Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Sedih Sang Mahapatih

7 Juli 2021   11:48 Diperbarui: 21 Juli 2021   20:27 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah air di tempayan habis, barulah kain basah itu dilepas. Si utusan langsung batuk-batuk dan memuntahkan air dari mulutnya. Hilang sudah segala keangkuhannya. Yang nampak sekarang adalah wajah yang tercekam kengerian luar-biasa. Dan, ajaib, dia mulai bicara panjang lebar.

"Aku...aku disuruh Senapati Angkrang, pengawal pribadi Maharaja Hayam Wuruk...dialah yang merencanakan semua ini untuk merebut tahta...dia sekarang berada di bukit Kamuksan...bersama pasukannya...dia juga menahan Maharaja di sana...itu saja yang aku tahu...sumpah!"

Gajah Mada percaya. Prajurit paling tangguh saja hancur mentalnya oleh siksaan sederhana ini. Apalagi cuma begundal seperti dia. Tanpa berkata apa-apa lagi, sang mantan Mahapatih berbalik meninggalkan tepi jurang. Dia baru berhenti saat si utusan berteriak, "Tunggu, kau berjanji melepaskan aku kalau aku bicara!"

"Hampir lupa. Jangan khawatir, aku akan melepaskanmu," kata Gajah Mada kalem. Dia pun kembali sambil mencabut golok dari pinggangnya. Ditebasnya rotan yang dipakai mengikat kaki tawanannya. Dan si utusan pun benar-benar terlepas dari cabang pohon - dan melayang jatuh ke dasar jurang. Jeritan mautnya hanya terdengar sebentar.

Gajah Mada pun bergegas. Waktunya tak banyak. Dia menuju ke makam misterius di belakang gubuknya dan mulai menggali. Ternyata tak ada jazad apapun di dalamnya. Yang ada justru tiga tempayan besar yang dikubur di sana. Tanpa ragu, Gajah Mada memecahkan dua di antaranya.

Tempayan pertama ternyata berisi berbagai senjata, yang langsung dikenakannya. Selempang penuh deretan pisau lempar dikenakan di dada. Gelang bersemat jarum-jarum beracun di pergelangan tangan. Dua keris diselipkan di pinggang. Pedang panjang di punggung kiri. Busur dan panah di punggung kanan.

Ada lagi potongan arang di dasar tempayan. Kegunaannya menjadi jelas ketika Gajah Mada mengoleskannya ke seluruh badan, termasuk wajah. Dalam waktu singkat penampilannya berubah total. Tak ada lagi sosok petani yang sejak tadi berada di sawah. Sekarang dia menjelma bak dewa perang, dengan berbagai senjata dan warna loreng menghias badannya.

Lalu dari tempayan kedua, Gajah Mada mengambil sesuatu yang berukuran besar dan dibungkus kain warna merah bergambar naga. Ada aksara Mongol di permukaannya. Gajah Mada mengangkatnya dengan hati-hati. Entah apa isinya, tapi jelas sesuatu yang sangat berbahaya.

Saat Gajah Mada berbalik, dilihatnya Nyai Sendang sudah berdiri di belakangnya. Perempuan itu memandangnya dengan tatapan menuduh yang lembut. Gajah Mada seperti membeku oleh tatapannya. Beberapa saat Nyai Sendang hanya diam, sebelum akhirnya berkata, "Rupanya kau sendiri yang kau bicarakan selama ini. Kau sendiri Mahapatih Majapahit itu. Jati dirimu yang kau kuburkan di situ."

Sejenak Gajah Mada seperti salah tingkah. Menghindar tatapan istrinya, dia berpaling ke arah tempayan terakhir yang masih utuh. "Di dalamnya penuh kepeng emas," ujarnya. "Cukup banyak untuk Nyai hidup layak. Carilah orang untuk menggarap sawah kita."

Air mata mulai menetes di pipi Nyai Sendang. Bahunya bergetar menahan perasaan. Dia tahu apa artinya semua ini. "Kau tidak akan kembali, bukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun