Saya hampir membeli mobil plugin hybrid ini, dan berhasil meyakinkan seorang kawan membeli Mitsubishi Outlander PHEV. Mobil ini punya baterai yang relatif besar, sekitar 50 kW. Bisa digunakan untuk jarak sampai 40 km. Baterai bisa di-charge dari sumber listrik di luar (jaringan listrik di rumah atau stasion pengisian umum).
Mobil ini cocok untuk keluarga yang bertempat tinggal tidak jauh dari sekolah dan tempat kerja (< 20 km). Dengan demikian ybs bisa memilih menggunakan listrik, tanpa sama sekali menghidupkan mesin. Artinya mobil tsb akan berfungsi seperti sebuah mobil listrik murni. Bila dibutuhkan, sekali-sekali bisa digunakan keluar kota, tanpa takut kehabisan listrik karena ada mesin berbahan bakar fosil. Secara konsep alternatif ini sangat ideal.
Dalam kenyataannya bila diperhatikan dengan lebih detail ada beberapa aspek yang membuat saya urung membeli mobil jenis ini. Yang pertama mobil ini rumit, komponennya banyak. Karena punya dua sistem penggerak, artinya ada dua motor (BBM dan motor listrik), ada tanki BBM ada baterai, ada transmisi, gearbox, dan inverter. Belum lagi sistem yang dipasang untuk menuai energi saat mobil nge-rem atau di turunan.
Dampak akhirnya, mobil ini berat, dan biaya perawatannya mahal, karena harus lebih sering ganti ban, ganti oli, kanvas rem, dll. Kalau dipikir-pikir mobil ini sebenarnya kurang efisien, karena sewaktu digerakkan dengan tenaga baterai mobil harus membawa beban mesin. Sebaliknya, dalam perjalanan panjang tenaga mesin juga harus digunakan untuk membawa beban ekstra dari baterai, motor listrik, dll.
(untungnya si kawan yang membeli mobil PHEV ini masih happy sampai terakhir saya tanya)
Mobil listrik dan perilaku berkendara
Pada dasarnya saya melihat ada dua jenis mobil listrik. Yang pertama jenis yang kecil, untuk keperluan sehari-hari, jarak pendek, seperti Nissan Leaf, BMW i3, VW Golf e, Fiat 500 e, Opel Mocca, dll. Biasanya mobil ini dibeli sebagai mobil kedua, atau ketiga. Mobil ini sering dicharge di rumah, atau dicharge di charging station di tengah kota. Yang kedua, mobil listrik yang digunakan sebagai mobil utama. Nah, mobil jenis ini biasanya relatif lebih besar, dengan kapasitas baterai yang lumayan, karena sewaktu-waktu akan digunakan untuk perjalanan jauh, antar kota antar provinsi, bahkan lintas negara. Kapasitas baterainya relatif besar.
Beberapa kali saya mengendarai mobil seperti ini lintas provinsi, dengan jarak tempuh kurang lebih 1400 km pp. Mengendarai mobil listrik seperti Tesla, Jagur i-Pace, Audi etron atau Mercedes EQC untuk jarak jauh berbeda dengan pola berkendara dengan mobil berbahan bakar bensin, diesel, atau hybrid.
Sebelum melakukan perjalanan kita harus melakukan perencanaan jeli di mana kita akan berhenti mengisi baterai, dan berapa banyak. Mobil-mobil ini kebanyakan sudah dilengkapi dengan piranti lunak untuk keperluan perencanaan perjalanan. Misalnya, kita mau berkendara dari A ke E, sejauh 600 km, maka sebaiknya kita berhenti 3 kali. Dari A setelah berkendara selama dua jam, kita berhenti di B untuk mencharge sebanyak X kW, selama sekian menit. Kemudian dari B kita melanjutkan perjalanan ke C, dst.
Waktu tempuh total akan menjadi sekian jam. Yang menarik untuk diketahui, jarang mobil itu di-charge sampai 100% dalam perjalanan seperti ini, karena waktu baterai di charge dari 20% ke 60% itu berbeda dengan dari 60% ke 100%. Waktu charge menjadi relatif lama setelah baterai mencapai kapasitas tertentu. Kebanyakan dari kita tidak mau berhenti terlalu lama, maksimum 20 menit, kecuali untuk makan siang, atau makan malam.
Strategi pemilihan charging station menjadi penting, karena kita ingin menyesuaikannya dengan kapasitas mobil yang dikendarai. Mobil-mobil listrik terbaru bisa menerima charging dengan kapasitas 150 kW. Pemilik mobil ini akan menghindari charging station yang hanya 50 kW.