Mohon tunggu...
Nuya
Nuya Mohon Tunggu... Lainnya - nu'aim khayyad

Madridista dan penghafal ayat kursi..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan untuk Seorang Imam

26 Juni 2020   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2020   08:31 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu terbaik untuk memulai aktivitas adalah di waktu pagi hari. Kiranya demikian menurut para pakar kesehatan.  Energi  dan pikiran yang terkuras pada hari sebelumnya akan direfresh secara alamiah melalui istrahat yang cukup dan tidak begadang di malam hari.

Banyak hal bisa dilakukan di waktu pagi dengan ragam cara masing-masing, bisa dengan olahraga ringan,  lari-lari kecil di halaman rumah atau lari di tempat pun okeh. Pokoknya, olah fisik ringan agar badan tetap segar dan bugar terutama saat di tempat kerja.  

Bagi saya, olahraga terbaik adalah berjalan menuju masjid untuk sholat subuh. Kebetulan jarak masjid dari rumah lumayan jauh. Dan pagi hari ini saya memilih untuk berjalan lebih jauh lagi yaitu masjid kampung sebelah.  

Ada sebagian orang memang, yang tidak selalu memilih sholat subuh  di masjid terdekat. Alasan yang paling mungkin adalah mencari suasana baru atau karena tertarik dengan lantunan suara muadzinnya yang merdu plus cetar membahana di pagi hari ketimbang suara muadzin di masjid dekat rumah.

Begitupun alasan  saya untuk memilih berjamaah subuh di tempat yang agak jauh dari rumah. Dan singkat cerita, tibalah saya di musholla sederhana nan mungil. Terletak di pinggir jalan utama serta dilengkapi  alat pendingin udara. Menambah kenyamanan dan kekhusyukan dalam ibadah.

Berdirilah sang Imam mengambil tempat di pengimaman  setelah lantunan iqamat dari bilal. Takbirratul ihram pun dimulai, imam membaca surat al fatihah berlanjut dengan surah pilihan. Kali ini surat pilihan yang dibaca pak Imam agak panjang.

Sekiranya tiga sampai empat ayat yang dibaca berjalan lancar. Namun masuk pada ayat berikutnya, pak Imam mulai lupa-lupa,  lupa lalu ingat, lupa lagi lalu ingat ayatnya, lupa lagi.  Dan akhirnya sering diingatkan oleh salah satu makmum yang kebetulan telah hafal surat pilihan pak Imam.

Sampai disini sukses pak Imam meski banyak campur lisan makmum alias sering diingatkan. Hingga gerakan berikutnya, turunlah pak Imam diikuti jamaah untuk melakukan sujud.  Setelah sujud pertama selesai, pak Imam  bukannya melakukan duduk diantara dua sujud namun pak Imam bablas berdiri untuk melanjutkan rakaat kedua. Beruntung  para makmum paham ilmunya, untuk tidak mengikuti gerakan Imam yang keliru.   

Satu dan dua makmum mengingatkan kekeliruan pak Imam dengan melafadzkan “ SUBHANALLAH”. Lafadz yang dibenarkan untuk menegur kekeliruan Imam. Telah sepakat para ahlinya jika ada lafadz maupun kalimat lain yang diucapkan dalam sholat maka tidak ada sholat baginya. Satu-satunya ketentuan bagi laki-laki adalah mengingatkan dengan membacanya. Ya lafadz tasbih itu..

Sampai disini Pak Imam paham dan kemudian turun memperbaiki kesalahannya. Duduk kembali sebagai duduk diantara dua sujud. Namun pak imam tidak melakukan sujud yang kedua melengkapi kekurangan gerakan sholatnya, malah diam tak bergerak. Pak imam sepertinya tak tahu harus berbuat apa. Sekitar lima menitan lah jamaah dibuat galau... hehe    

Yang ditunggu-tunggu tidak melakukan gerakan sebagaimana harapan para makmum, malah yang terdengar deheman salah satu makmum diikuti deheman berikutnya,  lafadz “ subhanallah pun membahana beberapa saat dalam ruang sejuk itu, terdengar berkali-kali. Tak ketinggalan saya, pun ikut mengucapkan kalimat tasbih sebagai pengingat.  Tentu bukan ikut-ikutan.

