Nama "Lembayung" sesaat kemudian terlintas dalam pikiran Bima. Walaupun selama hamil, Arum belum pernah melakukan USG. Entah kenapa ia sangat yakin bahwa anak pertamanya tersebut adalah seorang anak perempuan.
"Selamat, anaknya perempuan pak, anaknya cantik sekali, tapi .." ujar Bu Bidan yang sepertinya amat berat untuk melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa Bu Bidan?" tanya Bima kemudian seraya memasuki ruangan persalinan.
"Anak kita mas...," suara Arum bergetar menjelaskan. Â Sejak ia pertama kali melihat Lembayung, air matanya terus menetes tanpa bisa ia tahan. Kebahagiaan yang mereka nantikan seketika berubah menjadi duka saat melihat bayi yang telah mereka tunggu, lahir tidak seperti yang diharapkan.
 "Mengapa Tuhan memberi kita anak dengan fisik seperti ini mas? apa dosa kita? Apa yang salah? Mengapa bayi kita harus lahir tanpa tangan dan hanya memiliki satu kaki?" Ujar Arum masih diiringi dengan tangisannya.
Bagi Arum, kenyataan itu lebih buruk daripada mimpi terburuknya. Rasa malu dan kecewa menyelimuti dirinya seketika. Ia tak sanggup menerima kenyataan ini. Semua impian dan harapannya tentang keluarga yang sempurna runtuh dalam sekejap.
"Bagaimana kita akan menghadapi dunia dengan keadaan seperti ini, mas? Apa yang akan orang-orang katakan?" Arum memandang bayi kecil itu dengan penuh duka, bukan cinta.Â
"Aku... aku tidak bisa mas, aku tidak mau bayi yang seperti itu... Ini pasti hanya mimpi kan mas? Lanjut Arum seraya menggoyang-goyangkan tangan Bima.
Bima, yang berdiri di samping ranjang, tak kuasa menahan tangis saat melihat putrinya. Meski hatinya juga hancur, ia tak ingin menunjukkan rasa putus asanya di depan Arum.Â
"Astagfirullah dek, jangan seperti itu, bagaimana pun dia anak kita. Apa pun kondisinya, ia darah daging kita" ucapnya pelan, mencoba menguatkan istrinya. Namun, Arum menggeleng keras, "Aku tidak bisa menerima ini, mas. Aku tidak sanggup." timpal Arum masih dengan tangisnya yang tak terbendung.
Bima hanya bisa memandang Arum dengan rasa sedih yang mendalam. Ia menatap bayi kecilnya, Lembayung, yang terbaring tak berdaya dalam inkubator. Air mata perlahan mengalir di pipinya, mencerminkan beratnya beban yang kini mereka hadapi. Dalam hatinya, ia berusaha mencari kekuatan untuk menerima takdir ini. Meski sulit, Bima tahu bahwa Lembayung tetaplah darah daging mereka, sebuah anugerah yang harus ia jaga dan lindungi.