Kompasiana mengajukan topik yang menarik. Apakah perlu adanya batasan usia bagi capres dan cawapres?
Memangnya kenapa persyaratan batas usia Capres dan Cawapres ini penting? Demikian diangkat masalah ini. Apakah memang penting, atau mengada -ada sehingga dianggap penting? Biar simbah-simbah di atas 70 tahun tidak bisa menjadi presiden, atau anak culun yang gak pernah karir di dunia pemerintahan tetiba menjadi cawapres?
Apa yang perlu Mahkamah Konstitusi (MK) perhatikan dan pertimbangkan mengenai putusan tersebut? Nah, tulisan ini mencoba menjawab ini, meski pasti subjektif hanya menurut penulis sendiri.
Syarat Usia Capres Cawapres itu bisa jadi penting, bisa jadi ya tetap penting namun bukan utama.
Sebagai contoh misalnya anak muda boleh saja menjadi capres dan cawapres - sepanjang - punya rekam jejak atau portofolio yang bagus. Punya perjalanan karir profesional atau politik yang bagus. Dan seterusnya.
Kalau saya sendiri memandang, lebih afdhol menyiapkan capres cawa[res yang sehat fisik mental psikologis.
Sebab jika hanya masalah batasan usia, Amerika Serikat punya catatan bahwa Barack Obama pensiun sebagai Presiden setelah 8 tahun menjabat (2 periode), sebelum usia 60 tahun.
Sementara Trumph, menjadi presiden justru di atas usia 70 tahun.
Di luar kontroversi bahwa konon Trumph itu agak nyleneh, usia menjadi bukti bahwa di negara yang dianggap maju tersebut, usia bukan masalah.
Yang penting sehat waras fisik mental spiritual dan psikologis.
Bagaimana di Indonesia?
Kita punya presiden dengan keragaman latar belakang; Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, Pak Jokowi.
Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Konon di dunia ini - manusia itu ada yang gila wanita, gila harta, gila kekuasaan, sampai gila beneran. Itu guyon ekstrimnya.
Namun dalam pilihan capres dan cawapres, khususnya menyambut 2024 mendatang ini, yang penting waras.
Siapa yang punya otoritas menentukan kewarasan capres dan cawapres?
Tentu yang punya latar belakang keilmuan relevan.
Sehat fisik: para dokter atau ahli kebugaran.
Sehat mental psikologis: ahli jiwa baik dokter psikiater atau pun psikolog.
Jadi, usia bukan isu utama. Isu utama adalah bagaimana menghadirkan capres dan cawapres yang waras.
Pasti kita tidak ingin dipimpin oleh kepala negara yang tidak waras.
Sedih rasanya jika tetiba ada pak Lurah yang ketika rapat, karena marahnya, langsung menggebrak meja atau melempar sepatu ke ajudan. Itu adalah sebuah ilustrasi ekstrim, yang bisa saja terjadi jika kita salah memilih lurah. Tapi aku suka, mau apa?
Atau, Lurah yang membanggakan suka nonton bokep. Tapi aku suka, mau apa?
Atau, Lurah yang menonjolkan identitas tertentu dengan sektarianisme? Tapi aku suka, mau apa?
Pilihlah yang lebih masuk akal, atau mana saja yang disukai. Gak ada yang melarang.
Maka, akhirnya, semua bakal capres dan cawapres terserah saja. Yang lebih utama adalah bagaimana agar rakyat waras dalam memilih capres dan cawapresnya.
Usia bukan utama, yang utama adalah kewarasan. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H