Sebenarnya saya agak bingung menaruh tulisan ini di mana. Fiksiana atau diary. Saya agak kurang sreg menaruhnya di fiksiana, soalnya ini pengalaman nyata.Â
Tapi di diary pun sungkan. Masa diary isinya horor. Tapi akhirnya saya memilih yang terakhir. Kan katanya menulis harus berani out of the box.
Jadi seperti saya bilang, peristiwa ini benar-benar terjadi semasa kuliah dulu. Di satu kota kecil yang banyak kampusnya. Saat itu saya dan satu teman mau makan malam. Kebetulan warung langganan tutup, sehingga kami terpaksa mencari tempat lain.
Oiya, perlu saya sampaikan bahwa mata saya minus tiga. Sehingga semua jadi kelihatan kabur kalau tidak pakai kaca mata. Apalagi jika sudah malam. Saya masih bisa membedakan apa itu orang atau tiang listrik.Â
Tapi angkat tangan kalau ditanya apakah dia Pevita Pearce atau Jared Letto. Kendati demikian, saya masih suka nekad ngelayap tanpa kacamata. Maklum, waktu itu Afghan belum terkenal. Jadi belum paham kalau keren dan kaca mata itu bisa seiring-sejalan.
Sore itu pun demikian. Kaca mata saya biarkan terkunci di kosan. Tak masalah. Toh enak-tidaknya hidangan warung tidak tergantung ketajaman mata. Justru kalau tidak tahu yang bulat-item itu semut dan bukannya potongan bawang goreng, nafsu makan bakal tetap aman.Â
Orang bijak bilang, tidak ada masalah kalau kita tidak melihatnya sebagai masalah. Atau dalam kasus saya, tidak ada masalah kalau kita tidak melihatnya dengan jelas. Hehehe.
Percaya atau tidak, itulah yang saya alami kemudian. Bukan, bukan menelan semut. Tapi gagal melihat masalah. Itu gara-gara kita iseng lewat sebuah gang kecil. Persis sebelah kampus swasta ternama.Â
Kita memang belum pernah lewat situ. Baru tahu belakangan kalau ternyata memang spooky. Meski sempit dan sepi, lampu-lampunya terang. Sama-sekali tak ada tanda-tanda yang menyeramkan.
GEDEBUK!
Begitulah bunyi yang saya dengar ketika melewati tikungan di gang tersebut. Asalnya dari satu sosok yang tiba-tiba meloncat ke samping kami. Seperti sengaja ngagetin.Â
Teman saya langsung kabur ketakutan. Saya? Saya masih bingung harus berbuat apa. Tentu saja karena tidak bisa melihatnya dengan jelas.Â
Di penglihatan saya, sosok itu kelihatan seperti orang yang berselubung sarung. Dari ubun-ubun sampai kaki. Makanya saya spontan berpikir, "Waduh, ada orang gila kumat nih!"
Lho kenapa kok mikirnya orang gila? Karena jaman kuliah dulu sering ketemu orang gila. Berkeliaran bebas merdeka di jalan-jalan. Masing-masing punya tempat hangout favorit. Sehingga kesannya seperti maskot.Â
Dalam kondisi normal, penampilan mereka tak ubahnya aktivis anti perang Vietnam di Amerika dulu. Bersahaja dan menginspirasi lingkungan sekitarnya.
Seperti dekat samsat, misalnya. Di situ ada orang gila yang bernama Slamet. Tiap jam sembilan pagi pasti sudah konser tunggal di bahu jalan. Menari-nari sambil melambaikan tangan.Â
Lalu dekat perempatan W ada Suyar The Legend, orang gila mirip Bob Marley yang cuma bercelana cekak. Di tempat wisata M juga ada satu, dengan rambut gondrong dan jubah panjang seperti guru silat kekurangan murid.Â
Terus kalau beruntung, kita juga bisa melihat yang mirip manusia purba. Soalnya bertubuh besar, dekil, dan telanjang bulat. Yang satu ini tidak punya spot favorit. Tapi sepertinya hilir-mudik ke mana-mana.
Lha kok malah membahas orang gila!
Tapi itulah persoalannya. Karena terlalu 'akrab' dengan orang gila, pikiran saya langsung ke sana saat melihat sosok ganjil berkelakuan aneh itu. Makanya saya tidak lari.Â
Sekumat-kumatnya orang gila, mereka tidak akan mengejar kalau kita bersikap tenang. Justru kalau lari, bisa-bisa kita dikejar sampai ketangkep. Jangan tanya dari mana saya bisa tahu ya.
Karena itulah saya bersikap cuek. Jalan sesantai mungkin. Pandangan lurus ke depan. Bersikap seolah tidak melihat apa-apa. Tidak, tidak pakai bersiul-siul segala. Sulit bersiul saat menahan nafas.Â
Dan selama itu, sosok yang saya kira orang gila tersebut hanya sejengkal di samping saya. Mengikuti selama beberapa saat. Tidak mengoceh. Tidak ketawa. Cuma menggeliat-geliat tidak jelas. Paling tidak, begitulah kelihatannya menurut peripheral vision saya yang kabur.
Alhamdulillah dia tidak mencium saya, atau melakukan sesuatu yang lebih gawat. Setelah beberapa saat setia mendampingi, akhirnya dia berhenti mengikuti.Â
Saya pun bisa bernafas lega dan menyusul teman yang menunggu di mulut gang. Dengan sok tahu, saya nasehati supaya jangan lari kalau diganggu orang gila. Tentu saja teman saya geleng-geleng kepala. Dengan emosi dia bilang kalau tadi itu bukan orang gila. Orang saja bukan!
Teman saya menggambarkan sosok itu seperti sosis seukuran pemain basket. Warnanya hitam legam. Tak ada muka yang kelihatan. Semuanya gelap total. Meloncat-loncat dan menggeliat-geliat. Saya awam soal jenis-jenis hantu, sehingga tidak bisa bilang itu masuk famili yang mana.
Eh, tapi setelah ini jangan lupa menoleh ke belakang ya. Siapa tahu sosok yang sama ternyata ikutan membaca dengan imutnya. Hihihihihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H