Ayah sering kali termenung di ruang tamu, memandangi dinding-dinding kosong yang pernah dipenuhi tawa Mentari. Sementara ibu, meski berusaha tegar, kerap menitikkan air mata setiap kali melihat mainan atau gambar yang dibuat oleh putri mereka.
***
Suatu sore, ayah datang ke rumah untuk mengembalikan barang-barang milik Mentari yang dulu ia simpan di rumahnya. Ia dan ibu duduk berhadapan di ruang tamu, di tengah keheningan yang terasa begitu berat.
"Kenapa kita dulu tidak bisa melihat apa yang dilihat Mentari?" tanya ibu dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca menatap gambar terakhir yang dibuat Mentari dua tangan saling berpegangan, dengan hati kecil di antara sosok ayah dan ibu.
Ayah menghela napas panjang. Ia tampak menunduk, lalu berkata dengan nada penuh penyesalan.
"Aku terlalu sibuk mengejar sesuatu yang aku pikir akan membuatnya 'sempurna'. Aku terlalu egois, dan... aku malu. Aku malu karena tidak bisa menerima Mentari apa adanya."
Ibu mengangguk pelan, berusaha menahan isak.Â
"Mentari hanya ingin kita bahagia. Dia... dia bahkan rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri, demi melihat kita tetap bersama. Tapi kita malah menyia-nyiakannya." Suaranya pecah, tangisnya tumpah, menggambarkan luka mendalam yang sudah tak bisa ia pendam.
Ayah meraih tangan ibu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka kembali terhubung dalam rasa duka yang sama.Â
"Aku menyesal, sangat menyesal. Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku akan melakukan segalanya untuk membuat Mentari bahagia. Tapi sekarang semua sudah terlambat," ujar ayah dengan suara serak. Air matanya mulai mengalir, menandakan betapa hatinya penuh penyesalan.
"Aku juga bersalah, kita berdua bersalah," jawab ibu. "Mentari tidak pernah meminta kita untuk sempurna. Dia hanya ingin kita ada di sisinya, menerima dia apa adanya. Tapi kita terlalu sibuk dengan keinginan dan harapan kita sendiri."