Mohon tunggu...
Nunik Soewarno
Nunik Soewarno Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumahtangga

Bakul Buku Siroh, Kurir Wakaf Buku Siroh

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bukan Hanya Dihafal Sayang

4 Agustus 2024   16:05 Diperbarui: 4 Agustus 2024   16:10 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Bukan Hanya Dihafal, Sayang

Nunik Umma Fayha

Mataku membelalak tak bisa lepas memandang sesosok makhluk cantik yang baru saja masuk ruangan penuh undangan ini. Kerudungnya dililit ke leher, bajunya modis panjang sebetis dari bahan sutera tipis melayang di atas legging semata kaki.

Oh, tidak! Apakah aku tidak salah lihat???

Hanya beberapa tahun tak bertemu, sebesar ini perubahan dirinya. Lelaki yang terus menempel di sampingnya, suaminya, tampak bangga saat puluhan pasang mata melihat dengan kegum pada mereka. Cantik dan gagah. Pasangan serasi yang mengundang decak kagum.

Nesya yang kukenal dulu, gadis tomboi pada awal ABG yang minta sendiri masuk pondok saat SMP berlanjut sampai SMA. Lulus SMA dia kuliah di Yogya sambil mondok untuk menyelesaikan hafalan 30 juz-nya.  Alhamdulillah mendapat kemudahan menyelesaikan hafalan selama satu semester. Aku ikut bangga menjadi temannya. Ada temanku yang Hafidzah

Tahun berikutnya dia pindah kuliah dan mulai aktif berorganisasi. Kepintaran bicara membuatnya sering menjadi tim debat dan ikut berbagai kompetisi. Sampai saat itu aku sudah loose contact dengannya. Dan ketika mendengar kabar pernikahannya kebetulan aku tidak bisa hadir. 

Hari ini setelah sekian lama tidak bertemu Nesya shalihah, aku harus terperangah melihat perubahan drastisnya. Dadaku masih berdegup keras memikirkan pemandangan mencolok tadi sampai tidak sadar dia yang sedang memenuhi pikiranku sudah ada di depanku dengan senyum lebar dan tangan terkembang siap memelukku seperti dulu biasa dia lakukan

"Fay... !!! Duh kangennya aku sama kamu," tangannya erat memeluk sambil menatap lekat diriku. Wajahnya sumringah dengan mata bahagia. Aku sampai gelagapan menerima serangan mendadaknya.

"Eh, oh, iya...sama. aku kangen juga. Kamu apa kabar? Sudah berapa tahun kita ga ketemu. Maaf ya, ga bisa hadir di hari bahagia kamu," aku yang sudah mulai menguasai perasaan berusaha mengimbangi bahagianya. Meski ada desir perih di hati melihat perubahan Sahabatku ini. Laki-laki yang dari tadi mengekor di belakangnya mengulurkan tangan untuk bersalaman hanya kuberikan senyum sambil menangkupkan tangan. Agak tersipu dia menarik tangan membalas menangkupkan tangan pula.

"Aga, suamiku," kata Nesya, memperkenalkan sambil matanya mencari-cari seseorang
"Mana Awang? Kok ga kelihatan?" selidiknya.

Aku hanya tersenyum sambil menunjuk ruang sebelah tempat undangan laki-laki berkumpul.

"Sebentar, aku telpon dia biar jemput Aga ke sana. Gapapa, kan Ga, pisah sebentar dengan Neng? Daripada nanti jadi Jaka Tarub di sini,"  selorohku sambil memanggil Zawj-ku via telpon

Tak berapa lama  Kang Awang menampakkan muka sambil melambaikan tangan

"Tuh Ga, itu Kang Awang, suamiku. Aga gabung ke sana deh, biar seru obrolan cowok," kataku.
Aga berlalu menuju posisi Kang Awang di ruang sebelah. 

Nesya dengan pandangan takjub menatapku dari atas sampai bawah, tangannya memutar tubuhku dengan binar takjub.

"Ini beneran Fayha kan? Yang tomboinya mentok sampai ubun-ubun itu? Kamu cantik banget pakai jilbab dan kerudung syar'i begini. Aku tadi pangling dan ga percaya waktu ditunjukin kamu di sini..." Masih dengan binar cahaya. 

Hari itu kami berpisah dengan saling menyimpan nomor kontak untuk bisa terus berhubungan.

Nesyaku yang dulu rapi berjilbab dan kerudung syar'i, yang Hafidzah, sekarang melepas atribut syar'inya dengan penampilan baru yang mengikuti mode. 

Semoga hafalannya masih tertancap kuat tak tergusur gaya hidup yang kini diikutinya, desahku dalam hati sambil mengelus dada.

Rupanya Kang Awang yang sedang menyetir sempat memperhatikanku lewat sudut matanya.

"Kenapa?", tanyanya ingin tahu

"Masih mikirin Nesya," jawabku masygul

"Itu pilihannya, kita hanya bisa mengingatkan, hasilnya terserah Allah," lembut suaranya menasihati.

"Allah Maha membolak-balik hati benar-benar ditampakkan ya, Kang," masih dengan rasa gamang.
Kang Awang tersenyum sambil sebelah tangannya terulur menggenggam tanganku  kemudian mengelus kepala jagoan kecil yang terlelap di pelukanku.
--------
Layar HP - ku tampak berkedip. Ternyata ada telpon masuk. Kuangkat ada nama Nesya di layarnya. Dengan tersenyum langsung aku tekan tombol hijau

"Assalamualaikum, Ney, apa kabar kamu. Seneng deh kamu telpon aku duluan," kubuka dengan rentetan kata bahagia'.
Nesya membalas salamku dengan senang

"Aku ganggu kamu, ga, Fay?" tanyanya di ujung telepon.

"Enggak lah, Ney, malah seneng. Kebetulan kerjaan rumah sudah beres, anakku lagi boci. Kebetulan banget ini tadi pas banget mau ambil HP. Soalnya HP selalu aku pasang mode senyap, males berisik saking banyaknya grup dan rata-rata rame semua," sumringahku

"Wah, keren kamu. Ibu rumah tangga tapi tetap bergerak meski dari rumah ya. Salut, salut. Nih aku ngacung jempol, kelihatan, ga?"

"Sayang ga kamera off, jadi ga kelihatan deh jempolmu"

Kami tertawa berdua dan berlanjutlah obrolan haha hehe seperti dulu waktu kami masih bersama.

"Fay, boleh tahu ga, kenapa kamu bisa berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini? Kamu dulu kan anti banget pakai baju perempuan apalagi yang feminin begini. Kamu diapain sama Awang?" tiba-tiba Nesya bertanya serius, tampak penuh rasa ingin tahu.

"Apaan sih, kok diapain sama Kang Awang," tepisku sambil nyengir.

"Ketemuan yuk, biar lebih seru ngobrolnya," ajakku
Dan di sinilah kami akhirnya bertemu di hutan kota yang cukup asri. Nongkrong berdua karena anakku dititip ke Ibu.

"Kamu kerja di mana Ney? Macan debat kayaknya ga bakal betah jadi nyonya di rumah," usilku sambil nyengir

"NGO asing, semacam Islamic Relief gitu deh, tapi lebih ke advokasi perempuan," runtut Nesya menjelaskan.

"Benar-benar makai ilmu Lo ya... Kenapa ga jadi Pengacara swasta saja, jelas banyak duit kan," tanyaku sambil mengunyah Gethuk yang sengaja kubawa untuk teman ngobrol.

Nesya hanya tertawa menjawabku.

"Ngomong-ngomong, boleh nanya ya.... Kemana jilbabmu Ney, kamu berubah," sesalku setelah obrolan ngalor ngidul nostalgia masa sekolah.
Nesya menatapku lesu.

"Kewajiban Ney. Aku dulu jatuh bangun sampai akhirnya seperti sekarang ini. Perjuangan kamu dulu yang jadi penyemangatku."

"Terus terang ketemu kamu di reunian kemarin membuatku seperti ditampar," lirihnya.

"Sudah lama aku tidak hadir di majlis ilmu," matanya menerawang

"Aku terlalu asyik dengan dunia baru yang sedikit demi sedikit membuatku lebih mengedepankan logika. Menganggap baik-baik saja memudah-mudahkan aturan, padahal sudah banyak diberi kemudahan. Melihat kamu, aku jadi pengin kembali seperti dulu lagi. Aku kangen masa-masa berjuang itu...."
Kugenggam tangannya mencoba memberi ketenangan dan kekuatan.

"Ngaji lagi, Ney. Alhamdulillah, aku dan Kang Awang sekarang ini merasakan nyamannya berada dalam jaamah kebaikan ini, karena sekarang jadi punya teman-teman baik yang saling mengingatkan, saling menasehati dalam kebaikan. Aku juga ga mau dilaknat Allah karena suka niru penampilan cowok kayak dulu. Dulu merasa dengan berlaku seperti cowok bisa tampak gagah dan ga dianggap lemah. Nunjukin diri kuat dan  mandiri tidak harus seperti itu. Sekarang dengan penampilan seperti ini pun aku tetap bisa dipandang sebagai perempuan yang berprinsip, tidak lemah dan mandiri. Alhamdulillah," jawabku dengan senyum tulus terkembang.

Nesya diam dengan pandangan sayu.
Biarlah. Semoga dia menyimak dan mengingat kembali masa dia berjuang menggapai hijrah dulu.

"Ney, Allah memberikan aturan yang harus kita laksanakan sebagai konsekuensi iman kita. Semua ada dalam Qur'an dan Sunnah. Kamu sudah menyimpan 30 juz dalam hafalanmu, tapi apakah itu hanya untuk dihafal? Bukan. Rasulullah diutus menyampaikan agar umat beliau berjalan dengan tujuan yang jelas, dengan cara yang sesuai syariat. Apa yang disampaikan dari lisan mulia beliau bukan hanya untuk dihafal tapi lebih penting dan utama adalah untuk dilaksanakan."

Kubiarkan Nesya merenungi apa yang barusan kusampaikan. Berharap terbuka kembali hatinya, sebab perjuangannya tidak akan mudah karena lingkungannya saat ini yang pasti tidak mendukung seperti dulu semasa dia berhijrah.

"Allah Maha Baik, tidak akan menutup pintu bagi hamba yang memohon. Kamu juga punya aku.
Kamu bisa hubungi aku. Any time," pelukku sambil menepuk pundaknya lembut. 

 Hari itu kami kembali berpisah. Kali ini insyaaAllah dengan membawa harapan untuk bisa menjadi lebih baik dalam ikhtiar kami menjadi umat yang kelak akan dikenali Rasulullah di hari akhir. Umat yang mendapat syafaat dan umat yang memenangkan akhirat.
Aamiin.

https://www.cemerlangmedia.com/bahasa-dan-sastra/bukan-hanya-dihafal-sayang/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun