Pada usia 11 tahun, Sunan Giri yang masih anak-anak, diantarkan oleh ibu angkatnya ke sebuah pesantren untuk berguru kepada Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya. Di sanalah ia mendapatkan banyak ilmu dari gurunya.
Diceritakan dalam buku yang sama, Sunan Giri sempat diminta meneruskan usaha ibu angkatnya untuk berdagang sebagaimana profesi keluarga berdarah Arab perantauan ketika itu.
Namun, ia lebih memilih untuk menyebarkan agama Islam dan mendirikan pondok pesantren. Pondok pesantren ini kalau di kalangan Jawa Tradisional adalah padepokan, yang ada nilai manut mituhu terhadap Kyai atau Pimpinan Pondok.
Lebih lanjut Sunan Giri dikenal dengan gaya dakwah pesantren yang akhirnya saat ini banyak diikuti oleh kalangan Nadliyin dalam wadah Nahdatul Ulama (NU).
Ia banyak mengajari santri-santrinya lewat permainan anak-anak. Permainan yang ia buat dan masih terkenal hingga saat ini antara lain Jelungan dan Cublak-cublak Suweng.
Cerita detail kadang bisa kita dengarkan dari kyai-kyai NU yang masih berdarah keluarga dengan para Wali Songo termasuk Sunan Giri ini.
Lewat dua permainan ini Sunan Giri memberikan pemahaman tentang agama Islam sebagai pedoman dalam menjalani hidup. Permainan ini diiringi dengan bernyanyi. Sehingga banyak anak-anak suka dengan metode dakwah yang dilakukan Sunan Giri.
Selain permainan anak, Sunan Giri juga menciptakan tembang sebagai media penyampaian ajaran Islam. Karya-karyanya adalah tembang Asmaradhana dan Pucung.
Itulah kisah Sunan Giri dalam menyiarkan Islam di Tanah Jawa. Jawa akhirnya penuh dakwah muslim Wali Songo dengan jejak yang masih bisa kita kunjungi hingga saat ini.
Sebagaimana kami Tim Stiamak Barunawati Surabaya yang bulan Juni 2021 ini sibuk menjalin silaturahim dengan rakyat Jawa Timur baik di Gresik, Tulung Agung, Madura, Sidoarjo, Surabaya, Bawean, Nganjuk dan sekitarnya.