Gajah Mada akhirnya menatap istrinya. Perasaan bersalah jelas membayang di wajahnya. Namun juga tersirat sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak terlihat selama ini. Ada tekad yang membara di sana. "Maafkan aku," ujarnya dengan berat hati. "Tapi aku harus melakukan ini."
Nyai Sendang melangkah mendekatinya. Perempuan itu tersenyum tabah sambil memegang kedua lengannya. "Aku tahu," sahutnya terharu. "Kusadari cepat atau lambat ini akan terjadi. Dan aku terlalu mencintaimu untuk coba-coba menghalangimu."
Gajah Mada merangkul istrinya. Erat sekali. Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya dia melepas rangkulan itu. Nyai Sendang mengelus rahang nan kokoh di hadapannya. Dengan tegar dia berkata, "Sekarang pergilah. Selamatkan putramu. Selamatkan kerajaan kita."
Dua insan itu pun berpisah. Nyai Sendang tetap berdiri di tempatnya, sementara Gajah Mada menaiki kuda salah satu musuhnya. Berderap meninggalkan gubuk dan sawahnya. Di kejauhan, dia berpaling menatap istrinya buat terakhir kali.
Sebelum menghilang dan takkan kembali.
.....
Catatan: tekhnik penyiksaan menggunakan kain penutup muka dan siraman air dinamakan waterboarding. Sejarah mencatat metode ini baru digunakan di jaman inkuisisi Spanyol dan menjadi terkenal saat digunakan militer AS untuk menginterogasi tahanan di Guantanamo.
Kisah ini merupakan sekuel kedua dari cerpen Smaradahana Sang Gajah Mada dan merupakan kelanjutan dari cerpen Mimpi Buruk Hayam Wuruk. Semua cerpen merupakan imajinasi semata dan tidak berdasar sumber sejarah manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H