Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Jejak Langit Lembayung: Lukisan Takdir di Atas Sebuah Keterbatasan (4)

8 September 2024   19:00 Diperbarui: 8 September 2024   19:12 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

**Bagian 4: Cahaya di Ujung Terowongan**
 

_Kelahiran Lembayung membuat Arum pergi meninggalkan mereka begitu saja. Hari-hari terasa sangat berat untuk Bima jalani saat ini. Terlebih ia harus bekerja dan merawat bayi mungil istimewanya itu seorang diri. Akankah Bima menemukan cahaya dalam gelap dan sesak yang ia rasakan selama ini?_

***

Bima tak bisa memungkiri bahwa meski sudah tiga tahun Arum meninggalkan mereka, sebagian kecil hatinya masih berharap bahwa ia akan kembali. Setiap malam, setelah Lembayung terlelap, ia sering merenung, membayangkan Arum akan mengetuk pintu rumah mereka dengan rasa penyesalan. Namun, sejak mendengar kabar dari Rudi, Bima merasa seperti tersentak ke dalam kenyataan. Arum tidak akan kembali. Dan kali ini, Bima harus siap melepaskannya.

Malam itu, setelah Rudi pulang, Bima duduk di kamar, menatap pesan terakhir Arum yang masih ia simpan. Perasaannya campur aduk antara kecewa, sedih, dan amarah. Namun, saat ia melihat Lembayung yang sedang tertidur lelap dengan senyuman polosnya, Bima tahu bahwa ia tak boleh lagi terjebak dalam bayangan masa lalu. Ia harus bergerak maju, untuk dirinya dan terutama untuk Lembayung.

Dengan nafas berat, Bima akhirnya mengucap talak dalam hati. "Arum, aku lepaskan kamu. Aku tidak akan menunggu lagi. Kamu bebas pergi dan hidup dengan caramu sendiri. Aku hanya berharap yang terbaik untukmu." 

Dengan kata-kata itu, Bima merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Ia tak ingin lagi mengharapkan Arum kembali dalam kehidupan mereka.

Sejak saat itu, Bima fokus sepenuhnya pada Lembayung. Sebagai ayah tunggal, ia tahu bahwa peran yang ia jalani tidak mudah, tetapi ia menjalankannya dengan sepenuh hati. Setiap hari, ia mengajarkan Lembayung hal-hal baru, sekecil apa pun itu, dan ia selalu memberikan pujian penuh kasih saat putrinya berhasil melakukan sesuatu. 

"Lembayung, kamu hebat sekali! Ayah bangga padamu," ucap Bima setiap kali Lembayung menunjukkan kemajuan, meskipun hanya dalam hal-hal kecil seperti makan sendiri atau berpindah tempat dengan kaki tunggalnya.


Perjuangan mereka berdua menjadi kisah yang menghangatkan hati orang-orang sekitar. Lembayung, meskipun dengan segala keterbatasannya, tumbuh menjadi anak yang penuh semangat dan memiliki bakat yang tak terduga. Suaranya yang lembut saat bersenandung atau bershalawat selalu memukau siapa pun yang mendengarnya. 

"Masya Allah, suara Lembayung begitu merdu, seperti suara malaikat kecil," sering kali tetangga berkata saat mendengar Lembayung bernyanyi.

Namun, bukan hanya suara indahnya yang mengejutkan Bima. Seiring waktu, Lembayung juga menunjukkan kemampuan lain yang tak kalah menakjubkan. Meskipun tidak memiliki tangan, ia mampu menggambar dengan kakinya. Setiap kali Bima memberikan selembar kertas dan pensil yang ia letakkan di antara jari-jari kakinya, Lembayung mulai menggambar garis-garis sederhana. Meskipun tampak biasa bagi orang lain, gambar-gambar itu memiliki keindahan dan makna mendalam yang hanya bisa dipahami oleh orang yang melihat dengan hati.

"Ini gambar apa, Nak?" tanya Bima suatu hari, menatap coretan di kertas.

"Ini rumah kita, Baba. Dan ini aku, Baba, dan... Ibu," jawab Lembayung dengan polos, menunjuk satu persatu gambar kecil di kertas itu dengan jari kakinya. Mendengar jawaban Lembayung, Bima terdiam. Lembayung, yang sejak bayi ditinggalkan begitu saja tetap merindukan kehadirannya.

Gambar-gambar yang dibuat oleh Lembayung menjadi cerminan dari dunia kecilnya yang penuh imajinasi. Meskipun fisiknya terbatas, pikirannya bebas dan kaya akan kreativitas. Bima menyadari bahwa inilah cara Lembayung mengekspresikan dirinya, melalui gambar-gambar sederhana yang penuh arti. Di balik setiap garis, ada cerita, ada perasaan yang hanya Lembayung yang tahu.

Bima semakin yakin bahwa Allah menitipkan berbagai keistimewaan di balik hambatan yang dimiliki Lembayung. Keterbatasan fisik tidak mengurangi kecerdasannya, dan bakat-bakat yang mulai muncul adalah bukti bahwa Lembayung memiliki potensi luar biasa.

***

Di ulang tahunnya yang kelima, Lembayung duduk di pangkuan Bima setelah acara sederhana yang mereka rayakan di rumah. Hanya Bima, beberapa tetangga, dan Lembayung. Meski begitu, senyum di wajah Lembayung sudah cukup membuat Bima bahagia. Namun, setelah semua orang pulang, Lembayung menatap ayahnya dengan mata yang penuh rasa penasaran.

"Baba... katanya Lembayung boleh minta apa saja hari ini?" tanya lembayung sambil mencium pipi ayahnya penuh kasih sayang.

"Benar nak, kamu mau apa? Malam ini kita beli ya?" Jawab Bima sambil menatap dan mencubit gemas pipi Lembayung yang kemerahan. "Lembayung mau apa? Coba bilang, atau bisikkan ke baba, ayo!" Lanjut Bima mendekat kan telinganya.

"Hmmmm.. Ibu, lembayung mau ibu Baba" jawab lembayung dengan suara lembut, membuat Bima terkejut. "Ibu dimana Baba?" lanjutnya.

"Ibu?" Bima terdiam sejenak, mencoba mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan putrinya.

"Iya, Baba. Teman-teman semuanya punya ibu. Mereka disuapi, dipeluk, disisir. Lembayung juga mau punya ibu..." Lembayung menunduk, suaranya terdengar lirih. Keinginan untuk mendapatkan kasih sesosok ibu tampak jelas di matanya yang besar dan polos.

Bima merasakan hatinya perih mendengar permintaan Lembayung. Bagaimana mungkin ia bisa membawa Arum kemari? Bagaimana ia harus menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada anak sekecil itu? Ia tahu bahwa Lembayung berhak atas kasih sayang seorang ibu, tapi ia juga tahu bahwa Arum sudah jauh dari kehidupan mereka.

Bima menarik napas dalam-dalam, lalu membelai lembut kepala Lembayung. "Lembayung, sayang... Ibu ada di suatu tempat yang jauh. Jadi gak bisa kesini. Tapi jangan khawatir, Baba akan selalu ada di sini untukmu, ya? Baba akan mencintaimu dengan sepenuh hati, seperti seorang ibu dan seorang ayah."

Meskipun sempat terlihat raut kecewa dan sedih, Lembayung kecil tampaknya mengerti bahwa saat ini ayahnya tak bisa membawa ibunya kepadanya. Ia tersenyum kecil dan kembali mencium ayahnya itu "Baba baik sekali," ucapnya manis.

Di tengah segala tantangan yang mereka hadapi, Bima tahu bahwa mereka telah menemukan cahaya di ujung terowongan. Kecantikan Lembayung, suara indahnya dan gambar-gambar indah dari kaki tunggalnya yang luar biasa. Meski tanpa ibu, Lembayung tumbuh dengan cinta yang tak terbatas, dan bersama-sama, mereka akan terus berjalan menuju masa depan yang lebih cerah.

** Bersambung ..**

“Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya suatu derajat di sisi Allah yang tidak akan dicapainya dengan amal, sampai ia diuji dengan cobaan di badannya, lalu dengan ujian itu ia mencapai derajat tersebut,’” (HR Abu Dawud).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun