Pertanyaan itu sukses membuat Anton terpaku. Bungkam. Sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, "Aku...aku mencintaimu, Ria. Aku masih mencintai istriku...tapi...tapi aku juga mencintaimu."
Ria menggelengkan kepala dengan jengkel. "Kau tahu betapa konyol perkataanmu itu?"
Anton mendesah. "Aku bahkan tak bisa membayangkan perkataan lain yang lebih norak dan dungu. Tapi itulah sejujurnya perasaanku saat ini. Aku benar-benar mencintaimu."
"Itu tidak benar," tukas Ria. "Dan aku yakin kau pasti tahu juga. Tidak ada urusan cinta di sini. Yang kau rasakan itu cuma nafsu."
"Bukan," Anton bersikeras. "Itu bukan hanya...."
"Ton," potong Ria. "Jika kau benar-benar mencintaiku, kau akan menghormati kehidupan pribadiku. Bukan malah mau merusaknya!"
Anton membuka mulut, seperti ingin membantah, namun tiba-tiba dikatupkannya lagi. Raut mukanya mendadak kelihatan malu. "Mungkin kau benar," ujarnya sambil menghela nafas. "Mungkin aku cuma lelaki yang tak tahu diri..."
Lelaki itu pun memalingkan muka, seperti tak berani lagi menatap wajah cantik Ria, lalu duduk di tanah dengan lesu. Ria tetap berdiri di tempatnya, juga bungkam seribu bahasa. Sesaat yang terdengar hanya angin berhembus kencang. Mendesah dan mendesau.
"Ton..."
Anton tak bereaksi.
"Aku marah kepadamu bukan karena tak mengerti perasaanmu," ujar Ria dengan nada lebih lunak dari sebelumnya. "Aku marah karena sebenarnya aku punya dilema yang sama."