Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Mengenal Energi Panas Bumi dan Potensi Indonesia

1 Desember 2024   06:35 Diperbarui: 1 Desember 2024   07:25 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawah Kamojang (Sumber :Indonesia -Tourisme/ Foto desnantara-tamasya )

Cerita tentang panas Bumi, saya pernah meneliti konsorsium  bakteri termofilik di sekitar kawah kamojang Jawa barat, Lingkungan dengan panas bumi, memungkinkan bakteri yang tahan panas bisa berkembang. Sel bakteri demikian adalah sisa-sisa sel purba. Alasannya pada saat awal terbentuknya bumi kondisi bumi sangat panas,  kehidupan termofilik(suka akan suhu tinggi), merupakan kehidupan perintis di bumi. Suhu bumi tinggi, dan kadar oksigen rendah merupakan lingkungan ekstrim.

Panas bumi kini banyak dilirik sebagai sumber energi terutama energi listrik. Kondisi demikian  sangat menantang Indonesia, di Era Presiden Prabowo, yang mencanangkan program swa sembada energi. Mengapa demikian?

Alasannya, Pertama, Penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus sebagai sumber utama untuk menghasilkan listrik merupakan salah satu faktor utama penyebab pemanasan global. Selama beberapa tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari alternatif energi yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan bersih. Pemanfaatan energi geotermal dari permukaan jalan raya adalah salah satu alternatif yang telah dikembangkan dan diselidiki baru-baru ini.

Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan besar dalam permintaan energi yang berkaitan dengan bahan bakar fosil akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat, yang mengakibatkan peningkatan signifikan dalam tingkat emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2). Penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus menjadi faktor utama yang mempercepat pemanasan global , dengan lebih dari 70% dari total emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Akibatnya, kerusakan signifikan dan dampak merugikan terhadap sistem biologis, fisik, dan sosial-ekonomi terlihat, seperti peningkatan suhu, banjir bandang, kekeringan, pulau panas perkotaan, dan kenaikan permukaan laut.

Kedua, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang tidak hanya memiliki potensi sumber daya energi yang besar, tetapi juga mengalami laju pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat dan industri, Indonesia memerlukan pasokan energi yang signifikan. Saat ini, konsumsi energi Indonesia masih sangat bergantung pada sumber energi tak terbarukan seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca yang besar, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan iklim global.

Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006, telah menetapkan target untuk mencapai bauran energi yang optimal pada tahun 2025, dengan energi terbarukan mencakup 17% dari total konsumsi energi nasional. Dari proporsi energi terbarukan tersebut, energi panas bumi diharapkan menyumbang lebih dari 5%. Target ini bertujuan untuk memastikan ketahanan pasokan energi dalam negeri. Meskipun tidak secara eksplisit mencantumkan tujuan terkait pengurangan dampak lingkungan, peningkatan penggunaan energi bersih diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Namun, meskipun memiliki potensi besar, energi panas bumi sebagai salah satu sumber utama energi terbarukan belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. Sejak dimulainya pembangkit listrik tenaga panas bumi Kamojang-1 pada tahun 1983 hingga 2017, Indonesia baru berhasil memanfaatkan sekitar 6% dari total potensi energi panas bumi nasional. Tulisan  ini, melalui kajian pustaka, bertujuan untuk merangkum berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mendorong pemanfaatan energi panas bumi guna mencapai target pemerintah pada tahun 2025. Selain itu, kajian  ini juga berupaya untuk mengusulkan alternatif solusi guna mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia.

SELAYANG PANDANG ENERGI PANAS BUMI

Geotermal adalah energi yang diperoleh dari panas yang ada di dalam bumi. Energi ini berasal dari proses alami seperti pelapukan radioaktif di dalam inti bumi yang menghasilkan panas. Sumber energi geotermal dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti pembangkit listrik, pemanasan ruangan, dan proses industri.

Energi geotermal dapat diekstraksi melalui pengeboran sumur untuk mengambil uap atau air panas yang ada di dalam bumi, yang kemudian digunakan untuk menghasilkan listrik atau menyediakan panas. Keuntungan utama dari energi geotermal adalah ramah lingkungan, berkelanjutan, dan dapat diperoleh secara lokal, yang membuatnya menjadi alternatif energi yang menarik di banyak negara.

Energi panas bumi adalah energi termal yang diambil dari kerak Bumi. Energi ini berasal dari dua sumber utama, yaitu pembentukan planet dan peluruhan radioaktif. Pemanfaatan energi panas bumi sebagai sumber panas dan/atau listrik sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Pemanasan geotermal, seperti yang menggunakan air dari mata air panas, telah digunakan untuk mandi sejak zaman Paleolitikum dan untuk pemanasan ruangan sejak masa Romawi. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga geotermal (PLTP) mulai dimanfaatkan pada abad ke-20. Berbeda dengan energi angin dan matahari, pembangkit geotermal dapat menghasilkan listrik dengan kecepatan yang stabil, tanpa tergantung pada kondisi cuaca. Secara teori, sumber daya geotermal cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dunia. Sebagian besar pemanfaatan energi ini terjadi di wilayah yang terletak di dekat batas lempeng tektonik.

Selama tahun 1980-an dan 1990-an, biaya untuk menghasilkan listrik dari sumber geotermal menurun sekitar 25%. Inovasi teknologi terus menurunkan biaya tersebut dan memperbesar potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan. Pada 2021, Departemen Energi AS memperkirakan bahwa biaya untuk membangkitkan listrik dari pembangkit yang dibangun pada tahun tersebut sekitar $0,05 per kWh.

Pada 2019, kapasitas energi geotermal yang terpasang di seluruh dunia mencapai 13.900 megawatt (MW). Selain itu, sekitar 28 gigawatt digunakan untuk kebutuhan pemanasan distrik, pemanasan ruang, spa, proses industri, desalinasi, dan aplikasi pertanian pada tahun 2010. Pada tahun 2019, sektor ini telah memberikan lapangan pekerjaan bagi sekitar seratus ribu orang.

Kata "geotermal" berasal dari bahasa Yunani, yaitu (g) yang berarti Bumi, dan (therms) yang berarti panas.

SEJARAH PEMANFAATAN PANAS BUMI

Air panas telah digunakan untuk berendam sejak zaman Paleolitik setidaknya. Spa tertua yang diketahui terletak di situs istana Huaqing Chi. Pada abad pertama Masehi, orang Romawi menaklukkan Aquae Sulis, yang sekarang dikenal sebagai Bath, Somerset, Inggris, dan menggunakan air panas di sana untuk menyediakan pemandian umum dan pemanasan bawah lantai. Biaya masuk untuk pemandian ini kemungkinan besar merupakan penggunaan komersial pertama dari energi geotermal. Sistem pemanasan distrik geotermal tertua di dunia, di Chaudes-Aigues, Prancis, telah beroperasi sejak abad ke-15.Eksploitasi industri pertama dimulai pada tahun 1827 dengan penggunaan uap geyser untuk mengekstraksi asam borat dari lumpur vulkanik di Larderello, Italia.

Pada tahun 1892, sistem pemanasan distrik pertama di AS di Boise, Idaho, menggunakan energi geotermal. Sistem ini kemudian ditiru di Klamath Falls, Oregon, pada tahun 1900. Bangunan pertama yang diketahui di dunia yang memanfaatkan energi geotermal sebagai sumber panas utamanya adalah Hot Lake Hotel di Union County, Oregon, yang dimulai pada tahun 1907. Sebuah sumur geotermal digunakan untuk memanaskan rumah kaca di Boise pada tahun 1926, dan geyser digunakan untuk memanaskan rumah kaca di Islandia dan Tuscany pada waktu yang hampir bersamaan. Charles Lieb mengembangkan penukar panas bawah tanah pertama pada tahun 1930 untuk memanaskan rumahnya. Uap dan air geyser mulai digunakan untuk memanaskan rumah di Islandia pada tahun 1943

Pada abad ke-20, energi geotermal mulai digunakan sebagai sumber pembangkit. Pangeran Piero Ginori Conti menguji generator pembangkit energi geotermal pertama pada 4 Juli 1904, di ladang uap Larderello. Uji coba tersebut berhasil menyalakan empat bola lampu.[11] Pada tahun 1911, pembangkit listrik geotermal komersial pertama di dunia dibangun di sana. Itu menjadi satu-satunya produsen energi geotermal industri hingga Selandia Baru membangun pembangkit pada tahun 1958. Pada tahun 2012, pembangkit ini menghasilkan sekitar 594 megawatt.

Pada tahun 1960, Pacific Gas and Electric memulai operasi pembangkit listrik geotermal pertama di AS di The Geysers, California.Turbin asli bertahan lebih dari 30 tahun dan menghasilkan daya bersih 11 MW.

