Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Revolusi Mental ala Pancalogi Fast and Furious

8 Februari 2021   21:57 Diperbarui: 10 Maret 2021   19:35 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari kompas.com

Pancalogi film ini sebenarnya inspiratif lho. Terutama buat mereka yang buka usaha kuliner. Paling tidak, membuktikan bahwa lesehan yang mau gulung tikar bisa dibikin ramai lagi dengan mengganti menu yang tepat.

Demikian juga dengan film bertema keluarga ini. Keluarga preman bermobil, maksudnya. Dulunya sudah mau dihentikan karena penontonnya makin sedikit. Tapi berkat keberanian untuk berubah, maka kesuksesan yang diraih justru lebih besar dari perkiraan.

Tapi kok pancalogi? Kan filmnya sudah ada delapan? Malah sebentar lagi jadi sembilan. Harusnya minimal windulogi dong!

Tidak. Memang Pancalogi. Karena saya menghitungnya dari Fast Five sampai nanti F9: The Fast Saga. Lha kenapa cuma itu yang dihitung? Karena kelima sekuel inilah yang menandai revolusi mental besar-besaran yang dijalani film ini, sampai menjadi franchise tersukses dari Universal Studios.

Padahal kalau menonton lagi film pertamanya, The Fast and The Furious, lalu kita bandingkan dengan film kedelapan, The Fate of The Furious, rasanya seperti membandingkan foto sahabat kita saat masih kecil barengan main kelereng, dengan foto dia sekarang di Syria sambil menenteng pelontar granat. Ga nyangka pokoknya.

Film perdananya memang lebih bergenre drama-aksi. Konon terilhami dari kisah nyata tentang komunitas balap liar di kalangan warga hispanik. Tapi plotnya sendiri lebih mirip film '80-an berjudul Point Break yang dibintangi Patrick Swayze dan Keanu Reeves. 

Cuma film ini latarnya bukan geng mobil tapi komunitas surfing. Selebihnya mirip. Tentang agen federal yang disusupkan ke organisasi kriminal tapi akhirnya malah jadi sohib. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Tentu saja atmosfer ceritanya masih sederhana. Masih berusaha realistis. Operasi besarnya paling cuma nyolong video player. Tak ada urusan dengan bom nuklir. Petualangannya juga masih di tetangga sebelah saja. Belum sampai ke ujung dunia. Dan senjata rahasianya masih sebatas tabung NOS buat memacu mesin biar bisa lebih kencang. Tapi tidak sampai terbang.

Singkatnya, film itu masih khusus dibuat untuk empat macam penonton. Penggemar otomotif, pelaku balap liar, dan mereka yang masih percaya hukum gravitasi. Dua sekuel berikutnya juga masih bertahan dengan resep serupa. Mungkin maunya mempertahankan tradisi.

Sayangnya, idealisme ini dibayar dengan pendapatan yang terus menurun. Seri ketiganya, Tokyo Drift - yang kadar dramanya paling tinggi, justru paling rendah pendapatan domestiknya. Cuma 50 juta dollar. Ini angka sudah tergolong receh untuk ukuran Holywood.

Sebenarnya sudah ada usaha perbaikan pada jilid jilid keempatnya, Fast and Furious - ingat, tanpa 'The' di depan 'Fast' maupun 'Furious'. Paul Walker dan Vin Diesel masuk lagi. Lucas Black, pemain Tokyo Drift, ditendang. 

Tapi unsur balap liarnya, walau dikurangi, masih juga dipertahankan. Hasilnya lumayan sebenarnya. Tapi pihak Universal sadar bahwa mereka harus move-on kalau ingin film berikutnya tidak masuk kotak.

Kepada Deadline, Adam Fogelson, yang saat itu menjadi boss Universal Pictures, mengatakan, "Pertanyaan terbesar ketika akan membuat Fast Five adalah...bisakah kita membawanya dari sekedar film mobil-mobilan menjadi benar-benar waralaba aksi. Jika membuatnya tetap berkutat soal balap liar, yang berminat menonton akan sangat terbatas."

Dan ternyata bisa!

Mulai dari Fast Five itulah revolusi mental benar-benar dijalankan. Dari mental pembalap liar dirubah menjadi mental super-spy atau bahkan super-hero. Genrenya tentu juga direvolusi jadi campuran film spionase dengan film heist - film bertema pencurian berskala canggih ala Italian Job atau Ocean Eleven.

