Karena itulah saya bersikap cuek. Jalan sesantai mungkin. Pandangan lurus ke depan. Bersikap seolah tidak melihat apa-apa. Tidak, tidak pakai bersiul-siul segala. Sulit bersiul saat menahan nafas.Â
Dan selama itu, sosok yang saya kira orang gila tersebut hanya sejengkal di samping saya. Mengikuti selama beberapa saat. Tidak mengoceh. Tidak ketawa. Cuma menggeliat-geliat tidak jelas. Paling tidak, begitulah kelihatannya menurut peripheral vision saya yang kabur.
Alhamdulillah dia tidak mencium saya, atau melakukan sesuatu yang lebih gawat. Setelah beberapa saat setia mendampingi, akhirnya dia berhenti mengikuti.Â
Saya pun bisa bernafas lega dan menyusul teman yang menunggu di mulut gang. Dengan sok tahu, saya nasehati supaya jangan lari kalau diganggu orang gila. Tentu saja teman saya geleng-geleng kepala. Dengan emosi dia bilang kalau tadi itu bukan orang gila. Orang saja bukan!
Teman saya menggambarkan sosok itu seperti sosis seukuran pemain basket. Warnanya hitam legam. Tak ada muka yang kelihatan. Semuanya gelap total. Meloncat-loncat dan menggeliat-geliat. Saya awam soal jenis-jenis hantu, sehingga tidak bisa bilang itu masuk famili yang mana.
Eh, tapi setelah ini jangan lupa menoleh ke belakang ya. Siapa tahu sosok yang sama ternyata ikutan membaca dengan imutnya. Hihihihihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H