Sang Imam rupanya lupa, tidak ingat sama sekali apa yang harus dilakukan. Salah seorang makmum berusaha menegaskan dengan membaca subhana rabiyal a’la wabihamdihi agar Imam tahu kekeliruannya tidak melakukan sujud yang kedua.

Penegasan, seolah-olah ingin mengatakan langsung kepada Imam “ sujud sekali lagi pak imaaam, sujudmu kurang sekali ! ”. Subhana rabiyal A’la wabihamdihi..!  lalu apakah Imam mengerti dan paham ? Belum juga, ternyata belum konek !  Ya rabbiii…

Entah dengan cara apa mengingatkannya. Namun baru saja terlintas di pikiran saya bagaimana cara mengingatkan pak Imam yang dalam kondisi blenk terdengarlah ucapan dari seorang bapak, tepat di sebelah saya.

“ sujud pu sekali wali ! ” (Bahasa Bima = sujudlah sekali lagi !)

Nah, seketika buyarlah konsentrasi saya. Ini  mengapa bahasa daerah turun di medan sholat ?  ataukah dibenak bapak, inilah jurus ampuh mengakhiri kegalauan jamaah sekalian. Nekat juga sih sebenarnya, kalau dipikir. hehe

Belum berhenti rupanya, jurus bapak memantik yang lain untuk melakukan kenekatan yang sama. Terbukti beberapa jamaah melakukan kesalahan yang persis. Pikir saya, banyak yang batal subuh hari ini ! bersyukur kemudian sholat berakhir tuntas meski penuh aral melintang. Sebagian jamaah melakukan sholat ulang dan saya tak mau berlama-lama, ndak tega menatap paras pak Imam. Pulanglah saya dengan rasa yang membahana.  

Sebagai catatan 

Nun jauh di kedalaman hati, tak ada maksud sedikitpun membuka aib pak Imam, anggap lah kewajiban sesama untuk saling koreksi, sebab lupa dan lalai adalah manusiawi. Hanya pelajarannya bahwa menjadi imam tentu dibutuhkan kriteria-kriteria tertentu. Disamping hapal qur’an, memahami ilmu sholat, pun membutuhkan nyali dan mental yang kuat.

Setidaknya menurut pakar, ada dua legitimasi yang harus dimiliki seorang Imam dalam sholat. Pertama, legitimasi intelektual yaitu memahami aspek fiqih dalam sholat dan juga memiliki hapalan al qur’an yang lebih baik dibanding jamaah lain.

Pemahaman berkenaan dengan fiqih sholat berperan besar bagi Imam agar sholat dapat berjalan dengan sempurna mengingat tanggung jawab Imam sangatlah besar. Dalam kasus di atas ketika Imam dalam kondisi tidak mengingat apa-apa maka sebaiknya ia “menepi” memberi kesempatan kepada makmum di belakang untuk menggantikannya sehingga estafet kepemimpinan dalam sholat tetap berjalan  kendati ada masalah.

Kedua, legitimasi Kharisma yaitu dikenal jamaah.  Dikenal ilmunya, dikenal pengalamannya, dikenal tingkah lakunya, dikenal baiknya -- intinya. Maka hindarilah membiarkan pelaksanaan sholat dipimpin  oleh “orang asing” yang kita tidak tahu asal usulnya.

Hapalan dirasa mantul di luar sholat belum tentu akan lancar setelah di ruang pengimaman, yang notabene berdiri pun tidak boleh ditemani, konsentrasi buyar dan gelagapan kadang-kadang menyergap. Disinilah pengalaman, nyali dan mental di uji.

Dan akhirnya saya berkesimpulan, hindari menjadi imam kalau dirasa perangkat keilmuan dan legitimasinya belum memadai. Jangan hindari sholatnya, tapi hindari menjadi imam.

Itu..!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun