Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lloyd Austin, Menham Afro-Amerika Pertama: Berkah atau Blunder Buat Biden?

2 Februari 2021   19:54 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:18 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Associated Press

Pada tahun 1877, seorang pemuda dari kota kecil Thomasville bernama Henry Ossian Flipper, menjadi afro-amerika pertama yang lulus akademi militer West Point. Dia kemudian menjadi perwira afro-amerika pertama yang memimpin 'Buffalo Soldier' dari pasukan kavaleri kesepuluh.

Buffalo Soldier adalah sebutan orang indian untuk pasukan berkulit hitam, atau istilah sekarang afro-amerika. Biar tidak kedengaran rasis. Ingat lagunya Bob Marley yang berjudul sama? Ya itu memang bercerita tentang pasukan ini. Meski saya sangsi apa mereka benar-benar berambut dreadlock ala rasta-mon.

Hampir seratus lima puluh tahun kemudian, keturunan penduduk asli Thomasville juga menjadi afro-amerika pertama yang menjabat Menteri Pertahanan Amerika Serikat. Seperti yang kita tahu, namanya adalah Lloyd Austin.

Mungkin inilah salah satu usaha Presiden baru Amerika Serikat, Joe Biden untuk menjawab berbagai isu rasial di negara Paman Sam itu. Isu yang sebenarnya sudah berkembang sejak lama, bahkan di kalangan angkatan bersenjata. Meski belakangan menjadi benderang dan marak di masa pemerintahan Presiden Donald Trump.

Buat Lloyd Austin sendiri, masalah rasial ini bukan sesuatu yang cuma dia dengar atau di atas kertas belaka.

Dia pernah menangani secara langsung ketika masih berpangkat Letnan Kolonel, tepatnya pada tahun 1995. Pada saat itu Austin bertugas pada Divisi Lintas Udara ke-82 di Forth Bragg, Carolina Utara.

Kejadiannya menyangkut tiga prajurit kulit putih yang ditangkap karena kasus pembunuhan pasangan kulit hitam. Penyelidikan menyimpulkan pembunuhan itu memang dilatar-belakangi masalah ras. Ketiga pelaku terindikasi terpengaruh gerakan Skinhead - penganut neo nazi yang mewabah di kalangan anak muda di tahun '90-an.

Kasus pembunuhan ini berujung pada penyelidikan internal, dan ternyata malah ditemukan 22 prajurit yang terkena paham Skinhead dan gerakan ekstrem sejenisnya. 17 orang di antaranya menganut paham supremasi kulit putih dan separatis.

"Kita terkaget-kaget menemukan ada elemen ekstrem hilir-mudik dalam jajaran kita," kata Austin kepada Komisi Senat. "Hikmahnya, kasus itu membuat kita mudah melakukan penindakan. Masalahnya, kita tentu tidak berharap kasus serupa terulang. Indikasi soal itu sudah ada sejak lama. Kita hanya tidak tahu apa yang harus kita cari dan apa yang harus kita perhatikan."

Tapi tentu saja bukan semata-mata warna kulit yang membuat Biden memilihnya, dan bukan Dwayne Johnson atau Vin Diesel misalnya. Prestasi demi prestasi yang ditorehkan warga Alabama ini juga termasuk mencengangkan.

Beberapa kali bertugas di Irak dan Timur-Tengah, ini kesekian kalinya dia menjadi afro-amerika pertama yang memegang sebuah jabatan militer. Mantan jenderal ini pernah menjadi panglima divisi lintas udara ke-82, komandan korps lintas udara ke-18, wakil kepala staf angkatan bersenjata, dan juga komandan Central Commando (CENTCOM) yang bertanggung jawab untuk urusan Timur-Tengah.

Semua jabatan itu tidak pernah dijabat seorang afro-amerika sebelumnya!

Selain itu, dia juga menjadi satu dari hanya enam perwira afro-amerika yang pernah menjadi jendral berbintang empat di Angkatan Darat. Tidak kalah dengan Nick Fury, bukan?

Biden sendiri mengenalnya semasa menjadi Wakil Presiden. Obama menugaskannya untuk mengawasi berakhirnya operasi militer di Irak. Terutama soal penarikan tentara dan seluruh peralatannya. Austin, saat itu masih belum pensiun, menjadi pendamping tidak hanya saat berinteraksi dengan personel militer. Namun juga saat berurusan dengan pejabat politik lokal di Irak.

Ada sebuah peristiwa yang dikenang Biden soal pengalamannya dengan Austin di Irak.

"Saat kami mengadakan pertemuan di kediaman duta besar di Irak, ternyata pihak musuh bisa melancarkan serangan roket ke sana. Padahal itu seharusnya zona aman. Tapi Jendral Austin bersikap tenang-tenang saja. Seolah yang seperti itu sudah biasa. Saya pun akhirnya juga bersikap biasa-biasa saja. Paling hanya berpikir, ngapain sih mereka itu. Tapi memang begitulah seorang Lloyd Austin. Tetap tenang dan membuat orang lain tenang di saat kritis."

Bukan hanya Biden yang 'terkagum-kagum'. Dukungan terhadap Austin juga diberikan oleh Michael E. O'Hanlon, seorang analis di Brooking Institute. Dalam op-edition yang dikeluarkan lembaga itu, dia menulis sebagai berikut:

"Mungkin saat terbaik untuk memulai kisah tentang Austin adalah saat dirinya memulai jabatannya sebagai komandan operasional di Irak pada tahun 2008. Saat itu kekerasan sudah mulai menurun di seluruh Irak, dan kelompok pergerakan sunni maupun operasi militer US-Irak telah memulihkan kondisi keamanan di daerah berbahaya seperti Falujah dan Ramadi.

"Namun daerah minyak seperti Basra dan wilayah kunci lainnya, termasuk Baghdad sendiri, tetap dalam situasi anarki. Kelompok milisi yang didominasi Syah - yang didukung Iran - menguasai jalan-jalan utama. Mengetahui hal ini harus segera diakhiri, Letnan Jendral Austin dan Komandan Jenderal Petraeus bersepakat untuk melakukan serangan musim panas ke Basra dan lainnya.

"Tapi kemudian Perdana Menteri Nouri Al-Maliki meminta Jenderal Petraeus untuk bertemu dengannya pada akhir Maret. Bukan main terkejutnya sang jenderal karena ternyata waktu itu Perdana Menteri memberi tahu bahwa serangan ke Basra akan dilakukan keesokan harinya.

"Semua rencana yang matang disusun untuk terlebih dahulu membangun basis pertahanan, titik pemeriksaan, jaringan komunikasi, maupun kemampuan memberi bala-bantuan dikesampingkan. Dengan hanya bermodal semangat, tentara Irak bergerak ke kota tersebut dengan data lapangan maupun bala-bantuan yang minim.

"Seperti yang bisa diduga, serangan itu gagal-total. Polisi Iraq berantakan, sementara brigade ke-52 yang baru lulus dari pusat pelatihan terus terdesak. Saat itu sepertinya kita harus merelakan semuanya diurus pasukan Quds, bentukan Iran. Saat yang sama kelompok bersenjata di Sadr City melakukan serangan paling gencar ke zona hijau Baghdad dan membuat personel kedutaan harus mengamankan diri ke gedung-gedung pertahanan. Saat itu para komandan Amerika benar-benar berpikir mereka akan kalah.

"Dalam kekacauan inilah, Letnan Jenderal Austin mengambil-alih situasi. Dalam empat-puluh delapan jam sejak dimulainya perang Basra, bahkan pada saat bandara kota diserang, Austin terbang dari Baghdad. Dia segera membentuk pusat operasi taktis yang terdiri dari 100 orang untuk mengumpulkan data intelejen, mengarahkan serangan udara, dan bekerja-sama dengan pasukan Irak di lapangan.

"Austin memerintahkan pasukan Marinir di propinsi Ambar untuk bergerak ke selatan bersama pasukan Irak yang mereka bina. Dia juga membantu para pemimpin Irak memodifikasi rencana perang mereka. Dalam dua minggu, situasi sudah berbalik oleh kemenangan di medan tempur daripada karena sikap lunak ke Teheran.

"Situasi di Sadr City membutuhkan penanganan lebih lama. Melibatkan lebih banyak pasukan darat Amerika. Dan, dengan sendirinya, menyebabkan lebih banyak dari mereka yang jadi korban. Namun demikian, sedikit demi sedikit, pasukan keamanan Irak/Amerika berhasil membersihkan bagian Sadr City yang terdekat dengan pusat kota Baghdad.

"Bukan sesuatu yang berlebihan untuk mengatakan bahwa perang ini menjadi penentu bagi keberhasilan gerakan pasukan Amerika ke Irak. Dan semua ini berkat jasa dua orang. Jenderal Petraeus yang memimpin pasukan dari keterpurukan, dan Letnan Jenderal Austin yang merencanakan detil strategi yang dibutuhkan untuk mengamankan Basra dan Sadr City. Visinya terbukti sangat menentukan."

Jenderal Petraeus sendiri juga memuji Austin. Dia menyebutnya, "Tenang, berani, penuh tekad, dan bisa mengambil keputusan - bahkan dalam situasi yang sulit."

Tidak cuma mereka. Lewat artikel di nbcnews, pujian sejenis juga diberikan oleh Larry R. Ellis, seorang veteran angkatan darat yang juga pernah berdinas di bawah kepemimpinan Austin.

"Kita butuh orang seperti Austin di pucuk pimpinan. Dia memiliki pengalaman dan kepemimpinan yang teruji di dua front sekaligus. Baik di medan tempur maupun meja perundingan. Sebagai wakil kepala staf, dia sudah terbiasa bernegosiasi dengan Dewan. Dan saat menjabat panglima CENTCOM, dia berhasil membangun koalisi dengan 20 negara lain untuk menggulung gerakan ISIS."

Mungkin menarik untuk mendengar apa yang dikatakan Austin soal pengalamannya berhadapan dengan ISIS ini. Dalam wawancara dengan majalah Army Sustaintment edisi Januari-Februari 2018, dia mengatakan sebagai berikut:

"Saya percaya kita sudah dalam arah yang benar dalam memerangi ISIS. Baik dalam strategi, pendekatan operasional, maupun penataan kekuatan. Kita berhasil mengidentifikasi sejak awal apa yang menjadi kesalahan strategi Abu Bakar al-Baghdadi. Dia menghapus batas internasional antara Irak-Syria. Ini memudahkan pasukan koalisi untuk menggempur ke pusat gerakan mereka di Syria."

Yah, oke. Dia hebat. Bravo. Tapi masa ada gading yang tak retak. Nah, Kalau menurut Oriana Skylar Mastro, seorang pakar urusan China dari Georgetown University, retaknya ternyata tak cuma satu.

Dalam tulisannya di Washington Post, dia menyebutkan beberapa alasan kenapa pemilihan Austin sebagai Menteri Pertahanan justru merupakan blunder.

Salah satunya terkait kontroversi sewaktu Austin menjabat CENTCOM.

Saat dengar pendapat dengan Dewan pada tahun 2015, John McCain - waktu itu ketua komisi urusan angkatan bersenjata - mengecam laporan tentang kemajuan perang terhadap ISIS sebagai "Jauh panggang dari api."

Pada rapat yang sama, anggota dewan juga mencecar Austin setelah dia mengakui bahwa program pelatihan yang menghabiskan 500 juta dollar untuk pasukan oposisi menghadapi ISIS hanya menghasilkan 'empat atau lima' orang prajurit.

Pada memoarnya yang ditulis tahun 2019, mantan menteri pertahanan Ash Carter menulis bahwa rencana awal Austin untuk membebaskan Mosul dari ISIS sangat 'tidak realistis' karena sangat tergantung dari pasukan Irak yang disebutnya 'hanya ada di atas kertas'.

Juga sempat ada tuduhan saat Austin menjabat panglima CENTCOM. Bahwa institusinya saat itu cenderung meremehkan laporan intel terkait ancaman ISIS, dan hanya memberikan laporan yang manis-manis tentang jalannya pertempuran. Meski demikian, pemeriksaan inspektorat jenderal yang dilakukan tahun 2017 menyimpulkan tuduhan itu tidak terbukti.

Selain itu, Oriana juga menyoroti keterkaitan Austin dengan para kontraktor militer. Mantan jenderal ini duduk di dewan komisaris Raytheon Technology sejak awal pensiun tahun 2016. Dia juga partner di Pine Island Capital Partners, sebuah perusahaan investasi yang membeli kontraktor pertahanan skala kecil.

Sebenarnya ini bukan skandal. Tidak ada aturan yang melarang. Dan dalam prakteknya, banyak pensiunan jenderal menduduki posisi yang sama. Para menham sebelumnya tak terkecuali. Seperti James Mattis yang punya posisi di General Dynamics, Mark Esper adalah pelobi utama di Raytheon, dan Patrick Shanahan adalah eksekutif di Boeing.

Hanya masalahnya, praktek ini dikecam aktivis partai Demokrat yang 'militan' dan para pengkritik Pentagon. Sementara Biden sendiri, seperti diketahui, merupakan calon dari Demokrat. Hal-hal seperti ini tentu bisa menimbulkan persoalan. Meski sejak awal, Biden menegaskan Austin akan mundur dari jabatan di perusahaan-perusahaan itu bilamana diperlukan.

Satu lagi nilai minus Austin, menurut Orian, adalah pelit bicara. Yah, kakek kita memang bilang orang pendiam banyak ilmunya. Tapi jaman kakek kita dulu kan belum ada wartawan. Kalau pun ada, pastinya tidak seceriwis sekarang.

Nah, Austin ini terkenal sangat menjauhi publik maupun media. Meski mengepalai salah satu operasi yang paling banyak diliput selama di CENTCOM, dia jarang sekali melakukan interview, dan selalu menolak untuk membawa reporter ke wilayah pertempuran.

Menurut laporan Defense One pada tahun 2014 episode, CENTCOM tidak mengizinkan kamera pada saat peliputan acara Austin di Atlantic Council, yang umumnya menghadirkan para panel melalui live streaming.

Padahal salah satu janji kampanye Biden adalah merestorasi hubungan media dengan pemerintah yang memburuk di masa pemerintahan Trump. Termasuk dengan kembali memberlakukan briefing regular di setiap institusi seperti Pentagon.

Dan itu belum semuanya. Menurut Oriana, masih ada satu masalah lagi. Bahkan mungkin ini yang paling gawat. Terkait pengalamannya berurusan dengan kekuatan asing yang paling ditakuti AS saat ini.

China.

Austin mungkin hebat kalau soal mengejar-ngejar pasukan gerilya kota. Tapi pengalaman seperti ini tidak ada artinya kalau yang dihadapi adalah satu institusi yang memiliki pengaruh militer-ekonomi yang sama besarnya dengan Amerika Serikat sendiri.

Austin tidak punya pengalaman dengan China. Karirnya dihabiskan di Timur-Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Tidak pernah berurusan dengan konflik yang terjadi di Indo-Pasifik. Baik dengan China atau negara lainnya di wilayah itu.

Lebih parah lagi, Austin berasal dari Angkatan Darat. Menurut Oriana, Angkatan ini menjadi yang paling tidak relevan dalam berurusan dengan masalah yang terkait China. Mengingat konflik yang terkait dengan negara ini lebih didominasi unjuk kekuatan Laut maupun Udara.

Ini juga bisa menjadi masalah buat Biden, yang selama pilpres kemarin sering dituduh Trump dan orang-orang Partai Republik akan bersikap lunak terhadap ancaman negara tirai gadget itu.

Wallahualam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun