Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Gen Z, Keluarga dan Ketergantungan Teknologi

25 Januari 2025   07:36 Diperbarui: 25 Januari 2025   14:38 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gen Z (Sumber: ahyari.net)

Di tengah dunia yang terus berputar. Di layar kaca, di ujung jari, anak-anak tumbuh, penuh harapan dan keresahan.Mencari tempat, mencari arti, disanalah mereka menemukan jati diri , yakni Gawai menjadi sahabat, dan dunia terus bisa dilihat disana. Kita banyak mendengar bahwa, seorang anak kecil rela bunuh diri karena tidak dibelikan gawai, atau Hp dirampas  orang tua, dunia terasa gelap. Hp disita orang tua, menjadi pemicu bunuh diri, tragis memang (https://www.detik.com/jatim/berita/d-7393512/). Kondisi demikian membutuhkan perhatian kita semuanya. Sebab jumlah generasi muda khususnya Gen Z, sungguh sangat besar

Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data statistik yang mengungkapkan distribusi penduduk Indonesia berdasarkan kelompok usia. Data ini berasal dari hasil Sensus Penduduk 2020 dan memberikan wawasan lebih mendalam tentang struktur demografi Indonesia di masa depan.

Dalam rilis tersebut, Generasi Z, yang lahir antara 1997 hingga 2012, mencatatkan jumlah sekitar 74,93 juta jiwa, atau sekitar 27,94% dari total populasi. Generasi ini sebagian besar masih berada pada usia muda hingga remaja awal, dan dominasi mereka memberikan harapan besar bagi potensi kemajuan dan perubahan di masa yang akan datang.

Dalam tulisan ini, akas diulas tentang beberpa hal antara lain, ketergantungan pada teknologi, peran keluarga, dan beberapa teori tentang fungsi Keluarga yang buruk, serta, solusi untuk pegangan agar memperkecil terjadinya  ketergantungan pada gawai untuk generasi Z.

KETERGANTUNGAN PADA TEKNOLOGI:

Kehidupan Gen Z sangat bergantung pada teknologi dan internet. Hal ini sering kali berdampak pada kualitas hubungan sosial mereka secara langsung dan keterampilan berkomunikasi secara tatap muka.Tergantung pada teknologi menjadi sebuah pemicu berat, orang berpikir pendek, dan juga kondisi demikian melahirkan Kesehatan Mental: Tingginya tingkat stres, kecemasan, dan depresi di kalangan Gen Z sering dikaitkan dengan tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi, baik dari lingkungan sekitar maupun media sosial. Mereka tumbuh di era digital yang sangat cepat, dan kadang-kadang merasa terjebak dalam perbandingan dengan orang lain.

Hasil beberapa kajian menunjukkan bahwa, Di era yang serba cepat dan terus berkembang ini, kehidupan banyak individu, khususnya generasi muda, sangat dipengaruhi oleh teknologi dan interaksi sosial. Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh (Akinwale, dkk 2024) di kalangan mahasiswa mengungkapkan bahwa media sosial dan konten digital memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan cara menyajikan diri di kalangan remaja serta orang dewasa muda. Proses ini bisa memicu munculnya kecemasan dan gangguan kesehatan mental lainnya. 

Penelitian ini juga menyatakan bahwa Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an dan awal 2010-an, tumbuh dalam era perkembangan teknologi yang luar biasa, dengan akses internet yang sangat luas dan pesatnya pertumbuhan platform media sosial. Di sisi lain, mereka juga menghadapi perubahan dalam dinamika keluarga, dengan struktur, peran, dan pola interaksi yang semakin beragam. Memahami dampak kesehatan mental dari faktor-faktor kontekstual ini sangatlah penting. Depresi dan kecemasan, yang merupakan dua gangguan kesehatan mental paling umum dan menghancurkan di seluruh dunia, memengaruhi individu dari berbagai kelompok usia, dengan remaja dan orang dewasa muda yang lebih rentan. Dalam konteks ini, hubungan antara fungsi keluarga.

Interaksi sosial di dunia maya kini menjadi topik yang menarik bagi para peneliti dan ahli kesehatan mental. Generasi Z pun menyadari tantangan ini. Laporan mengenai peningkatan tingkat bunuh diri menunjukkan hal-hal berikut: * Remaja berusia 15 hingga 19 tahun, yang naik dari 8 per 100.000 pada tahun 2000 menjadi 11,8 per 100.000 pada tahun 2017* Jumlah orang dewasa muda berusia 20 hingga 24 tahun meningkat dari 12,5 per 100.000 pada tahun 2000 menjadi 17 per 100.000 pada tahun 2017. Namun, para penulis mengingatkan bahwa temuan ini terbatas karena adanya kemungkinan ketidakakuratan dalam sertifikat kematian (seperti overdosis opioid yang disengaja tercatat sebagai kecelakaan).

