"Tak usah keburu menangis dulu," kata si utusan terkekeh. "Anakmu masih hidup, dan masih akan terus hidup, jika kau menuruti perintah kami. Apa itu? Sederhana saja. Pulanglah ke Kutaraja dan bunuhlah Ratu Tunggadewi di hadapan banyak orang. Lebih baik membunuh kekasih gelap daripada kehilangan darah-daging, bukan?"
Gajah Mada berpikir cepat. Jadi mereka menyandera Maharaja. Dan perintah mereka menunjukkan keinginan untuk mencemarkan nama baiknya. Ini berarti ujung-ujungnya adalah perebutan tahta - lewat siasat yang sangat licik!
"Pimpinan kami memberimu dua hari untuk menyelesaikan tugas itu," kata si utusan. "Setelah kau berhasil, dia akan membebaskan Maharaja. Jangan berpikir untuk menyakiti kami. Jika sampai malam nanti kami belum kembali, pimpinan kami akan menganggapmu menolak perintah. Hayam Wuruk pasti langsung dibunuh."
Mendengar itu, Gajah Mada tidak makin kalap. Justru sebaliknya. Matanya bersinar seperti menemukan jawaban. Detik berikutnya, tanpa diduga, dia menerjang maju sambil mengayunkan bajaknya ke pengawal yang memegang cambuk. Mata bajaknya yang tajam menembus dada pengawal itu. Cambuknya terlepas dan langsung disambar Gajah Mada.
Mantan Mahapatih itu ganti melecutkan cambuk. Ujungnya membelit leher pengawal yang memegang tombak. Sebelum dia sempat berbuat apa-apa, Gajah Mada sudah membetot cambuk itu kuat-kuat. Tak ayal, si pengawal terpelanting dengan leher patah. Giliran tombak panjangnya yang sekarang berpindah tangan.
Kedua pengawal yang tersisa berusaha melawan. Tapi sudah terlambat. Gajah Mada melempar tombak itu kuat-kuat, mengenai si pemain pedang sampai tembus ke punggung, dan terus menancap di dada si pemegang gada. Keduanya jatuh dari kuda dengan tubuh tertancap jadi satu. Seperti sate.
Si utusan terbelalak melihat keempat pengawalnya tumbang dalam sekali gebrak. Dia hendak kabur, tapi Gajah Mada keburu meninjunya sampai pingsan. Saat sadar kembali, dia menemukan dirinya digantung terbalik di atas jurang menganga. Tangannya dibelenggu. Sementara kakinya diikat rotan pada cabang pohon yang tumbuh miring di tepi jurang.
Gajah Mada berdiri di pinggir, dengan kain tebal di tangan kiri dan gayung batok kelapa di tangan kanan. Ada tempayan besar berisi air di sebelahnya. Entah untuk apa. Sang mantan Mahapatih tidak buru-buru menjelaskan. Dia justru berkata, "Kau bilang harus sudah menghadap pemimpinmu malam ini. Tapi sekarang sudah siang. Artinya, pemimpinmu pasti berada tak jauh dari sini. Begitu juga Maharaja. Katakan di mana mereka, dan aku akan melepasmu."
Si utusan berusaha tetap angkuh. Sesuatu yang sulit mengingat posisinya yang jungkir-balik. Dia menggelengkan kepala kuat-kuat seraya berkata, "Aku lebih suka mati. Toh raja ingusan itu segera menyusul. Jadi silakan saja menyiksaku. Aku tidak akan bicara!"
"Oh, kau akan bicara," kata Gajah Mada dengan tenang. "Tak perlu siksaan aneh-aneh. Cukup membebat kain ini di mukamu dan mengguyurnya dengan air. Itu akan menipu inderamu, membuatmu mengira sedang tenggelam, dan otakmu akan bersikeras bahwa kau sudah mati. Itu adalah siksaan rohani yang jauh lebih menyakitkan dari deraan jasmani apapun."
Gajah Mada tak menjelaskan dari mana dia mendapat gagasan ini, atau berapa banyak yang jadi korban siksaannya. Dia langsung saja membebat muka si utusan, lalu mengguyurnya pelan-pelan dengan air dari tempayan. Tekun sekali dia melakukannya. Seperti menyiram bunga saja. Tak ada belas kasihan, walau si utusan mulai menggeliat-geliat seperti sekarat.