Desember 2020 ini dunia logistic transportasi pelabuhan dibuat heroik denga hadirnya pelabuhan Patimbang yang diharapkan dapat meningkatkan nilai kompetitif pelabuhan di Indonesia. Ini pantas disambut gembira dengan meningkatkan peran aktif masyarakat ikut dalam berkontribusi ide pemikiran. Diharapkan negara kita semakin maju berkembang dan mensejahterakan rakyat semakin baik lagi.
Banyak kalangan berpendapat bahwa pelabuhan tersebut adalah poyek panjang bernilai jumbo. Pembangunan Pelabuhan Patimban sudah dimulai sejak 2019 dengan diresmikan pertama kali oleh presiden Jokowi, dan akan diselesaikan secara bertahap hingga ditargetkan kelar pada 2027.
Untuk menyelesaikan proyek ambisius seluas 654 hektare itu pemerintah membutuhkan investasi cukup besar. Presiden Joko Widodo bahkan mengatakan untuk tahap pertama, investasi yang dibutuhkan sekitar Rp29 triliun. Sementara total investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pelabuhan itu hingga selesai mencapai Rp50 triliun
UU Pelayaran 2008
Jauh tahun sebelumnya, April 2008 ini sangat heboh dan hiruk pikuk dunia logistik Indonesia diramaikan dengan pengesahan UU Pelayaran 2008 sebagai revisi atas UU No. 21 Tahun 1992. Meski pun diwarnai dengan demonstrasi dan penolakan, nyatanya UU ini telah disahkan dan tinggal ditindaklanjuti dengan juklak juknis termasuk Peraturan Pemerintah untuk diimplementasikan di lapangan. Jeda waktu 2 -- 3 tahun sebagai masa transisi, ada kemungkinan akan diwarnai oleh Uji Material oleh Mahkamah Konstitusi yang sedang diusulkan oleh sebagian masyarakat yang agak keberatan dengan isi dari UU Pelayaran tersebut.
Kaitan dengan ini, sebelumnya berhembus rumor bahwa ada pendapat yang berkembang di masyarakat, bahwa telah terjadi duplikasi peran antara fungsi regulator dan operator di pelabuhan.
Benarkah demikian? Marilah kita urai satu per satu.
Regulasi yang terbilang menarik selain UU Pelayaran yang telah mendapatkan penolakan dari banyak pihak pelaku bisnis kepelabuhanan, adalah fakta bahwa pemerintah melalui Inpres RI No.5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional menyatakan bahwa asas cabotage harus dilaksanakan secara konsekuen.
Setiap perumusan kebijakan (policy) serta langkah-langkah implementatif lainnya yang dibutuhkan harus sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing pihak yang terkait dengan fokus memberdayakan industri pelayaran nasional.
Permasalahan timbul kalau kita mencermati poin kebijakan dalam sektor perhubungan. Khususnya bidang pelabuhan yang terdiri atas 6 (enam) butir, pada butir 4 (empat) dikatakan bahwa; "Mengembangkan manajemen pelabuhan sehingga secara bertahap dan terseleksi terjadi pemisahan fungsi regulator dan operator, dan memungkinkan kompetisi pelayanan antar terminal di suatu pelabuhan dan antar pelabuhan."
Hal ini jelas menimbulkan masalah bila kita lihat dan bandingkan dengan fakta historis. Pemerintah pada tahun 1983 sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan masalah regulator dan operator ini. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 1983 tentang Pembinaan Kepelabuhanan, dinyatakan bahwa "pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan dalam hal regulator diserahkan kepada Administratur Pelabuhan (ADPEL)". Secara administratif posisi ADPEL adalah berada dalam jaringan birokrasi Departemen Perhubungan.
Kemudian dalam PP tersebut juga dinyatakan bahwa "pelaksanaan tugas pengusahaan, dalam arti sebagai unit komersial, pengelolaan pelabuhan diserahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUP)". Secara fisik, BUP yang ada di negara kesatuan Indonesia berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) Pelabuhan Indonesia I yang berkantor pusat di Medan, PERUM Pelabuhan Indonesia II berkantor pusat di Jakarta, PERUM Pelabuhan Indonesia III berkantor pusat di Surabaya, dan PERUM Pelabuhan Indonesia IV berkantor pusat di Makasar.