Plus bonus nuansa-nuansa ala Mad Max di sana-sini.

Hasilnya adalah the heist movie with a twist. Jadi kalau di Italian Job mobil sportnya cuma kejar-kejaran dengan mobil polisi di antara gedung-gedung, di Fast Five mobil sportnya menyeret-nyeret brankas raksasa yang glundang-glundung menghancurkan mobil polisi berikut gedungnya sekalian.

Di sekuel-sekuel berikutnya, revolusinya makin besar-besaran. Keluarga Toretto sudah bak menjelma jadi pasukan elit yang tak terkalahkan. 

Urusannya sudah merambah kasus-kasus yang biasanya cukup diserahkan pada James Bond. Atau kalau pas dia ijin, gantian ditangani Jason Bourne, Jack Bauer, atau Jamal Bachruddin.

Jadi wajar saja kalau lawan tanding mereka juga dipilih yang gede-gede. Dari Rhonda Rosey, Dwyane Johnson, sampai nanti John Chenna. Ada pula John Statham yang mungkin kelihatannya tidak terlalu gede. Tapi tengok dulu pembukaan Furious Seven. Bayangkan, seorang diri menghancurkan rumah sakit yang dijaga ketat aparat. Thanos saja belum tentu bisa melakukannya.

Dan yang paling penting buat saya, aksinya juga makin megalomania. Dari cuma nyeret-nyeret brankas segede gajah di Fast Five, ditingkatkan menjadi senggol-senggolan dengan pesawat raksasa Antonov di Fast and Furious 6, berlanjut petak-umpet dengan drone-drone tempur di Furious Seven, sampai marathon melawan kapal selam nuklir Typhoon di The Fate of The Furious.

Seperti yang jadi curhatan si kocak Roman Pearce, "Dulu tank, lalu kapal terbang, sekarang apa lagi yang nembakin kita itu? Pesawat angkasa luar?"

Hehehe.

Tapi, seperti biasa, ada kabar duka dan kabar suka di balik cerita sebuah kesuksesan.

Kabar dukanya, Dwayne Johnson jadi perang dingin sama Vin Diesel. Biasalah, ego superstar. Semua pingin menonjol sendiri. Entah gimmick apa bukan.

Tapi yang jelas, kalau menonton Furious 8 dengan seksama, kita akan tahu kalau dua orang Alpha Male itu tak pernah kelihatan bersama. Apalagi berdialog dalam satu frame.

Kabar sukanya, kita malah dapat spin-off alias sempalan dari film tersebut. Dwayne dan Jason 'bersolo karir' dalam film Hobbs and Shaw - mengambil nama karakter mereka dalam Fast and Furious. 

Dan sempalan ini juga tak mau kalah gila-gilaan dengan film induknya. Malah jadi seperti film superhero. Bayangin, musuhnya - yang berseragam kebal peluru dan berkekuatan tidak normal - terang-terangan mengatakan, "I am black Superman!"

Jadi begitulah ceritanya. Revolusi mental di dunia politik barangkali masih menghadapi banyak hambatan dan tantangan. Tapi revolusi mental ala Holywood ini ternyata lebih cepat kelihatan hasilnya.

Fast Five nearly meraih dua kali lipat pendapatan Fast & Furious. Sejak itu, pundi-pundinya terus meningkat. Puncaknya adalah Furious 7 yang mencapai 1,5 milyar dolar. Seri terakhirnya kemarin, The Fate of The Furious, agak turun sih. Tapi dikiit. Mencapai sekitar 1,2 milyar. Hobbs and Shaw juga ternyata lumayan. Berhasil mendapat 760 juta dollar. Lumayan untuk sebuah spin-off.

Tapi kalau buat saya pribadi, puncak keberhasilan film ini adalah bisa bikin saya jadi fans. Iya, jujur saja, saya memang bukan penggemar film mobil sport. Dari The Fast and The Furious sampai Tokyo Drift, saya nontonnya di TV Swasta. Itu harus berkali-kali, karena sering ketiduran.

Tapi kalau mobilnya bisa terbang, atau dilengkapi meriam, lalu adu kuat dengan kapal selam nuklir..nah, itu baru saya suka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun