Semuanya terasa berbeda. Bahkan kaki sang bocah pun tak dapat melangkah barang sekali.
Hujan membuat segala aktivitas di atas kapal maupun percakapan dibuat seperti sedang berteriak. Tetapi walau seperti itu sang bocah mendengar apa yang dikatakan kapten walau dengan pelan. Bukan karena sang bocah hebat dalam mendengar, tetapi karena semua keanehan kapal dan orang-orang di depannya.
“Jangan takut bocah.” Kata sang kapten. Sambil tertawa kejam. “Kami hanyalah perompak Siberia yang mampir di dermagamu. Tidak untuk menjarah, melainkan untuk berteduh. Setiap kali hujan empat kali dalam sehari, kamipun tidak tahu tiba-tiba berada dekat sekali dengan dermaga ini.” Matanya yang hitam kebiruan seolah-olah berkata jujur.
Seseorang menambahkan. “Lihatlah langit utara yang menghitam dan bergumul disana.” Menunjuk kedepan.”Itu menyimpan bintang-bintang yang dinamai orang-orang mongol. Kami sedang menuju kesana, tanpa mengetahui jalan dan arah angin bertiup.”
Sang bocah menambahkan.”Tinggal mencocokan dengan bintang Osidius dan menyiapkan angin selatan untuk berlayar, mungkin kalian akan tiba tiga malam dari sekarang menuju tempat yang kalian tuju.”
Semua orang terdiam. “Pulau, bukan tempat.”
Sang bocah mengangguk. Sang kapten menatapnya lekat. Hujan masih saja menetes. Langit menjadi gelap. Sang bocah tertawa kejam. “Apakah kamu tidak mengetahui kami ini siapa bocah ?”
“Kalian hanya orang-orang yang tersesat. Sama seperti aku.”
“Jika kau ingin tahu. Kami adalah perompak yang memakan daging manusia. Kami perompak kanibal.” Kata sang kapten.
Semuanya semakin terasa aneh. Mungkin karena mitos yang hadir menjadi benar menurut sang bocah. “Jika kalian manusia mengapa kalian memakan manusia lain. Dan mengambil hak-hak yang bukan kalian miliki seharusnya.”
“Karena itu sudah menjadi bagian dari diri kami. Tidak lebih, tidak kurang. Orang-orang pulau pesisir mengatakan bahwa itu adalah Nafsu.” Dalam sekejap. Kapten itu mengeluarkan pedangnnya. Dan melingkarkan keleher sang bocah.