Ada instruksi berjalan yang sepertinya akan efektif dan sukses. Dimulainya era mobil bertenaga listrik, sebagai bagian dari investasi pertambangan yang menghasilkan bahan dasar energi baterai atau yang lazim di awam disebut sebagai accu.
Pemerintah juga telah mencanangkan, mobil dinas para pejabat secara bertahap akan direplace ke mobil bertenaga listrik alias aki alias beterei. Tidak lagi berbahan bakar bensin, pertamax, apalagi solar.
Selain energi listrik dinilai lebih eco-friendly, juga karena mobil ini aka mengurangi banyak polusi lain misalnya kebisingan, yang sangat potensial menimbulkan stress. Kebisingan menjadi sumber stress yang tidak disadari oleh awam, sehingga banyak perilaku agresivitas di jalanan. Selain tentu saja, polusi udara dari bahan bakar yang digunakan.
Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Presiden (Perpes) tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasasis Baterai (Battery Electric Vehicle pada 5 Agustus 2019, hampir 2 tahun yang lalu.
Nah, sebagai benchmarking, bagaimana penggunaan energi listrik untuk mobil di Eropa?
Kalau untuk mobil umum seperti bus kota, saya sudah melihat dan merasakan di Swedia sudah lama diterapkan. Sehingga stasiun pengisian bahan bakar mesin bukanlah tangki timbun ala Pertamina, melainkan seperti stasiun charging hape, dan yang dicharge adalah bus-bus besar Skania.
Nah, saya kembali terkoneksi dengan mentor saya, Pak Vincent dari Norwegia. Saya sajikan utuh dengan semangat berbagi info, ehhh.. siapa tahu bermanfaat. Setidaknya untuk wawasan kita bersama;
.........
Sedikit masalah mobil, by Vincent R., Norwegia
Saya dengar di tanah air sudah mulai banyak dijual mobil listrik dan penggunaan mobil listrik ingin ditingkatkan.
Sudah bukan rahasia kalau penjualan mobil listrik di Norway itu tergolong sukses. Banyak insentif yang diberikan pemerintah untuk mobil listrik sejak awal: bebas pajak, bebas tol, bebas parkir, bisa menggunakan jalur bus/taxi, bebas biaya listrik untuk mengisi baterai, dll.
Insentif ini lambat laun dikurangi sejalan dengan jumlah mobil listrik yang berkeliaran. Faktor lain mengapa Norway cocok untuk mobil listrik itu berkaitan dengan sumber pembangkit listrik di sini yang mayoritas adalah pembangkit listrik tenaga air, artinya minim polusi.
Tahun 2020 54% mobil baru yang dijual di Norway itu mobil listrik.
Saya sendiri belum memutuskan untuk menggunakan mobil listrik. Kenapa? Ada dua alasan. Yang pertama menurut saya harga mobil listrik masih terlalu mahal. Mobil listrik yang cocok untuk keluarga seperti Audi e-tron, Tesla X, Jaguar i-pace harganya masih di atas 600 ribu kroner, atau mendekati 1 M rupiah. Padahal mobil-mobil tsb dijual tanpa pajak.
Yang kedua, hampir semua mobil listrik yang bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga itu SUV (special utility vehicle). Belum ada mobil station wagon yang listrik. Sebenarnya ada satu tapi dari merk yang kurang meyakinkan: MG (ini mobil buatan China, pakai merk Inggris).
Hybrid
Alternatif lain, untuk kepentingan mengurangi emisi sebenarnya itu mobil hybrid. Ada dua jenis mobil hybrid yang sekarang dijual di Norway. Yang jenis pertama itu model Toyota Prius di mana mobil menyimpan energi saat ada kelebihan, misalnya pada saat mobil nge-rem atau di turunan. Energi yang disimpan akan digunakan saat kondisi tertentu, misalnya mobil dalam kecepatan rendah, baru jalan, atau dalam kondisi macet.
PHEV
Type kedua yang sedang naik daun itu type plugin hybrid, disingkat PHEV (plugin hybrid electric vehicle). Intinya mobil jenis ini punya dua sumber penggerak: mesin biasa (bensin atau diesel), dan motor listrik (menggunakan baterai). Contoh mobil ini: Audi A3 e-tron, Mitsubishi Outlander PHEV, Volkswagon Passat Hybrid PHEV, Volvo
Saya hampir membeli mobil plugin hybrid ini, dan berhasil meyakinkan seorang kawan membeli Mitsubishi Outlander PHEV. Mobil ini punya baterai yang relatif besar, sekitar 50 kW. Bisa digunakan untuk jarak sampai 40 km. Baterai bisa di-charge dari sumber listrik di luar (jaringan listrik di rumah atau stasion pengisian umum).
Mobil ini cocok untuk keluarga yang bertempat tinggal tidak jauh dari sekolah dan tempat kerja (< 20 km). Dengan demikian ybs bisa memilih menggunakan listrik, tanpa sama sekali menghidupkan mesin. Artinya mobil tsb akan berfungsi seperti sebuah mobil listrik murni. Bila dibutuhkan, sekali-sekali bisa digunakan keluar kota, tanpa takut kehabisan listrik karena ada mesin berbahan bakar fosil. Secara konsep alternatif ini sangat ideal.
Dalam kenyataannya bila diperhatikan dengan lebih detail ada beberapa aspek yang membuat saya urung membeli mobil jenis ini. Yang pertama mobil ini rumit, komponennya banyak. Karena punya dua sistem penggerak, artinya ada dua motor (BBM dan motor listrik), ada tanki BBM ada baterai, ada transmisi, gearbox, dan inverter. Belum lagi sistem yang dipasang untuk menuai energi saat mobil nge-rem atau di turunan.
