Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Gambar dan Senyum Terakhir Mentari

5 November 2024   21:38 Diperbarui: 10 November 2024   16:31 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bu, ini bukan sekadar main-main! Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya bicara pada dia. Mentari tidak mengerti apa yang aku katakan!" kata ayah dengan nada frustrasi. Matanya menatap lurus ke arah Mentari, yang hanya menunduk sambil tersenyum kecil, seakan tidak mengerti mengapa ayahnya begitu marah.

Ibu mencoba mengusap punggung Mentari, menenangkan hati kecilnya yang pasti bingung. "Mentari hanya ingin bersama kita, yah. Dia memang berbeda, tapi dia adalah anak kita," ucap ibu lembut.

"Bukankah seharusnya dia sudah bisa bicara sekarang, Bu?" Ayah menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. "Aku hanya ingin dia seperti anak-anak lain, bisa berkomunikasi dengan kita... bisa mengerti kita. Dosa apa kita Bu, dititipi anak seperti Mentari"

Ibu menatap ayah dengan perasaan campur aduk antara marah, sedih dan lelah. "Istighfar yah. Mentari mengerti dengan caranya sendiri. Tapi kita yang mungkin belum cukup mengerti cara menyayangi dia dengan tulus."

***

Pertengkaran demi pertengkaran semakin sering terjadi antara ayah dan ibu. Mereka berselisih tentang cara mendidik Mentari, tentang harapan-harapan yang tak tercapai. Hingga akhirnya, mereka mempertahankan ego masing-masing dan memutuskan untuk berpisah, sebuah keputusan yang meninggalkan luka dalam pada Mentari yang mulai merasakan perubahan dalam hidupnya.

Sejak itu, senyuman Mentari perlahan menghilang. Ia sering terlihat termenung, tatapannya kosong, dan tantrumnya semakin sering terjadi. 

Kadang, tanpa alasan, Mentari menangis, seolah ada beban besar yang tak bisa ia ungkapkan. Hati kecilnya merasakan kepergian kasih sayang yang dulunya ada, kehangatan rumah yang kini seakan sirna.

Waktu berlalu, dan kesehatan Mentari perlahan menurun. Tubuh mungilnya semakin lemah, sering kali tak mampu lagi bermain seperti biasanya. Ibu yang tak pernah lelah merawat Mentari semakin khawatir. 

Akhirnya mereka membawa Mentari ke rumah sakit untuk diberikan perawatan. Saat itu sebuah kenyataan pahit harus diterima, Mentari ternyata menderita kanker Otak yang membuat harapan hidupnya semakin tipis.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun