan, dan Ema hanya bisa menahan tangis sambil memungutnya satu per satu.
"Dasar gembrot!" ujar salah satu dari mereka sambil menendang buku Ema jauh-jauh.
Pak Brian, dosen muda tampan yang sedari tadi memperhatikan ternyata tak tinggal diam. Ia menghampiri mereka dan berusaha menghentikan semuanya.
"Cukup! Kalian ini keterlaluan, kalian memperlakukan teman kalian seperti ini? Sofie, bukannya Ema itu saudaramu? Bantu ia mengambil buku-bukunya!"
Tak lama Sofie membungkuk, pura-pura membantu Ema sambil berbisik dengan nada dingin, "Awas kau ya, gara-gara kau pak Brian membentakku. Kamu tahu? kamu ini hanya beban, sama seperti di rumah. Semua orang merasa lebih baik tanpa kamu Ema!"
Kata-kata itu menusuk hati Ema lebih dalam dari apapun.
***