Prabu Hayam Wuruk, Sang Maharaja Majapahit, belum pernah merasa tertekan seperti ini. Berturut-turut kesedihan menimpa dirinya. Berapa kali dia bertanya pada dirinya sendiri, apa kesalahannya? Mengapa seolah dewata seperti menghukum dirinya?
Belum satu purnama berlalu saat dia harus kehilangan Dyah Pitaloka, calon permaisurinya, dalam satu kejadian berdarah. Kejadian yang membuatnya sangat marah kepada Mahapatih Gajah Mada, sosok yang selama ini dihormatinya.
Betapa tidak, Mahapatih berani mencegat iring-iringan pengantar Dyah Pitaloka dari tanah Pasundan dan menekan mereka untuk bersumpah setia pada Maharaja sebelum meneruskan perjalanan. Padahal  Hayam Wuruk sama-sekali tidak memberi perintah seperti itu.
Iring-iringan yang dipimpin Raja Pasundan sendiri tentu merasa terhina dan melawan. Tapi mereka bukan tandingan Gajah Mada dan pasukannya. Seluruh rombongan tewas. Dan Dyah Pitaloka sendiri menunjukkan keberanian luar-biasa. Dia memilih bunuh diri daripada menjadi tawanan.
Hayam Wuruk memanggul sendiri jenazah calon permaisurinya. Membawanya ke Majapahit untuk diperabukan. Sepanjang perjalanan, dia sama-sekali mengacuhkan Gajah Mada. Tak mengajaknya bicara. Tak menganggapnya ada. Bahkan berhari-hari setelah itu.
Itu sebuah isyarat yang cukup buat Gajah Mada. Maharaja sudah tidak menghendakinya lagi. Dia pun meletakkan jabatan dan menyingkir dari Majapahit. Tak ada yang tahu ke mana perginya. Tak ada satu pun yang berani bertanya.
Dan sekarang, belum lama setelah petaka itu berlalu, menyusul kabar buruk lainnya. Ibunda Maharaja, Tri Buana Tunggadewi, jatuh sakit. Tabib dari seluruh negeri dikerahkan. Tapi mereka semua akhirnya menggelengkan kepala. Sang ibunda tak akan lama bertahan.
Yang membuatnya makin gelisah adalah pernyataan Empu Tantular, salah satu penasehat utamanya. "Paduka, hamba bukan tabib, tapi mengenal watak manusia. Menurut hamba, ibunda Maharaja tidak terkena penyakit. Sesuatu mengganggu batinnya. Membuatnya hilang semangat hidup."
Hayam Wuruk berkali-kali mencoba mengajak Tunggadewi bicara. Berkali-kali pula sang ibunda menolak. Dan keadaannya semakin parah. Sampai Hayam Wuruk tak bisa mengendalikan diri. Dia mengancam akan menyusul bunuh diri, jika sampai sang ibunda meninggal. Barulah Tunggadewi memutuskan bicara.
"Anakku, aku tahu dirimu masih diliputi kesedihan. Karena itulah aku tak ingin menambah kesedihanmu. Biarlah kesedihanku ini kusimpan sendiri. Meski memakan habis jiwa-ragaku, kurasa ini lebih baik daripada menambah kesedihanmu."
Hayam Wuruk mengerutkan kening. "Ibunda, hamba tidak mengerti. Kesedihan apa yang Ibunda bicarakan? Apa yang telah terjadi sepenuhnya urusan hamba. Tidak asa kaitannya dengan Ibunda. Mengapa sampai membuat Ibunda tertekan seperti ini?"
Tunggadewi menarik nafas. Meski sudah tua, garis kecantikan masih terlihat di wajahnya. Seperti ingin mengalihkan pembicaraan, mendadak dia bertanya, "Anakku, apa yang terjadi dengan Mahapatih-mu? Di mana Gajah Mada sekarang?"
Hayam Wuruk seketika membuang muka. Wajahnya merah padam. "Ibunda, hamba mohon jangan sebut nama pengkhianat itu. Dialah pangkal semua prahara ini. Hari-hari ini seharusnya menjadi puncak kebahagiaan hamba, jika dia tidak selancang itu. Berani melakukan apa yang tidak hamba perintahkan."
Rasa sakit terpancar di mata Tunggadewi. Perempuan itu terdiam sejenak sebelum bertanya, "Kau...membunuhnya?"
Dengan enggan, Hayam Wuruk menjawab, "Sesungguhnya hamba ingin melakukannya. Itulah hukuman yang pantas untuknya. Tapi hamba masih menghormati para begawan. Mereka memohon untuk mengampuni jahanam itu. Tak ada yang membunuhnya, Ibunda. Hamba hanya membiarkan dia pergi."
