Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi, anak-anak, dan kamu. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanjakan Sari Asih

30 September 2022   01:03 Diperbarui: 30 September 2022   01:05 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjelang tengah malam yang renyah, di halte sementara, Joko turun dari bus antar kota yang kumuh. Badannya terasa bau dan lengket karena keringatnya sendiri, dan bekas terkena percikan muntahan perempuan muda yang duduk di sebelahnya tadi. Sebagai pendatang di kota S yang konon kata orang-orang banyak menyimpan cerita mistis, Joko merasa sial dua kali ketika ternyata perempuan itu ikut turun bersamanya. Terbesit bayangan perempuan itu bakal merepotkannya sekali lagi. Tapi ternyata tidak. Hanya dalam hitungan menit, perempuan itu kini telah melaju di dalam taksi yang membawanya pergi entah kemana. 

Maka, di bawah cahaya lampu jalan yang terangnya tak seberapa, kini pemuda itu sendirian di dalam halte. 

Sudah cukup lama Joko mengincar Kota S sebagai tempat peruntungannya mencari rezeki. Kata teman-teman daerahnya yang lebih dulu merantau, kota S termasuk kota yang cukup mudah untuk ditaklukkan. Waktu itu Joko sering dikirimi foto oleh Badrun melalui WhatsApp-nya ketika sahabatnya itu sedang bergaya di depan mobil sedan bercat hijau telur asin yang menjadi tunggangannya sehari-hari di sebuah parkiran di atap gedung.

 "Wah, keren juga kamu, Drun! Sekarang sudah punya mobil!" komentar Joko saat itu. Padahal tanpa Joko ketahui dengan pasti bagaimana awal mulanya, Badrun bisa menjadi sopir taksi di kota S. Dan dari cerita Badrun pula, Joko tahu bahwa kota yang memiliki dua kontur tanah yang berbeda---daerah perbukitan dan daerah lautan---ini banyak beredar cerita-cerita menarik yang membuat bulu kuduknya meremang. Begitulah, Joko memang selalu antusias dengan hal-hal mistis dan klenik. 

 "Drun, sekarang aku sudah sampai. Saiki kowe neng endi? Aku langsung menuju tempat kos-mu saja atau bagaimana ini?" kata Joko setengah berteriak di samping layar telepon genggamnya yang butut. "Apa? O, kamu mau njemput aku? Yo wis, nek ngono. Iya, setahuku aku sekarang berada di daerah Sari Asih ...."

Sekitar lima belas menit kemudian taksi Badrun sudah berada di depan hidung Joko. Kedua sahabat itu terlihat saling menepuk-nepuk pundak sebelum akhirnya sedan warna hijau telur asin itu melaju. Sepanjang perjalanan Joko melongo ketika sedan yang ditumpanginya itu melintasi gedung-gedung tinggi tempat orang-orang hedonis berbelanja dan mencari hiburan. Belum lagi ketika sampai di atas daerah perbukitan, Joko begitu terpukau manakala melihat lampu-lampu kota di bawah sana menyala gemerlapan bak gemintang di langit gelap. "Waah ... apik tenan, yo, Drun!" sahut Joko polos. 

"Ah, ojo ndeso ngono, to, Jok! Tenang saja, jika kamu bisa diterima kerja di perusahaan taksi seperti aku, besok-besok kamu akan sering lewat sini." Joko meng-aamiin-kan perkataan sahabatnya itu sambil tertawa malu. 

 

***

Joko, Badrun, dan tiga orang teman sesama sopir sedang istirahat di warung kopi milik Mbak Nah, dekat pangkalan taksi. Sambil menunggu penumpang, mereka asyik mendengarkan penuturan Badrun yang akhir-akhir ini sering diganggu ketika melintas di tanjakan Sari Asih. Ya, daerah itu termasuk daerah perbukitan di kota S. Menurut Badrun, sekarang di tanjakan Sari Asih tidak aman lagi. Bukan karena gangguan orang jahat atau apa, tapi karena ia diganggu hantu! 