Dalam perkembangannya, PERUM ini berubah bentuk sebagai PT (PERSERO) sebagai upaya adanya meningkatkan fokus fungsi unit komersial, sehingga sekarang kita kenal sebagai PT (PERSERO) Pelindo 1, Pelindo II, Pelindo III dan Pelindo IV.
Selain memang dengan konsiderasi optimalisasi fungsi korporatisasi dan komersialisasi, penunjukan PELINDO I, II, III, dan IV ini juga didasarkan dari hasil riset dan rekomendasi pemerintah pusat sendiri. Melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla), diyatakan bahwa berdasarkan praktik-praktik pelayaran internasional dan nasional (International Shipping Conference), pemerintah menunjuk pelabutan utama di empat lokasi sebagai Four Gateway Policy.
Keempat pintu gerbang tersebut adalah Belawan Medan (PELINDO I), Tanjung Priok Jakarta (PELINDO II), Tanjung Perak Surabaya (PELINDO III), dan Makasar Sulawesi Selatan (PELINDO IV) dan dikenal sebagai operator komersial jasa kepelabuhanan.
Bentuk komersialisasi dan korporatisasi institusi pelayanan jasa kepelabuhan melalui PELINDO ini juga mengacu pada pemahaman UNCTAD (United Nation of Commerce on Trade and development) yang menyatakan bahwa komersialisasi adalah "when the public sector port management is given autonomy and is accountable for its decision and performance."
Dengan kata lain kita lihat bahwa aspek komersialisasi adalah pelimpahan kewenangan negara dalam mengelola fasilitas publik manajemen kepelabuhanan kepada entitas organisasi korporasi. Dengan demikian, organisasi tersebut memiliki kewenangan untuk proses pengambilan keputusan dan setiap kinerjanya dapat dipantau oleh publik.
Dalam konteks korporatisasi, kita lihat bahwa UNCTAD menyatakan bahwa "corporatization is that when public sector organization are transformed to have the legal status of private companies with the government holding the shares, and enterprises in the commercialization stage do not have legal corporate independence, and with corporatization, all land and assets are transferred to the company."
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Perhubungan yang melahirkan PP No. 56 sampai dengan PP No. 59 tahun 1991, jelas-jelas telah menunjuk entitas organisasi pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana pengertian dari UNCTAD tersebut, yakni dengan membentuk badan hukum PERUM Pelabuhan Indonesia, dan ditingkatkan menjadi Perseroan Terbatas yang dari aspek legalitas formal juga harus patuh pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan. Dengan kata lain, PELINDO telah ditunjuk sendiri oleh pemerintah sebagai operator jasa kepelabuhanan dengan menerapkan prinsip-prinsip komersialisasi dan korporatisasi.
Kontribusi nyata dari PELINDO yang dapat dilihat sampai saat ini adalah diperolehnya laba bersih setiap tahun rata-rata mencapai hampir 2,5 trilyun rupiah dari aset yang tidak sampai 9 trilyun rupiah (data tahun 2010). Data terkini 2020 pasti semakin besar. Untuk IPC atau Pelindo II Jakarta saja pada akhir 2019 yang lalu membuku asset perusahaan senilai sekitar 52 trilyun lebih, dengan ekuitas sebesar tidak kurang dari 16 trilyun dan liabilitas lebih dari 36 trilyun.
Kehadiran Pelindo dalam peran serta membangun masyarakat melalui sumbangan pajak maupun program kemitraan bina lingkungan CSr dan sebagainya, juga semakin banyak.
Sumbangan PELINDO kepada masyarakat setempat dengan program Kemitraan dan Bina Lingkungan (community development) yang termasuk dalam pembinaan Koperasi dan Sektor Informal serta UKM (Unit Kegiatan Mikro) yang mencapai milyaran rupiah.
Bahkan, metode subsidi silang telah diterapkan oleh manajemen PELINDO dengan mempertahankan layanan jasa kepelabuhanan pada cabang pelabuhan yang sebagian besar masih merugi, sehingga layanan publik tetap berjalan baik meskipun dari kalkulasi finansial performance, pelabuhan tertentu masih merugi dan hasil pendapatan belum mampu menutup biaya operasional dan kalkulasi finansial lainnya.
Lantas, pada bagian manakah yang sebenarnya terjadi tumpang tindih fungsi operator dan regulator? Apakah memang PELINDO yang memiliki duplikasi peran, ataukah entitas organisasi pemerintah lain yang sebenarnya regulator namun juga berperan sebagai operator?
