Anton seketika mengangkat mukanya, menatap Ria dengan alis terangkat, seperti tak yakin dengan apa yang baru didengarnya. "Kau..."
"Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu," lanjut Ria, seakan menegaskan. "Aku tidak tahu apakah itu cinta atau nafsu...tapi aku juga menginginkanmu."
Anton terpana. Sekali lagi kehilangan kata-kata, tapi kali ini jelas bukan karena kesedihan. Justru sebaliknya. Itu kelihatan ketika satu-satunya kata yang berhasil keluar dari mulutnya adalah gumaman, "Wow..."
Agaknya Ria juga menyadarinya, karena kemudian dia buru-buru berkata, "Tapi aku tak ingin menuruti perasaan itu, Ton. Dan aku berharap kau juga begitu. Aku ingin kau tetap melawan perasaan itu. Aku takut jika kau menyerah, aku pun akan luluh..."
Anton bangkit berdiri. "Aku tidak bisa melawannya, Ria. Aku sudah mencoba. Tapi semakin aku melawan, semakin kuat pula perasaan itu. Aku bisa gila jika terus melawan perasaanku sendiri."
"Tapi aku tidak ingin mengkhianati suamiku, Ton!"
"Aku juga tidak ingin mengkhianati istriku, Ria. Tapi kita harus realistis. Berapa lama kita harus menunggu sebelum berani menerima kenyataan. Bagaimana jika ternyata...."
"Jangan kau teruskan!"
"Ria, dengar...."
"Please, Ton...!"
"Ria, kita sudah hampir setahun berada di sini. Jika koordinat terakhir kita memang terlacak, regu penolong pasti sudah tiba dari dulu. Tapi mereka tidak pernah datang. Jadi kurasa kita harus mulai menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa lagi kembali ke bumi. Bahwa kita terdampar di planet asing ini selamanya...."