*Lembayung dan Awal yang Pahit*
_Terinspirasi dari Sebuah Kisah nyata_
Arum, perempuan cantik yang selalu memikat setiap mata yang memandang, kini sedang menanti momen yang telah lama diimpikannya. Setelah lima tahun pernikahan, ia dan suaminya, Bima, akhirnya menerima kabar yang begitu dinanti. Ya, Arum mengandung.Â
Kabar ini menghapus sejenak kekhawatiran dan kesulitan yang melanda kehidupan mereka. Meski Bima baru saja kehilangan pekerjaannya akibat adanya pengurangan jumlah karyawan, kebahagiaan menyambut kelahiran anak pertama seolah menjadi harapan yang memulihkan semangat mereka.
"Mas Bima, akhirnya... kita akan jadi orang tua," kata Arum dengan senyum merekah, matanya penuh harapan.Â
Bima memeluk istrinya erat, mencoba meyakinkannya meski di dalam hati, ia juga gelisah akan masa depan mereka yang kini tanpa penghasilan tetap.Â
"Ya, kita akan menjadi keluarga yang bahagia, Dek. Aku yakin kita bisa melewati semua ini bersama." Ujar Bima meyakinkan istrinya.
Sayangnya waktu seolah tak berpihak kepada mereka. Perekonomian keluarga semakin terpuruk. Bima, yang berusaha mencari pekerjaan baru, tak kunjung menemukan secercah harapan.Â
Kondisi perekonomian saat itu membuatnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru yang sesuai. Meski begitu, ia terus berjuang tanpa mengeluh di depan Arum. Dalam diam, ia menyembunyikan ketakutannya.
***
Sore itu, ketika hari persalinan tiba, suasana hati mereka penuh dengan percampuran antara harapan dan kecemasan. Tepat disaat lembayung senja menampakkan dirinya, suara tangisan bayi pun terdengar.Â
Nama "Lembayung" sesaat kemudian terlintas dalam pikiran Bima. Walaupun selama hamil, Arum belum pernah melakukan USG. Entah kenapa ia sangat yakin bahwa anak pertamanya tersebut adalah seorang anak perempuan.
"Selamat, anaknya perempuan pak, anaknya cantik sekali, tapi .." ujar Bu Bidan yang sepertinya amat berat untuk melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa Bu Bidan?" tanya Bima kemudian seraya memasuki ruangan persalinan.
"Anak kita mas...," suara Arum bergetar menjelaskan. Â Sejak ia pertama kali melihat Lembayung, air matanya terus menetes tanpa bisa ia tahan. Kebahagiaan yang mereka nantikan seketika berubah menjadi duka saat melihat bayi yang telah mereka tunggu, lahir tidak seperti yang diharapkan.
 "Mengapa Tuhan memberi kita anak dengan fisik seperti ini mas? apa dosa kita? Apa yang salah? Mengapa bayi kita harus lahir tanpa tangan dan hanya memiliki satu kaki?" Ujar Arum masih diiringi dengan tangisannya.
Bagi Arum, kenyataan itu lebih buruk daripada mimpi terburuknya. Rasa malu dan kecewa menyelimuti dirinya seketika. Ia tak sanggup menerima kenyataan ini. Semua impian dan harapannya tentang keluarga yang sempurna runtuh dalam sekejap.
"Bagaimana kita akan menghadapi dunia dengan keadaan seperti ini, mas? Apa yang akan orang-orang katakan?" Arum memandang bayi kecil itu dengan penuh duka, bukan cinta.Â
"Aku... aku tidak bisa mas, aku tidak mau bayi yang seperti itu... Ini pasti hanya mimpi kan mas? Lanjut Arum seraya menggoyang-goyangkan tangan Bima.
Bima, yang berdiri di samping ranjang, tak kuasa menahan tangis saat melihat putrinya. Meski hatinya juga hancur, ia tak ingin menunjukkan rasa putus asanya di depan Arum.Â
"Astagfirullah dek, jangan seperti itu, bagaimana pun dia anak kita. Apa pun kondisinya, ia darah daging kita" ucapnya pelan, mencoba menguatkan istrinya. Namun, Arum menggeleng keras, "Aku tidak bisa menerima ini, mas. Aku tidak sanggup." timpal Arum masih dengan tangisnya yang tak terbendung.
