Kalau saja mesin waktu itu benar ada dan saya diberi pilihan untuk memutuskan mungkin saya tidak cepat-cepat terjun untuk menjadi pekerja purna waktu (freelancer) alias pekerja lepas seperti yang sedang saya jalani sekarang.Â
Kalau mau diceritakan dahulu saat saya menginjak kelas tiga di sekolah menengah pertama, ayah saya jauh-jauh hari telah menyarankan untuk melanjutkan studi di jenjang sekolah menengah kejuruan atau SMK supaya setelah lulus sekolah bisa langsung bekerja.Â
Saya tidak menolak mentah-mentah arahan ayah saya tadi. Hanya saja masih menjadi pertimbangan di dalam hati. Maklumlah pada era itu informasi sana sini masih sukar dicari dan jumlah sekolah kejuruan belumlah terbilang banyak.
Pikir saya ketika itu imej STM, SMIP, SMF dan Kejuruan lainnya belumlah seksi dengan citra kuno, sering tawuran dan segudang persoalan lain. Secara pribadi pun saya belum siap dan mantab untuk langsung bekerja.Â
Yang terlintas hanya ingin mengenyam pendidikan setinggi-tingginya seperti kebanyakan kerabat dan para sahabat. Setelah lulus di Sekolah Menengah Atas lalu mendaftar di Perguruan Tinggi ternama dengan jurusan yang kita inginkan. Pokoknya mah Sekolah Kejuruan jadi pilihan paling terakhir ketika saya tidak berhasil diterima di SMA Negeri. Namun nasib berkata lain, dengan mudahnya saya lolos dan bersekolah di SMAN bilangan Jakarta Selatan sesuai dengan rayon yang saya pilih.
Berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini. Sekolah Menengah Kejuruan tak lagi dianggap sebelah mata atau dicap sebagai institusi pendidikan yang termarjinalkan. Saya iri begitu melihat sekolah Kejuruan atau yang sekarang keren dengan label istilah Vokasi, baik itu yang Negeri maupun Swasta di Jakarta. Sudah bangunan gedungnya modern ditambah dengan sarana dan prasarana pendukung bagi para siswa yang lebih memadai.Â
Cita-cita saya dahulu seandainya tidak diterima di Sekolah Umum berniat untuk mengambil sekolah jurusan Ilmu Perhotelan atau Pariwisata. Seiring dengan berkembangnya kemajuan zaman dan tingginya minat pendidikan vokasi, sekolah kejuruan tak melulu Teknik Mesin, Akuntansi atau Administrasi Perkantoran saja tapi sudah merambah ke bidang Pertanian bahkan Multimedia dan industri kreatif lainnya. Salut!
Tapi ya sudahlah nasi telah menjadi bubur. Buat apa lagi disesali. Life must goes on! Memasuki awal tahun 2019 kalender Masehi kita harus terus melangkah ke depan. Anggap saja cerita masa lalu menjadi pelajaran berharga untuk jadi lebih baik lagi di masa mendatang. Ya toh?
Sekolah Vokasi di Indonesia
Beliau menambahkan perubahan sangat cepat, dari internet beralih ke mobile internet, lalu dari mobile bergeser ke artificial intelligence, robotics, tesla hyperloop. Itulah sebabnya, sekolah semacam politeknik dan vokasi, sangat diperlukan jika kualitas SDM di Indonesia tidak ingin tertinggal dari negara lain.
Sekolah vokasi adalah pendidikan keahlian setara dengan politeknik. Pada dasarnya pendidikan yang lebih berorientasi pada penerapan ilmu. Lulusannya harus berkompeten dan terampil dalam bekerja.Â
Begitu juga dengan para pengajarnya, harus memiliki sertifikasi profesi. Model pembelajaran sekolah vokasi berbeda dengan sistem pendidikan akademik seperti jenjang Sarjana, Magister atau Doktor.Â
Jika pada pendidikan akademik menekankan ilmu pengetahuan, sekolah vokasi menekankan pembelajaran yang terstruktur dan keahlian yang lebih driven atau terarah. Menurut data Kemenristekdikti, pendidikan vokasional di Indonesia terdiri dari 1.365 lembaga pendidikan, di antaranya 1.103 akademi kejuruan dan 262 politeknik.
Pada intinya, sekolah vokasi diarahkan untuk mencetak lulusan yang siap bekerja sesuai kebutuhan dunia kerja saat ini. Oleh sebab itulah sekitar 70 persen dari isi program pembelajaran merupakan praktik di industri.
Peran pemerintah Indonesia terkait Pendidikan Vokasi
Sebagai tambahan Politeknik Ketenagakerjaan memiliki tiga program studi yaitu; Program Studi D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi D4 Relasi Industri, dan Program Studi D3 Manajemen Sumber Daya Manusia.
Langkah Kemnaker dalam Memasifikasi Program Vokasi
Sumber daya alam akan cepat habis dieksploitasi belum lagi munculnya ragam problematika terutama lingkungan. Berbeda dengan investasi SDM yang tidak terbatas dan terus bertumbuh dengan dinamis.
Dari segi bidang ketenagakerjaan, Indonesia dihadapkan pada ketimpangan SDM angkatan kerja dimana 58,76 persen adalah lulusan SD dan SMP serta fakta miris mengenai mis-match (ketidakcocokan antara bidang ilmu dengan jenis pekerjaan) yang hingga mencapai 63 persen. Dengan digalakkannya pelatihan vokasi, Kemnaker telah melakukan beberapa terobosan, yakni program secara besar-besaran terkait pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK), pemagangan terstruktur serta sertifikasi uji kompetensi.Â
Jika berbicara angka, secara kumulatif, dari tahun 2015 hingga Oktober 2018 peserta pelatihan BLK baru mencapai 383.132 orang. Pada tahun 2019 secara akumulasi harapannya akan bertambah menjadi 660.476 orang.Â
Sementara untuk yang mengikuti program pemagangan sejak 2015 - Oktober 2018 mencapai 149.064 orang. Pada 2019 secara akumulasi jumlahnya meningkat drastic menjadi 360.864. Tambah lagi peserta yang mengikuti sertifikasi uji kompetensi sejak 2015 - Oktober 2018 mencapai 1.349.559 orang. Di tahun 2019 ini diproyeksikan menjadi 1.875.748 orang.
Untuk menjawab perkembangan industri berbasis digital, Menaker M. Hanif Dhakiri mengambil langkah inisiatif untuk membangun Innovation Room di Kantor Kemnaker pada Juni 2018 yang lalu. Ruangan ini merupakan sebuah Talent Hub untuk mendukung secara penuh tantangan era baru industri digital dan industry 4.0. Untuk kedepannya, Innovation Room akan coba direplikasi di BLK-BLK milik Kemnaker yang ada di seluruh Indonesia.
Pak Khairul melansir hasil riset McKinley Global Institute yang menyebutkan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia. Namun capaian tersebut mengisyaratkan penduduk usia produktif yang memiliki skill mumpuni dengan kompetensi handal dan kualitas SDM yang potensial.
Penutup
Anak-anak bangsa akan tumbuh menjadi tenaga-tenaga ahli yang diperhitungkan di negaranya bahkan dunia. Jika visi ini terwujud di masa depan, tentu saja Indonesia tidak perlu 'mengimpor' banyak tenaga SDM kerja asing yang berkualitas.
Salam,
Sam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H