PERAN KELUARGA 

Peran keluarga sangat penting dalam perkembangan dan kesejahteraan individu, khususnya selama masa remaja. Lingkungan keluarga memengaruhi berbagai aspek kehidupan remaja, termasuk perkembangan emosional, kognitif, dan sosial mereka. Keluarga dengan fungsi yang buruk, yang tercermin dalam dinamika disfungsional dan interaksi negatif, dapat memberikan dampak buruk yang signifikan bagi Generasi Z, yang berpotensi menyebabkan berbagai masalah, termasuk gangguan kesehatan mental.

Fungsi keluarga yang buruk merujuk pada adanya dinamika disfungsional dalam sistem keluarga, seperti tingginya tingkat konflik antar orang tua, komunikasi yang tidak efektif, kurangnya dukungan emosional, dan disiplin yang tidak konsisten (Conger et al., 2010). Faktor-faktor ini dapat menciptakan lingkungan yang penuh tantangan dan stres bagi Generasi Z, yang dapat memengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan dan berkontribusi pada perkembangan gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan.

Konflik yang tinggi antar orang tua sangat berdampak buruk pada kesehatan mental remaja. Menyaksikan konflik yang sering dan intens antara orang tua bisa menjadi pengalaman emosional yang sangat membebani bagi Generasi Z (Conger et al., 2010). Paparan terhadap konflik ini meningkatkan kerentanan terhadap stres emosional, kecemasan, dan gejala depresi. Keberlanjutan dan intensitas konflik orang tua bisa memperburuk dampak negatif tersebut. Gejolak emosional yang terjadi akibat konflik yang terus-menerus dapat mengganggu rasa stabilitas dan keamanan yang dibutuhkan remaja untuk perkembangan yang sehat, yang bisa menyebabkan kesulitan emosional jangka panjang.

Pola komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga juga bisa memperburuk fungsi keluarga yang buruk dan berdampak negatif pada Generasi Z. Gangguan dalam komunikasi, seperti kurangnya dialog terbuka, mendengarkan secara aktif, dan saling menghormati, menghalangi ekspresi pemikiran, perasaan, dan kebutuhan. Ini bisa memicu kesalahpahaman, penafsiran yang keliru, serta perasaan tidak didengar atau tidak dihargai di kalangan Generasi Z (Conger et al., 2010). Kekurangan saluran komunikasi yang sehat bisa mencegah remaja untuk mencari dukungan, mengungkapkan kekhawatiran, atau membicarakan perasaan mereka, yang akhirnya memperburuk perasaan terisolasi dan tekanan emosional.

Praktik disiplin yang tidak konsisten dalam menetapkan dan menegakkan batasan, aturan, dan konsekuensi dapat menyebabkan kebingungannya dan kekurangan struktur bagi remaja. Hal ini bisa menimbulkan rasa ketidakamanan dan ketidakpastian, yang berpotensi meningkatkan kecemasan serta berdampak buruk pada kesehatan mental (Conger et al., 2010). Selain itu, disiplin yang tidak konsisten juga bisa berkontribusi pada perkembangan perilaku eksternal atau kesulitan dalam mengatur diri sendiri, yang semakin memperburuk masalah kesehatan mental.

TEORI DARI POOR FAMILY FUNCTIONING ON GEN ZS

Dampak dari fungsi keluarga yang buruk pada Generasi Z dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan teori. Sebagai contoh, teori sistem keluarga menyoroti pentingnya hubungan antar anggota keluarga dan menunjukkan bahwa disfungsi dalam sistem keluarga dapat mempengaruhi kesejahteraan anggota keluarga secara individu (Bowen, 1978). Teori pembelajaran sosial mengungkapkan bahwa remaja belajar perilaku dan cara mengatasi masalah melalui pengamatan dan interaksi dalam keluarga, dengan pola disfungsional yang terbawa dan memengaruhi keseimbangan psikologis mereka (Bandura, 1977). Dengan menyadari dampak negatif dari dinamika keluarga yang disfungsional, para profesional dapat mendorong terciptanya fungsi keluarga yang sehat melalui intervensi terapeutik, konseling keluarga, dan program pendidikan orang tua. Menciptakan lingkungan keluarga yang mendukung, penuh kasih, dan komunikatif dapat meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan mental Generasi Z, serta memperkuat ketahanan serta perkembangan positif mereka. Fungsi keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam kesejahteraan psikologis remaja (McHale et al., 2012). Lingkungan keluarga yang mendukung dan harmonis, yang ditandai dengan komunikasi yang efektif, kasih sayang, dan hubungan yang positif antara orang tua dan anak, berhubungan dengan hasil kesehatan mental yang lebih baik bagi remaja (Shek, 2002). Sebaliknya, dinamika keluarga yang disfungsional, seperti konflik orang tua yang tinggi, kurangnya dukungan emosional, dan disiplin yang tidak konsisten, dapat meningkatkan risiko depresi dan kecemasan pada remaja (Conger et al., 2010)

Kemajuan teknologi digital telah mengubah cara orang berinteraksi dan bersosialisasi, khususnya di kalangan Generasi Z (Twenge, 2017). Generasi Z lebih suka berinteraksi secara online, menghabiskan banyak waktu di media sosial dan menjalin hubungan di dunia maya (Oberst et al., 2017). Namun, ketergantungan yang berlebihan pada interaksi sosial online dan kurangnya interaksi langsung dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin besar preferensi terhadap interaksi sosial online, semakin tinggi tingkat depresi, kecemasan, dan perasaan kesepian pada remaja (Odgers et al., 2020). Bada et al. (2023) melaporkan penggunaan internet yang bermasalah di kalangan orang dewasa muda dalam sebuah penelitian, dengan menunjukkan bahwa masalah ini juga berhubungan dengan tantangan kesehatan mental lain seperti depresi dan kecemasan.

Keluarga yang memiliki fungsi yang lebih sehat biasanya memberikan dukungan emosional dan material yang lebih besar kepada anggotanya, sehingga mereka dapat lebih efektif menghadapi konflik-konflik negatif.

 Keluarga, yang berfungsi sebagai ekosistem, memainkan peran penting dalam perkembangan kesehatan mental remaja dengan bertindak sebagai pelindung terhadap masalah kesehatan mental yang berbahaya dan mengurangi kemungkinan timbulnya masalah tersebut (Haefner, 2014). Meskipun penelitian sebelumnya telah menelaah peran fungsi keluarga dan preferensi terhadap interaksi sosial online sebagai faktor risiko depresi dan kecemasan, masih diperlukan studi lebih lanjut yang menggabungkan kedua faktor ini, khususnya pada populasi Generasi Z.

Penelitian yang dibutukan saat ini adalah  untuk mengisi kekosongan ini dengan menginvestigasi efek kumulatif dan kemungkinan interaksi antara fungsi keluarga dan interaksi sosial online terkait depresi dan kecemasan pada Generasi Z. Dengan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor risiko ini, penelitian ini dapat berkontribusi pada pengembangan literatur tentang kesehatan mental remaja dan memberikan wawasan berharga bagi praktisi, pembuat kebijakan, dan pendidik yang bekerja dengan Generasi Z. Hasil penelitian sperti itu  dapat memberikan panduan untuk merancang intervensi dan langkah-langkah pencegahan guna meningkatkan kesehatan mental yang positif di kalangan Generasi Z

Aroyewun et al. (2019) menyatakan bahwa remaja dan mahasiswa perlu menjalani pemeriksaan untuk depresi dan masalah kesehatan mental lainnya, serta mengungkapkan bahwa penilaian ini sangat penting untuk terapi atau konseling berbasis sekolah agar dapat membantu siswa menyesuaikan kebutuhan mereka di lingkungan sekolah dan keluarga mereka

MENGATASI KETERGANTUNGAN GAWAI 

Mengatasi ketergantungan pada HP (handphone) di kalangan Generasi Z (Gen Z) memerlukan pendekatan yang melibatkan keluarga, pengelolaan media sosial, serta perubahan kebiasaan individu. Berikut adalah beberapa solusi yang bisa diterapkan:

1. Keluarga dalam Mengatasi Ketergantungan HP

  • Membatasi Penggunaan Gadget di Rumah: Keluarga dapat menetapkan waktu tertentu untuk menggunakan HP, seperti menghindari penggunaan HP selama makan malam atau menjelang tidur untuk memastikan waktu berkualitas bersama keluarga dan mendukung tidur yang lebih sehat.
  • Menciptakan Pola Interaksi Positif: Mengarahkan anak untuk lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan keluarga dan teman-temannya di luar dunia digital, seperti bermain olahraga, memasak bersama, atau melakukan kegiatan kreatif yang tidak melibatkan teknologi.
  • Menjadi Teladan: Orang tua atau anggota keluarga lainnya perlu menjadi contoh dengan mengatur penggunaan teknologi mereka sendiri. Jika orang tua terbiasa menggunakan HP secara berlebihan, anak-anak akan cenderung meniru kebiasaan tersebut.
  • Komunikasi yang Terbuka: Mengedukasi anak mengenai dampak negatif dari penggunaan HP yang berlebihan terhadap kesehatan fisik dan mental, serta membahas alasan di balik pengaturan waktu layar yang lebih sehat.

2. Mengatur Penggunaan Media Sosial

  • Menetapkan Waktu Tertentu untuk Media Sosial: Memberikan waktu yang terbatas untuk mengakses media sosial setiap hari. Misalnya, hanya mengizinkan penggunaan media sosial selama satu atau dua jam sehari, dan memastikan bahwa waktu ini digunakan dengan bijak.
  • Menggunakan Aplikasi Pengelola Waktu Layar: Beberapa aplikasi memungkinkan untuk melacak dan membatasi waktu yang dihabiskan di berbagai platform media sosial. Aplikasi seperti "Screen Time" (untuk iPhone) atau "Digital Wellbeing" (untuk Android) dapat digunakan untuk membantu mengelola waktu penggunaan gadget.
  • Mengajarkan Keseimbangan dalam Media Sosial: Memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata. Mengajarkan untuk menggunakan media sosial dengan cara yang konstruktif, seperti untuk belajar atau berhubungan dengan orang yang memberikan dampak positif.
  • Menyaring Konten: Mengedukasi anak-anak untuk memilih konten yang bermanfaat dan positif di media sosial, serta menghindari konten yang bisa memengaruhi kesehatan mental, seperti perbandingan sosial atau kecanduan konten negatif.

3. Pendekatan untuk Generasi Z dalam Mengatasi Ketergantungan HP

  • Peningkatan Kesadaran Diri: Mengajak Gen Z untuk lebih sadar akan kebiasaan mereka dalam menggunakan HP dan media sosial, serta bagaimana itu memengaruhi kehidupan mereka secara emosional, fisik, dan sosial. Menyadarkan mereka tentang efek negatif penggunaan berlebihan, seperti gangguan tidur, kecemasan, dan isolasi sosial.
  • Menawarkan Alternatif Positif: Mengarahkan Gen Z untuk menemukan kegiatan alternatif yang menyenangkan dan bermanfaat, seperti membaca buku, berolahraga, atau belajar keterampilan baru, agar mereka tidak merasa terlalu tergantung pada HP untuk hiburan atau komunikasi.
  • Menerapkan Kebiasaan Teknologi Sehat: Mengajarkan kebiasaan teknologi sehat seperti melakukan "detoks digital" secara berkala, yaitu menjauhkan diri dari media sosial dan perangkat elektronik selama beberapa waktu, terutama saat liburan atau akhir pekan.
  • Menggunakan HP untuk Tujuan Positif: Memanfaatkan HP untuk kegiatan yang bermanfaat, seperti mengikuti kursus online, mendengarkan podcast edukatif, atau berbagi konten yang dapat meningkatkan kreativitas dan keterampilan mereka.

4. Kolaborasi antara Keluarga dan Institusi Pendidikan

  • Program Edukasi di Sekolah: Sekolah dapat bekerja sama dengan orang tua untuk mengedukasi siswa tentang penggunaan media sosial yang sehat dan dampaknya terhadap kesehatan mental dan fisik. Ini juga bisa melibatkan sesi pelatihan tentang kecerdasan emosional, pengelolaan stres, dan cara mengurangi ketergantungan digital.
  • Menyediakan Ruang untuk Interaksi Sosial: Sekolah bisa menyediakan lebih banyak ruang dan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi langsung dengan teman-temannya di luar dunia digital, seperti kegiatan kelompok, olahraga, dan proyek kreatif yang tidak melibatkan gadget.

Dengan penerapan solusi-solusi di atas, baik oleh keluarga, institusi pendidikan, maupun individu itu sendiri, diharapkan ketergantungan HP pada Generasi Z dapat berkurang dan mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang antara dunia digital dan dunia nyata

PENUTUP

Pada suatu saat gen Z tahu, ini bukan hanya kebiasaan, Ini adalah kehidupan yang baru, Di mana keheningan terasa asing, Dan kesendirian, sering kali menakutkan. Tapi di balik semua ini, ada harapan, Teknologi memberi akses, memberi suara, Mungkin dirinya  lelah, mungkin terjebak,Tapi ingatlah, mereka  tetap bisa memilih jalan. Mungkin suatu hari, mereka akan menemukan keseimbangan, Antara layar dan dunia nyata yang penuh warna, Dan di sana, di tengah kecanggihan, Mereka  akan kembali menemukan dirinya . Moga bermanfaat****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun