Meskipun tak mampu berbicara, Mentari tahu apa yang terjadi. Ia mengerti perpisahan ayah dan ibu, ia memahami keheningan dan jarak yang muncul di antara mereka.Â
Pada malam-malam sepi itu, ia sering duduk di sudut kamar, memandangi foto-foto kebersamaan mereka dulu . Ia merindukan tawa dan pelukan mereka berdua.
Di ujung usianya, Mentari membuat gambar-gambar sederhana yang menjadi curahan hatinya. Di selembar kertas, ia menggambar dua tangan tertelungkup seperti ungkapan permintaan maaf dan di kertas lainnya ia menggambar sosok ayah dan ibu berdiri berpegangan tangan, sebuah hati kecil berada di tengah mereka. Dan untuk pertama kalinya, tidak ada gambar dirinya. Seakan ia sudah memahami bahwa yang ia inginkan bukanlah dirinya sendiri, melainkan kebahagiaan orang tuanya.
Dengan senyum lemah, Mentari memberikan gambar itu kepada ibu dan ayahnya yang kembali datang menemaninya. Melihat gambar tersebut, ayah dan ibu saling berpandangan, seolah kata-kata hilang dari bibir mereka.
"Ini... ini gambar kita," ujar ibu dengan suara parau, sambil membelai rambut lembut Mentari. "Dia ingin kita kembali bersama, Yah."
Ayah menatap Mentari, mata berkaca-kaca. "Mentari... Maafkan ayah. Ayah menyesal karena tidak bisa menerimamu sepenuh hati selama ini."
Mentari hanya tersenyum lemah, seolah memaafkan tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun. Dan beberapa saat kemudian ia memejamkan mata, meninggalkan senyuman terakhirnya, senyuman terindah yang akan selalu dikenang oleh kedua orang tuanya.
Ayah dan ibu hanya bisa memandang penuh penyesalan, merasakan rasa kehilangan yang mendalam. Mereka sadar, andai saja waktu yang diberikan bersama Mentari bisa mereka hargai, mereka tak akan menghabiskan hari-hari itu dengan perselisihan dan ego.Â
Mentari, dengan segala keterbatasannya, telah mengajarkan makna cinta yang tulus dan keindahan dalam perbedaan. Dan di dalam kenangan, senyuman terindah Mentari akan selalu abadi, menjadi sinar yang tak pernah padam di hati mereka.
***
Setelah kepergian Mentari, rumah itu terasa hampa. Kenangan akan anak kecil yang dulu berlari riang di sudut-sudut rumah kini hanya bisa diingat dalam keheningan yang menyakitkan.Â