Bima hanya bisa memandang Arum dengan rasa sedih yang mendalam. Ia menatap bayi kecilnya, Lembayung, yang terbaring tak berdaya dalam inkubator. Air mata perlahan mengalir di pipinya, mencerminkan beratnya beban yang kini mereka hadapi. Dalam hatinya, ia berusaha mencari kekuatan untuk menerima takdir ini. Meski sulit, Bima tahu bahwa Lembayung tetaplah darah daging mereka, sebuah anugerah yang harus ia jaga dan lindungi.
Sementara itu, Arum tenggelam dalam keputusasaan. Ia tak bisa melihat Lembayung sebagai sesuatu yang lain selain beban. Kekecewaan itu begitu mendalam, dan perlahan mulai meracuni hubungan mereka.
***
Hari demi hari berlalu, tak jarang Arum membiarkan Lembayung kecil menangis kehausan. Sebagai suami Bima terus menguatkan dan mengingatkan istrinya akan tugasnya sebagai seorang ibu. "Dek Lembayung menangis, kasihan dia kehausan," ujar Bima.
"Entah kenapa tapi rasanya aku tidak mencintai dia mas. Apalagi setelah mendengar banyak sekali tetangga yang bergunjing tentang bayi ini dan aku. Katanya ini kutukan, katanya aku pembawa sial mas, amit-amit. Aku tidak sanggup menjalani hidup dengan gunjingan dan rasa malu seperti ini," ucap Arum dingin, menghindari pandangan suaminya.
"Mas belikan saja dia susu formula mas. ASI nya tidak ada. Aku tidak bisa menyusuinya," lanjut Arum.
Bima hanya bersitigfar dan mengelus dada. Ia terdiam, mencoba meredam luka di hatinya. Satu hal yang ia tahu, apapun yang terjadi, ia tak akan meninggalkan Lembayung.Â
"Aku akan menjaga Lembayung. Apa pun yang terjadi, aku akan bertahan," gumamnya pelan, suara yang lebih ia tujukan pada dirinya sendiri daripada pada istrinya.Â
Bima menguatkan diri untuk mengambil peran lebih banyak merawat Lembayung yang lebih banyak dibiarkan begitu saja oleh Arum. Ia membelikan beberapa kotak susu formula dan keperluan Lembayung lainnya dengan sisa uang tabungannya. Kondisi tersebut membuatnya tak tenang ketika berusaha mencari pekerjaan baru. Ia selalu teringat dan khawatir akan kondisi Lembayung di rumah.
Di tengah semua kegelapan itu, Bima hanya bisa berharap bahwa waktu akan membantunya dan Arum istrinya menerima kenyataan pahit ini. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa Arum mungkin tak bisa mencintai Lembayung sebagaimana seharusnya seorang ibu mencintai anaknya.
*Bersambung*
_Allah tidak pernah menciptakan produk gagal, ataupun sesuatu yang cacat, Demi Allah ! Karena setiap penciptaan Allah adalah proses dari Dzat yang Maha Ilmu dan Maha Hikmah.
Dalam Islam, Al-Qur'an ayat Al-Fath: 17 telah menjelaskan tentang anak berkebutuhan khusus. Selain itu, firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah/2:286 juga mengatakan bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini berarti bahwa anak berkebutuhan khusus tidak akan dihisab atas apa yang tidak ada dalam dirinya.
Anak berkebutuhan khusus lahir dengan hambatan dan kebutuhan khusus tertentu, tetapi dibalik itu yakinlah Allah telah membekalinya dengan berbagai keistimewaan dan mereka sebenarnya adalah pintu syurga bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mereka adalah titipan dari Ar Rahman, penduduk syurga kelak yang dititipkan sementara kepada kita._
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H