Hayam Wuruk mengerutkan kening. "Ibunda, hamba tidak mengerti. Kesedihan apa yang Ibunda bicarakan? Apa yang telah terjadi sepenuhnya urusan hamba. Tidak asa kaitannya dengan Ibunda. Mengapa sampai membuat Ibunda tertekan seperti ini?"
Tunggadewi menarik nafas. Meski sudah tua, garis kecantikan masih terlihat di wajahnya. Seperti ingin mengalihkan pembicaraan, mendadak dia bertanya, "Anakku, apa yang terjadi dengan Mahapatih-mu? Di mana Gajah Mada sekarang?"
Hayam Wuruk seketika membuang muka. Wajahnya merah padam. "Ibunda, hamba mohon jangan sebut nama pengkhianat itu. Dialah pangkal semua prahara ini. Hari-hari ini seharusnya menjadi puncak kebahagiaan hamba, jika dia tidak selancang itu. Berani melakukan apa yang tidak hamba perintahkan."
Rasa sakit terpancar di mata Tunggadewi. Perempuan itu terdiam sejenak sebelum bertanya, "Kau...membunuhnya?"
Dengan enggan, Hayam Wuruk menjawab, "Sesungguhnya hamba ingin melakukannya. Itulah hukuman yang pantas untuknya. Tapi hamba masih menghormati para begawan. Mereka memohon untuk mengampuni jahanam itu. Tak ada yang membunuhnya, Ibunda. Hamba hanya membiarkan dia pergi."
Ada sedikit kelegaan dan penasaran ketika Tunggadewi bertanya, "Ke mana perginya?"
Hayam Wuruk menggeleng singkat. Pandangannya terarah ke lantai yang keras. "Hamba tidak tahu dan tidak ingin tahu."
Tunggadewi lagi-lagi terdiam. Pandangannya menerawang. Dan ketika Hayam Wuruk memperhatikan, ada air mata yang membasahi pipi ibunya.
Sang Maharaja hendak membuka mulut, tapi diurungkan saat didengarnya Sang Ibunda bergumam, "Dia banyak berjasa pada kerajaan ini...."
Hayam Wuruk merapatkan bibirnya. Menahan kegundahan. Kenapa ibunya malah memilih bicara tentang mantan Mahapatihnya?
"Ibunda, hamba mohon," kata Hayam Wuruk sambil menghela nafas. "Tidak usah lagi bicara tentang Gajah Mada. Katakanlah, apa yang membebani batin Ibunda..."