Dampak akhirnya, mobil ini berat, dan biaya perawatannya mahal, karena harus lebih sering ganti ban, ganti oli, kanvas rem, dll. Kalau dipikir-pikir mobil ini sebenarnya kurang efisien, karena sewaktu digerakkan dengan tenaga baterai mobil harus membawa beban mesin. Sebaliknya, dalam perjalanan panjang tenaga mesin juga harus digunakan untuk membawa beban ekstra dari baterai, motor listrik, dll.
(untungnya si kawan yang membeli mobil PHEV ini masih happy sampai terakhir saya tanya)
Mobil listrik dan perilaku berkendara
Pada dasarnya saya melihat ada dua jenis mobil listrik. Yang pertama jenis yang kecil, untuk keperluan sehari-hari, jarak pendek, seperti Nissan Leaf, BMW i3, VW Golf e, Fiat 500 e, Opel Mocca, dll. Biasanya mobil ini dibeli sebagai mobil kedua, atau ketiga. Mobil ini sering dicharge di rumah, atau dicharge di charging station di tengah kota. Yang kedua, mobil listrik yang digunakan sebagai mobil utama. Nah, mobil jenis ini biasanya relatif lebih besar, dengan kapasitas baterai yang lumayan, karena sewaktu-waktu akan digunakan untuk perjalanan jauh, antar kota antar provinsi, bahkan lintas negara. Kapasitas baterainya relatif besar.
Beberapa kali saya mengendarai mobil seperti ini lintas provinsi, dengan jarak tempuh kurang lebih 1400 km pp. Mengendarai mobil listrik seperti Tesla, Jagur i-Pace, Audi etron atau Mercedes EQC untuk jarak jauh berbeda dengan pola berkendara dengan mobil berbahan bakar bensin, diesel, atau hybrid.
Sebelum melakukan perjalanan kita harus melakukan perencanaan jeli di mana kita akan berhenti mengisi baterai, dan berapa banyak. Mobil-mobil ini kebanyakan sudah dilengkapi dengan piranti lunak untuk keperluan perencanaan perjalanan. Misalnya, kita mau berkendara dari A ke E, sejauh 600 km, maka sebaiknya kita berhenti 3 kali. Dari A setelah berkendara selama dua jam, kita berhenti di B untuk mencharge sebanyak X kW, selama sekian menit. Kemudian dari B kita melanjutkan perjalanan ke C, dst.
Waktu tempuh total akan menjadi sekian jam. Yang menarik untuk diketahui, jarang mobil itu di-charge sampai 100% dalam perjalanan seperti ini, karena waktu baterai di charge dari 20% ke 60% itu berbeda dengan dari 60% ke 100%. Waktu charge menjadi relatif lama setelah baterai mencapai kapasitas tertentu. Kebanyakan dari kita tidak mau berhenti terlalu lama, maksimum 20 menit, kecuali untuk makan siang, atau makan malam.
Strategi pemilihan charging station menjadi penting, karena kita ingin menyesuaikannya dengan kapasitas mobil yang dikendarai. Mobil-mobil listrik terbaru bisa menerima charging dengan kapasitas 150 kW. Pemilik mobil ini akan menghindari charging station yang hanya 50 kW.
Jadi penting tersedia charging station yang memadai di sepanjang jalan yang ingin kita tempuh, dan penting untuk mengetahui keberadaan mereka, terutama untuk mengetahui di mana kita bisa nge-charge terakhir, seberapa banyak musti nge-charge, sebelum mulai berkendara ke titik destinasi berikutnya.
Kawan saya yang memiliki Jaguar i-Pace biasa menggenjot mobilnya sebelum tiba di charging station. Kenapa? Karena semakin panas baterainya, semakin lancar kita bisa nge-charge. Baterai yang dingin, "berat" ngangkatnya. Dari sini juga sebenarnya tersirat bahwa kita tidak perlu beli mobil listrik dengan kapasitas baterai yang terlalu besar. Baterai besar, berat bobotnya, juga berat nge-charge-nya, kecuali memang dibutuhkan untuk menarik beban yang berat/besar juga.
Hampir semua kawan yang mengendarai mobil listrik bercerita pengalaman menegangkan hampir kehabisan baterai di jalan, entah karena kelupaan nge-charge, salah perhitungan, atau mungkin karena charging station yang dituju tidak sesuai dengan informasi yang dimiliki. Misalnya charging stationnya sudah tidak ada, atau tidak tersedia untuk umum.
Dalam situasi seperti ini, mereka berharap punya gen set yang bisa digunakan untuk men-charge mobil mereka dalam kondisi genting. Mungkin inilah type mobil hybrid yang akan lebih populer dari yang sekarang. Artinya, mobil tidak perlu memiliki sistem yang redundant, sehingga tidak berat.
Demikian pandangan naif saya hari ini. Mungkin ada koreksi atau komentar,... pernyataan, pernyataan, kesaksian,... Sumonggo,...(VR)
........
Demikian edisi berbagi hari ini, langsung dari Norway. Jadi jika mobil berbahan bakar diwajibkan di tanah air, maka silakan agen-agen penjualan mobil berbahan bakar solar dan bensin, segera menghabiskan stock gudangnya. Sebab, sebentar lagi mobil berbahan bakar demikian, akan digantikan oleh tenaga listrik lho ya...
Waw..... berarti sukses penjualan mobil di Tuban baru baru ini akibat kaya mendadak, adalah berita dadakan gembira juga untuk sales mobil. Sebab, secara perlahan, pasar mobil akan berganti ke mobil listrik.
Selamat datang mobil listrik. (21.02.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H