"Kalau kalian tahu penampakan wajah kunti itu, aku jamin ... kalian bisa-bisa nggak bisa tidur dan nggak enak makan!" Lelaki berbadan gempal itu tak henti-hentinya bergidik saat bercerita. "Bayangkan! Wajahnya rusak! Lalu, di balik baju panjang gambar bunga-bunga yang dia pakai, ternyata di punggungnya banyak belatung yang terus-terusan ngeluarin darah. Dan baunya itu, lho, aduh, amit-amit ... anyir dan amis banget! Wah, asu tenan pokok men!" ujar Badrun dalam logat Jawa khas kota S, sambil meludah karena teringat pengalamannya itu. 

Sesaat Joko terlihat menahan napas. Bukan karena takut seperti ketiga rekannya, tapi ia malah merasa tertantang bertemu sosok kuntilanak itu. Setiap malam ia sengaja melewati tanjakan Sari Asih, karena selepas magrib, di sana tidak ada akses angkutan umum. Tapi entah sial atau malah beruntung, sejak empat bulan yang lalu Joko diterima bekerja ia belum pernah sekalipun bertemu dengan hantu kunti itu. 

Daerah tanjakan Sari Asih, konon, di sana memang terkenal angker. Dulu banyak kecelakaan terjadi karena kondisi jalan yang menanjak dan berkelok. Karena itulah, kata penduduk setempat banyak arwah penasaran yang gentayangan. Dan, konon katanya lagi, hantu di sana sering menampakkan diri meniru orang-orang yang kita kenal. 

"Ah, dasar penakut semua! Mana mungkin orang meninggal bisa hidup lagi?!"

"Hei, Drun! Yakin, itu bukan halusinasimu saja? Waktu itu mungkin kamu kecapekan. Sebab, setiap hari aku lewat sana, nggak pernah tuh, diganggu setan atau hantu apalah seperti yang kamu ceritakan barusan." 

"Ah, kamu belum dapet rezeki aja ketemu 'Mbak Kun' kayak aku kemarin, Jok! Semoga saja nanti malam kamu bisa kencan sama dia, ya! Hiii ...!" Badrun pura-pura bergidik ngeri. 

"Halah, wis, ah! Dengerin si Badrun ngoceh bisa-bisa nggak kebagian penumpang aku nanti," ujar Joko sambil menghabiskan sisa air kopinya yang tinggal separuh. "Mbak Nah, ini catat dulu, ya!" teriak Joko pada Mbak Nah sambil menunjuk gelas kopinya yang telah tandas.

Mbak Mirnah, pemilik warung kopi itu hanya meringis menanggapi kebiasaan para sopir taksi itu, mau tak mau ia mencatat utang-utang mereka. Selalu begitu, dan seolah-olah Mbak Nah harus memaklumi. 

"Jok, hati-hati, ya! Bismillah dulu kalo mau jalan," kelakar Badrun disambut gema tawa yang lain.  Dari seberang warung Joko hanya tersenyum kecut sambil mengepalkan telapak tangannya kepada mereka. 

Joko memacu taksinya menuju pusat kota. Saat itu jam digital di dasbor menunjuk angka dua satu titik tiga lima. Joko masih berputar-putar di tengah kota, menikmati semarak kerlap-kerlip lampu di sekitar alun-alun dan sedikit memainkan gas dan kopling ketika melewati kemacetan di sana. Kemudian Joko menyisir jalan menuju pinggir kota. Masih sepi penumpang.

 "Sepertinya malam ini orang-orang lebih memilih jalan kaki. Sepi sekali." 

Agak lama Joko melamun di belakang kemudi. Tanpa terasa lamunan membawanya menuju tanjakan Sari Asih.

 Setelah mengurangi gigi persneling dan menancap gas lebih dalam, tanjakan dan kelokan demi kelokan itu ia lewati dengan tabah. Sepanjang jalan, sebelah kanan kirinya hanya terlihat pemandangan gelap. Tiba-tiba dari arah sisi kiri, Joko melihat seorang perempuan sedang berdiri dengan posisi tangan menyetop taksinya. 

"Alhamdulillah, rezeki!"

Segera ia tepikan taksinya. Perempuan itu berbaju gamis polos dan berkerudung hitam. Wajahnya ... cantik! Senyum Joko mengembang menunggu perempuan itu membuka pintu taksinya. 

"Malam, Mbak," sapa Joko ramah. Sesaat perempuan itu bergeming, tak lama kemudian terdengar pintu taksi ditutup.

"Eh, mau diantar ke mana, nih?" tanya Joko sambil terus mengawasi dari kaca spion, siapa tahu si perempuan berubah menjadi kuntilanak seperti cerita Badrun. 