Ada sedikit kelegaan dan penasaran ketika Tunggadewi bertanya, "Ke mana perginya?"
Hayam Wuruk menggeleng singkat. Pandangannya terarah ke lantai yang keras. "Hamba tidak tahu dan tidak ingin tahu."
Tunggadewi lagi-lagi terdiam. Pandangannya menerawang. Dan ketika Hayam Wuruk memperhatikan, ada air mata yang membasahi pipi ibunya.
Sang Maharaja hendak membuka mulut, tapi diurungkan saat didengarnya Sang Ibunda bergumam, "Dia banyak berjasa pada kerajaan ini...."
Hayam Wuruk merapatkan bibirnya. Menahan kegundahan. Kenapa ibunya malah memilih bicara tentang mantan Mahapatihnya?
"Ibunda, hamba mohon," kata Hayam Wuruk sambil menghela nafas. "Tidak usah lagi bicara tentang Gajah Mada. Katakanlah, apa yang membebani batin Ibunda..."
Seolah tidak mendengar perkataan anaknya, Tunggadewi melanjutkan, "Dia banyak berjasa kepadaku. Tanpa dirinya, entah apa yang terjadi denganku. Aku sendirian saat itu. Sendirian saat kanda Jayanegara memerintah seperti orang gila. Sendirian pula saat aku memegang tahta kerajaan ini..."
Hayam Wuruk untuk sesaat tidak tahu harus berbuat apa. Lalu dia putuskan memegang tangan ibunya.
Dia sudah mendengar sejarah hitam Jayanegara, meski tak ada yang menceritakan secara langsung. Jayanegara, yang masih terhitung pamannya, adalah raja yang lalim. Tidak hanya menjadi mimpi buruk bagi rakyat Majapahit. Tapi juga bagi keluarganya sendiri. Terlebih bagi ibunya...
Jayanegara melarang Tunggadewi menikah karena takut calon suaminya bakal merebut tahta. Sampai akhirnya Tunggadewi belum menikah juga meski telah berusia dua puluh lima. Suatu hal yang memalukan bagi seorang perempuan di masa itu.
Beruntung, akhirnya Jayanegara dibunuh tabibnya sendiri, yang bernama Ra Tanca. Konon karena istrinya diperkosa Jayanegara. Ra Tanca kemudian dihukum mati. Tapi sebenarnya semua orang senang dengan tindakannya. Dia membebaskan Majapahit. Juga membebaskan Tunggadewi.
Tapi Hayam Wuruk agak bingung soal ibunya sendirian memegang tahta. Itu tentunya tidak benar. Usai kematian Jayanegara, ibunya menikah dengan Cakradhara, ayah kandungnya. Dialah yang mendampingi ibunya selama ini. Dan ayahnya adalah sosok yang baik.
Jadi kenapa ibunya bilang sendirian saat itu?
Seolah bisa membaca pikirannya, Tunggadewi terus bergumam, "Cakradhara memang orang baik. Tapi dia tidak bisa mendampingi selayaknya seorang suami. Dia hanyalah bocah ingusan kala itu. Usianya baru sepuluh tahun ketika kami menikah. Dan dia hanya empat tahun berada di sampingku..."
Sang Prabu termangu. Dia memang tak lama mengenal ayahnya. Cakradhara tewas dalam sebuah serangan telik sandi. Saat itu Hayam Wuruk baru berumur tujuh tahun. Bayangan tentang sosok ayahnya dibentuk dari ingatan seorang anak kecil yang polos.
Tapi benarkah ayahnya sedemikian belia? Dan ibunya saat itu sudah dua puluh lima tahun! Astaga...
Tunggadewi tak lagi menerawang. Dia menatap lurus Hayam Wuruk. "Kau harus mengerti, Anakku. Pernikahan kami adalah pernikahan siasat. Bukan didorong asmara. Aku harus menikah dengan keturunan raja bawahan yang bisa dipercaya. Dan itu tidak mudah. Semua raja bawahan hanya ingin mengambil tahtaku..."
Hayam Wuruk bisa memaklumi. Siapa yang tidak ingin mengambil tahta Majapahit? Yang sepeninggal Jayanegara hanya menyisakan seorang keturunan perempuan? Secantik apapun ibunya, tetaplah lebih banyak yang mengincar kekuasaan di belakangnya.
Dan budaya kala itu menganggap gadis dua puluh lima tahun adalah perawan tua. Sebuah sebutan yang nista. Lelaki manapun akan merasa tidak nyaman menikahi perempuan yang demikian. Bisa jadi mereka akan menyingkirkan ibunya setelah mendapatkan tahta.
"Aku memilih Cakradhara justru karena kebeliaannya. Dia masih murni. Belum mengenal kekuasaan. Bahkan belum tertarik pada perempuan. Kami senasib. Aku terpaksa menikah untuk memulihkan nama baik, sementara dia terpaksa karena keinginan orang tuanya."
Hayam Wuruk tercenung mendengarnya. Heran mendapati arah pembicaraan ini. Dia hanya ingin mendengar masalah batin ibundanya. Tapi yang bersangkutan malah bicara berputar-putar. Apa hubungan semua itu dengan......
Tiba-tiba Sang Maharaja terkejab. Sesuatu yang dikatakan ibunya kembali melintas. Membuatnya berpikir keras. Ada yang kedengaran mustahil di sana. Dan itu baru disadarinya sekarang.
"Maafkan hamba, Ibunda," tanya Hayam Wuruk dengan hati-hati. "Tapi hamba rasa Ibunda baru membuat kesalahan. Tidak mungkin ayahanda mendampingi ibunda hanya selama empat tahun. Karena hamba masih bisa bertemu dengannya saat hamba berusia tujuh tahun. Itu mustahil, kecuali......."
Hayam Wuruk terdiam. Kesadaran berbaur kekagetan memancar di sorot matanya.
Tunggadewi memandangnya. Seutas senyum yang lelah tersungging. "Sepertinya kau sudah menyadari sekarang. Memang demikianlah, Anakku. Sesungguhnya Cakradhara bukanlah ayahmu. Engkau sudah berjalan di dunia saat dia menikahiku. Dia mengetahui dan tidak berkeberatan..."
Dengan suara gemetar, Hayam Wuruk memberanikan diri bertanya, "Jadi...jadi siapa sebenarnya ayahku, Ibunda?"
"Apakah kau benar-benar tidak bisa menjawabnya, Anakku?"
Tidak perlu. Ya, Hayam Wuruk menyadari hal itu. Tidak perlu seorang begawan untuk menemukan jawabannya. Semua petunjuk sudah terdengar dan terpampang di hadapannya.
Jagad Dewa Batara! Orang itu. Ya, orang itu adalah ayahnya!
Itu menjawab pertanyaan lain yang selama ini berkecamuk di batin Sang Maharaja. Kenapa orang itu sangat setia kepada ibunya, dan juga kepada dirinya. Padahal orang itu begitu besar pengaruhnya. Lebih berpengaruh dari Sang Maharaja sendiri.
Kalau mau, orang itu bisa saja mengambil kekuasaan. Seperti yang dahulu dilakukan Ken Arok. Seperti yang ingin dilakukan Ra Kuti. Tapi ternyata dia memilih setia. Bahkan lebih memilih menyingkir saat tidak lagi sejalan dengan raja.
Kenapa? Kenapa sampai dia begitu setia? Tentu saja jawabannya begitu sederhana. Ini bukan soal tunduk pada Maharaja, bakti pada negara, atau hal muluk-muluk lainnya.
Ini adalah masalah darah daging. Sesederhana itu.
Itu menjelaskan kenapa orang itu berani melanggar perintah. Berani mencegat rombongan calon permaisuri, dan memaksa mereka bersumpah setia. Tindakan seperti itu jelas tidak akan dilakukan seorang yang tunduk dan patuh pada Maharaja.
Itu tindakan orang tua yang terlalu ingin melindungi anaknya!
Dirasakannya jemari Tunggadewi yang kini meremas genggamannya. "Kami saling mencintai, Anakku. Bahkan sejak Jayanegara masih berkuasa. Kami sepakat untuk merahasiakan hubungan. Tidak boleh ada yang tahu kau adalah anaknya. Musuh-musuh akan menyadari itu sebagai titik lemahnya."
Hayam Wuruk terdiam. Tercekat. Tak tahu harus berkata apa. Tak tahu harus marah atau sedih. Tapi hatinya mungkin lebih tahu. Karena sekarang bukan ibunya seorang yang meneteskan air mata.
Siapa yang mengira? Siapa yang mengira Gajah Mada adalah ayah kandungnya?
.....
Catatan:
Gugurnya iring-iringan kerajaan Pasundan di tangan Gajah Mada dikenal sebagai peristiwa Bubat, terjadi pada tahun 1357 M.
Ra Kuti adalah anggota Dharmaputra - semacam pasukan khusus istana - yang mencoba menggulingkan tahta Jayanegara pada tahun 1319.
Ra Tanca memang tabib istana yang meracuni Jayanegara pada tahun 1328 M. Ada teori yang mengatakan Gajah Mada adalah aktor intelektual kejadian itu.
Gambaran bahwa Hayam Wuruk adalah anak Gajah Mada adalah murni imajinasi penulis dan tidak berdasar pada bukti arkeologis apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H