Sang bocah menunduk. Matanya tertutup. Sepertinya ia sedang bersiap apabila pedang kapten tadi memisah kepala dengan tubuhnya.
“Apakah ada permintaan terakhir ?” kata sang kapten di balik awan mendung dan rintik-rintik hujan serta dinginnya angin selatan.
Sang bocah menegakan kepalanya, matanya tajam, bibirnya tanpa ragu bergerak. “Apakah aku boleh bergabung dengan kalian ?” lantas semua terdiam dalam keheningan.
***
Laki-laki yang berdiri di atas tiang gantungan layar meneropong dari lautan. Ia melihat sebuah pulau dan dermaga kecil yang sudah terlihat menghitam karena digerus ombak. Tak ada bentuk-bentuk kehidupan. Hanya pasir dan ombak serta burung-burung pesisir yang terbang rendah. Laki-laki itu mengenakan pakaian nakhoda. Orang-orang disekitarnya sepertinya menghormatinya layaknya seorang raja.
“Hujan keempat hari ini. Dan ini bulan Februari.” Kata seorang di bawah. Berteriak kepada laki-laki itu yang dikenal sebagai seorang kapten kapal bermoncong singa.
Ia menuruni tiang. Jari kelingking kanannya terlihat terputus oleh gigitan. Banyak pula luka di wajah, mungkin akan lebih banyak lagi jika pakaiannya di buka.
“Kita akan berhenti di dermaga itu. Sambil menunggu hujan dan juga awan. Persiapkan akan menghadapi badai besar.” Kata kapten laki-laki itu.
Mereka melemparkan jangka di pinggiran dermaga. Kapal-kapal bawahan berada tidak jauh dari kapal inti yang bermoncong singa ini. Kapten itu berdiri di pinggiran kapal. Meneropong awan utara dan sesekali melihat layar memperhatikan angin selatan yang mungkin akan berubah pikiran.
Seseorang berbisik. “Ada seorang bocah di dermaga itu. Ia sedang menyelam.”
Kapten itu mendekati pinggiran kapal. “Naiklah bocah.” Teriaknya.