"Ke Jalan Melati, ya, Mas!" perintah perempuan itu lembut sambil menepuk pelan pundak Joko. "Lho, kok bengong, Mas? Ayo, jalan!"

"Eh, iya, jalan Melati, ya, Mbak." Tersadar melongo dari tadi, Joko langsung tancap gas. 

Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampailah Joko mengantar perempuan itu sampai tujuannya. Perempuan itu lalu turun di depan gang Jalan Melati. Sambil menyerahkan selembar uang berwarna merah dia mengucapkan terima kasih. 

"Eh, Mbak, banyak sekali? Saya nggak ada kembaliannya, lho" kata Joko kebingungan.

"Udah, kembaliannya buat Mas aja, saya ikhlas!" ujar si perempuan sambil tersenyum manis. Memang sejak siang Joko belum dapat penumpang lagi. Uang hasil menarik taksinya pun belum banyak. Dan kali ini Joko ketiban rezeki nomplok. 

"Alhamdulillah ... beneran, nih, Mbak? Makasih banyak, ya!" teriak Jaka semringah. Perempuan itu segera keluar dan berlalu. Joko segera memutar balik taksinya. Tidak ada keanehan ataupun hal seram yang terjadi selama perjalanan tadi. Tidak ada perempuan yang beralih wujud menjadi kuntilanak, atau uang yang berubah bentuk menjadi daun. Tidak ada! 

***

"Drun, semalam aku dapat durian runtuh!" pamer Joko saat mereka bertemu keesokan paginya. Joko lalu menceritakan pengalamannya.  

"Jadi aku tegaskan lagi, ya, Drun: nggak ada namanya hantu atau kunti seperti yang kemarin kamu ceritakan itu."

Mendengarnya Badrun hanya manyun sambil menggaruk kepalanya. Dengan wajah kesal, lelaki yang usianya sepantaran dengan Joko itu berkata, "Ah, mungkin semalam kamu lagi hoki saja. Coba nanti malam ulangi lagi lewat Sari Asih lepas jam dua belas. Lalu rasakan sensasinya ... ha-ha-ha!" 

"Halah, ndadak alasan hoka-hoki! Pokoknya di sana nggak ada hantu. Dasar kamunya saja yang penakut! Dah, ah, aku berangkat dulu.  

Mereka lantas memacu taksinya masing-masing. 

Gelap malam menuju dini hari semakin pekat saat Joko selesai mengantar penumpang kedua belas. Lumayan banyak pendapatannya hari ini. Dengan penuh syukur, Joko bermaksud untuk langsung pulang.

Tiba di tanjakan Sari Asih, suasana jalanan lengang. Sama sekali tak ada mobil ataupun motor yang melintas. Dari kejauhan, Joko melihat dengan jelas sosok perempuan tengah berdiri di tepi jalan seperti kemarin. Ia langsung menginjak gas dalam-dalam. Semakin dekat, jalanan semakin menanjak. Dan sosok perempuan itu tiba-tiba menghilang. Joko seperti tidak percaya pada penglihatannya. 

 "Ah, nggak mungkin!" 

Lalu Joko mundurkan taksinya. Ia celingukan mencari perempuan itu.

"Kok aneh sih, tadi jelas ada kok!" gumam Joko sambil menggaruk kepalanya. "Ah, mungkin aku sudah ngantuk!" sambil bersiap menancap gas, tiba-tiba dari bayangan spion ....

"Aaargh ... Asu! Siapa kamu? Eh, lho, ini Mbak yang kemarin, kan? Kok udah duduk di situ? Kapan masuknya?" cerocos Joko kaget setengah mati melihat sosok perempuan telah duduk di jok belakang taksinya. Dengan wajah tertunduk, si perempuan masih bergeming. Joko mulai goyah, dadanya berdegup kencang.

Saat perempuan itu perlahan mengangkat wajahnya, Joko makin frustrasi dan takut setengah mati. Sekilas ia melihat wajah itu mirip Mbak Mirnah, tetapi wajahnya rusak dan bola matanya keluar penuh darah. Joko berteriak-teriak minta tolong. Percuma! Cepat-cepat ia tancap gas ingin segera pergi dari situ, tapi nihil! Taksinya seolah-olah mogok, tak dapat melaju seperti biasanya.[*]

Tangerang, 300922

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun