Ria, tunggu!" seru Anton sambil tergopoh-gopoh. "Aku benar-benar minta maaf!"
"Seharusnya kau tidak melakukan itu, Ton," cetus Ria yang terus berjalan cepat.
"Ya, aku tahu," sahut Anton yang berusaha menyusul. "Aku menyesal melakukannya..."
"Seharusnya kau tidak menciumku," tegas Ria.
"Sumpah, aku sama-sekali tidak berniat melakukannya," Anton terus memohon. "Itu...itu terjadi begitu saja."
"Kau tahu aku sudah punya suami," Ria berjalan semakin cepat. "Aku sudah mengatakan itu. Berkali-kali malah."
"Percaya atau tidak, aku sama-sekali tidak lupa. Aku bahkan sering mengingatkan diriku sendiri soal itu."
"Kau sendiri sudah punya istri. Kau bilang itu padaku. Dan kau juga bilang betapa kau mencintainya."
"Dan sampai sekarang pun aku masih mencintainya..."
Ria mendadak berhenti, lalu berpaling dan menghardik, "Lalu kenapa kau berani menciumku?"
Pertanyaan itu sukses membuat Anton terpaku. Bungkam. Sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, "Aku...aku mencintaimu, Ria. Aku masih mencintai istriku...tapi...tapi aku juga mencintaimu."
Ria menggelengkan kepala dengan jengkel. "Kau tahu betapa konyol perkataanmu itu?"
Anton mendesah. "Aku bahkan tak bisa membayangkan perkataan lain yang lebih norak dan dungu. Tapi itulah sejujurnya perasaanku saat ini. Aku benar-benar mencintaimu."
"Itu tidak benar," tukas Ria. "Dan aku yakin kau pasti tahu juga. Tidak ada urusan cinta di sini. Yang kau rasakan itu cuma nafsu."
"Bukan," Anton bersikeras. "Itu bukan hanya...."
"Ton," potong Ria. "Jika kau benar-benar mencintaiku, kau akan menghormati kehidupan pribadiku. Bukan malah mau merusaknya!"
Anton membuka mulut, seperti ingin membantah, namun tiba-tiba dikatupkannya lagi. Raut mukanya mendadak kelihatan malu. "Mungkin kau benar," ujarnya sambil menghela nafas. "Mungkin aku cuma lelaki yang tak tahu diri..."
Lelaki itu pun memalingkan muka, seperti tak berani lagi menatap wajah cantik Ria, lalu duduk di tanah dengan lesu. Ria tetap berdiri di tempatnya, juga bungkam seribu bahasa. Sesaat yang terdengar hanya angin berhembus kencang. Mendesah dan mendesau.
"Ton..."
Anton tak bereaksi.
"Aku marah kepadamu bukan karena tak mengerti perasaanmu," ujar Ria dengan nada lebih lunak dari sebelumnya. "Aku marah karena sebenarnya aku punya dilema yang sama."
Anton seketika mengangkat mukanya, menatap Ria dengan alis terangkat, seperti tak yakin dengan apa yang baru didengarnya. "Kau..."
"Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu," lanjut Ria, seakan menegaskan. "Aku tidak tahu apakah itu cinta atau nafsu...tapi aku juga menginginkanmu."
Anton terpana. Sekali lagi kehilangan kata-kata, tapi kali ini jelas bukan karena kesedihan. Justru sebaliknya. Itu kelihatan ketika satu-satunya kata yang berhasil keluar dari mulutnya adalah gumaman, "Wow..."
Agaknya Ria juga menyadarinya, karena kemudian dia buru-buru berkata, "Tapi aku tak ingin menuruti perasaan itu, Ton. Dan aku berharap kau juga begitu. Aku ingin kau tetap melawan perasaan itu. Aku takut jika kau menyerah, aku pun akan luluh..."
Anton bangkit berdiri. "Aku tidak bisa melawannya, Ria. Aku sudah mencoba. Tapi semakin aku melawan, semakin kuat pula perasaan itu. Aku bisa gila jika terus melawan perasaanku sendiri."
"Tapi aku tidak ingin mengkhianati suamiku, Ton!"
"Aku juga tidak ingin mengkhianati istriku, Ria. Tapi kita harus realistis. Berapa lama kita harus menunggu sebelum berani menerima kenyataan. Bagaimana jika ternyata...."
"Jangan kau teruskan!"
"Ria, dengar...."
"Please, Ton...!"
"Ria, kita sudah hampir setahun berada di sini. Jika koordinat terakhir kita memang terlacak, regu penolong pasti sudah tiba dari dulu. Tapi mereka tidak pernah datang. Jadi kurasa kita harus mulai menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa lagi kembali ke bumi. Bahwa kita terdampar di planet asing ini selamanya...."
........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H