Seolah tidak mendengar perkataan anaknya, Tunggadewi melanjutkan, "Dia banyak berjasa kepadaku. Tanpa dirinya, entah apa yang terjadi denganku. Aku sendirian saat itu. Sendirian saat kanda Jayanegara memerintah seperti orang gila. Sendirian pula saat aku memegang tahta kerajaan ini..."
Hayam Wuruk untuk sesaat tidak tahu harus berbuat apa. Lalu dia putuskan memegang tangan ibunya.
Dia sudah mendengar sejarah hitam Jayanegara, meski tak ada yang menceritakan secara langsung. Jayanegara, yang masih terhitung pamannya, adalah raja yang lalim. Tidak hanya menjadi mimpi buruk bagi rakyat Majapahit. Tapi juga bagi keluarganya sendiri. Terlebih bagi ibunya...
Jayanegara melarang Tunggadewi menikah karena takut calon suaminya bakal merebut tahta. Sampai akhirnya Tunggadewi belum menikah juga meski telah berusia dua puluh lima. Suatu hal yang memalukan bagi seorang perempuan di masa itu.
Beruntung, akhirnya Jayanegara dibunuh tabibnya sendiri, yang bernama Ra Tanca. Konon karena istrinya diperkosa Jayanegara. Ra Tanca kemudian dihukum mati. Tapi sebenarnya semua orang senang dengan tindakannya. Dia membebaskan Majapahit. Juga membebaskan Tunggadewi.
Tapi Hayam Wuruk agak bingung soal ibunya sendirian memegang tahta. Itu tentunya tidak benar. Usai kematian Jayanegara, ibunya menikah dengan Cakradhara, ayah kandungnya. Dialah yang mendampingi ibunya selama ini. Dan ayahnya adalah sosok yang baik.
Jadi kenapa ibunya bilang sendirian saat itu?
Seolah bisa membaca pikirannya, Tunggadewi terus bergumam, "Cakradhara memang orang baik. Tapi dia tidak bisa mendampingi selayaknya seorang suami. Dia hanyalah bocah ingusan kala itu. Usianya baru sepuluh tahun ketika kami menikah. Dan dia hanya empat tahun berada di sampingku..."
Sang Prabu termangu. Dia memang tak lama mengenal ayahnya. Cakradhara tewas dalam sebuah serangan telik sandi. Saat itu Hayam Wuruk baru berumur tujuh tahun. Bayangan tentang sosok ayahnya dibentuk dari ingatan seorang anak kecil yang polos.
Tapi benarkah ayahnya sedemikian belia? Dan ibunya saat itu sudah dua puluh lima tahun! Astaga...
Tunggadewi tak lagi menerawang. Dia menatap lurus Hayam Wuruk. "Kau harus mengerti, Anakku. Pernikahan kami adalah pernikahan siasat. Bukan didorong asmara. Aku harus menikah dengan keturunan raja bawahan yang bisa dipercaya. Dan itu tidak mudah. Semua raja bawahan hanya ingin mengambil tahtaku..."