Pada satu sisi, sebagai operator, PELINDO jelas sebagai entitas organisasi yang berhubungan langsung dengan konsumen layanan jasa kepelabuhanan, yakni shipowner (direct customer) dan cargo owner (indirect customer). Semestinya, dalam aktivitas terkait PELINDO memiliki kewenangan penuh sebagai operator pelabuhan.
Sayangnya, pada sisi lain, entitas organisasi pemerintah lain yang bukan PELINDO semestinya berfungsi sebagai regulator saja, sebagaimana diatur dalam PP No. 11 Tahun 1983 tentang Pembinaan Kepelabuhanan dan telah diungkap pada awal pada artikel ini, namun kenyataannya juga melaksanakan tugas sebagai operator.
Fungsi regulator yang juga melaksanakan fungsi operator (di luar PELINDO) antara lain pada aktivitas perencanaan pelayanan penambatan kapal harian, perencanaan bongkar muat kapal, koordinator perumusan tarif bongkar muat barang, bahkan sampai pelaksanaan keamanan teknik pelayanan kepelabuhanan termasuk pengawasan dan pengendalian bongkar muat kapal.
Dengan kata lain, kondisi eksisting saat ini adalah operator pelabuhan di lapangan memang PELINDO. Sementara regulator adalah pemerintah.
3 LANGKAH KE DEPAN
Sebagai alternatif solusi terhadap silang sengkarut masalah ini, paling tidak perlu dilakukan tiga langkah berikut ini.
Pertama, pemerintah sudah semestinya mendorong kemajuan BUMN Pelabuhan di masa mendatang, meski pun UU Pelayaran cenderung "mengkhawatirkan" bila dilihat dari respon masyarakat. Sebagai up date pada tahun 2020 ini, khalayak bisa jadi lebih optimis dengan hadirnya pelabuhan Patimbang di Kabupaten Subang tersebut. Namun di sisi lain, kompetisi akan terjadi justru antara pelabuhan baru Patimbang versus pelabuhan BUMN milik Pelindo. Sinergi adalah kata kunci, semoga nantinya akan demikian.
Kedua, segala aktivitas yang berkaitan dengan layanan jasa kepelabuhanan, secara otomatis harus mendudukkan operator sebagai pengambil keputusan, utamanya dalam kerangka mengontrol kinerja operasional. Dengan demikian, operator pelabuhan dapat menjalankan amanah penderitaan rakyat secara penuh, meningkatkan level of service, memajukan kualitas layanan jasa, dan pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan pelanggan (customer satisfaction).
Ketiga, pada saat yang sama pemerintah perlu memikirkan rencana terpadu terhadap peningkatan kualitas SDM layanan jasa kepelabuhanan dengan langkah-langkah taktis dan strategis. Sebaik apa pun UU yang dibuat, namun bila tidak dibarengi dengan perencanaan SDM yang terpadu, maka pelaksanaan akan mandul dan tidak menghasilkan perubahan apa-apa.
Sebenarnya, hal yang paling menakutkan dari perubahan regulasi adalah dominansinya swasta asing menguasai aset-aset negara. Dan, kita akan menjadi penonton di rumah sendiri. Faktanya, setiap ada perubahan regulasi, belum ada daerah satu pun yang dapat mendayagunakan sehingga menghasilkan nilai positif bagi masyarakat. Apakah pada akhir 2020 ini sudah ada Pemda yang mandiri memiliki pelabuhan sinergi dengan pemerintah pusat?
Pertanyaan yang membutuhkan diskusi panjang.
Dengan demikian, UU Pelayaran yang dikatakan menguntungkan swasta (lokal) dan PEMDA masih membutuhkan bukti nyata di lapangan. Adakah swasta (lokal) dan jaringan PEMDA yang mampu bermain di jaringan logistik pelabuhan internasional? Industri pelayaran dan pelabuhan adalah industri yang full high capital, padat modal dan long term investmen yang pay back period - nya dapat mencapai 30 -- 50 tahun. Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama. (24.12.2020/nugroho dwi priyohadi, alumnus s3 psikologi industri unair dan s2 port management dari wmu di swedia)
(tulisan ini hanya opini pribadi, hasil pengembangan pemikiran di awal UU Pelayaran 2008 dan up date dengan kondisi terkini sebagai upaya sedikit ikut berkontribusi pemikiran kepada pengembangan pelabuhan di masa depan; port management di www.wmu.se).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI