Tulisan itu mampu membuat pemerintah kolonial pada saat itu murka dan akhirnya membuat beliau diasingkan.
Setelah kembali dari pengasingan, kemudian Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan nasional taman siswa yang memberikan hak yang sama bagi kaum pribumi untuk mengakses pendidikan.
Maka sebagai seorang guru Indonesia sudah sepantasnya selain kita mengenal nama beliau.
Kita juga harus meneladani sikap beliau yang rajin membaca, menulis, dan berani untuk mengaktualisasi pemikirannya dalam rangka menjawab persoalan bangsa.
Dalam kata lain guru Indonesia harus rakus membaca yang kemudian dinarasikan dalam bentuk tulis dan diaktualisasi dalam tindakan.
Kenapa membaca? Membaca adalah fondasi terpenting dari pendidikan.
Karena dengan membaca kita mendapat wawasan dan ide baru yang mampu menggerakkan diri kita untuk melakukan suatu perubahan dalam tindakan kita sebagai guru.
Bahkan jika ditelisik lebih jauh, pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek telah memiliki kebijakan untuk menciptakan budaya membaca.
Seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS), mendirikan perpustakaan baik di sekolah atau desa, mendorong adanya buku bacaan bermutu bagi literasi Indonesia berkualitas atau gratis ongkir pengiriman buku setiap tanggal 17 lewat PT Pos.
Akan tetapi kebijakan tersebut seolah mengalami "kemandekan" bahkan di sekolah-sekolah mengartikan literasi hanya dengan menerbitkan buku atau menghasilkan karya tulis.
Mungkin juga "kemandekan" itu terjadi karena guru yang tidak bisa menjadi role model dalam kegiatan literasi di sekolah sehingga eksplorasi literasi menjadi terhenti dan mati.