Pembangkit listrik siklus biner berbasis fluida organik pertama kali didemonstrasikan pada tahun 1967 di Uni Soviet dan kemudian diperkenalkan ke AS pada tahun 1981[citation needed]. Teknologi ini memungkinkan penggunaan sumber daya panas dengan suhu serendah 81 C. Pada tahun 2006, pembangkit siklus biner di Chena Hot Springs, Alaska, mulai beroperasi, menghasilkan listrik dari suhu terendah yang tercatat yaitu 57 C (135 F).

Bumi memiliki kandungan panas internal sekitar 10 joule (3*10 TWh), dengan sekitar 20% dari panas ini berasal dari sisa akresi planet, dan sisanya berasal dari peluruhan radioaktif isotop alami. Sebagai contoh, sebuah lubang bor dengan kedalaman 5.275 meter di Proyek Pembangkit Listrik Geotermal United Downs Deep di Cornwall, Inggris, menemukan granit dengan kandungan torium yang sangat tinggi, yang peluruhan radioaktifnya diyakini berkontribusi terhadap suhu tinggi batuan sekitarnya.

Suhu dan tekanan di dalam Bumi cukup tinggi untuk melelehkan beberapa jenis batuan dan menyebabkan mantel padat bersifat plastik. Bagian-bagian ringan dari mantel bergerak naik karena densitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan batuan sekitarnya. Suhu di batas inti-mantel bisa melebihi 4.000C (7.230F).

Energi termal internal Bumi mengalir ke permukaan melalui konduksi dengan laju 44,2 terawatt (TW), yang kemudian diperbaharui oleh peluruhan radioaktif mineral dengan laju 30 TW. Laju aliran energi ini lebih dari dua kali lipat total konsumsi energi global dari semua sumber primer, namun sebagian besar energi ini tidak dapat dipulihkan. Selain itu, permukaan Bumi dipanaskan oleh energi matahari hingga kedalaman 10 meter (33 kaki) selama musim panas dan mendingin selama musim dingin.

Gradien geotermal, yang menggambarkan peningkatan suhu seiring kedalaman, rata-rata sekitar 25--30C (77-86F) per kilometer kedalaman di sebagian besar wilayah. Fluks panas konduktif rata-rata 0,1 MW/km. Nilai-nilai ini jauh lebih tinggi di dekat batas lempeng tektonik di mana kerak bumi lebih tipis. Panas geotermal dapat lebih ditingkatkan melalui sirkulasi fluida melalui saluran magma, mata air panas, atau sistem hidrotermal.

Efisiensi termal dan profitabilitas pembangkitan listrik sangat bergantung pada suhu. Fluks panas alami yang tinggi, seperti yang ditemukan di mata air panas, memberikan manfaat terbesar. Pengeboran sumur ke akuifer panas adalah opsi terbaik berikutnya, dan reservoir air panas buatan dapat dibuat dengan cara memecah batuan induk secara hidraulik, sebuah proses yang digunakan dalam sistem geotermal yang ditingkatkan.

Perkiraan potensi pembangkitan listrik geotermal bervariasi cukup besar, mulai dari 0,035 hingga 2 TW pada tahun 2010, tergantung pada tingkat investasi. Perkiraan tertinggi mengasumsikan pengeboran sumur hingga kedalaman 10 kilometer (6 mil), meskipun sebagian besar sumur pada abad ke-20 jarang melebihi kedalaman 3 kilometer (2 mil). Sumur dengan kedalaman seperti ini umum ditemukan di industri minyak dan gas.

Energi geotermal adalah daya listrik yang dihasilkan dari energi geotermal. Stasiun pembangkit listrik uap kering, uap kilat, dan siklus biner telah digunakan untuk tujuan ini. Pada tahun 2010, listrik geotermal dihasilkan di 26 negara.

Pada tahun 2019, kapasitas daya geotermal dunia mencapai 15,4 gigawatt (GW), di mana 23,86 persen atau 3,68 GW berada di Amerika Serikat.

Energi geotermal menyuplai sebagian besar daya listrik di Islandia, El Salvador, Kenya, Filipina, dan Selandia Baru.

Energi geotermal dianggap sebagai energi terbarukan karena laju ekstraksi panasnya tidak signifikan dibandingkan dengan kandungan panas Bumi. Emisi gas rumah kaca dari stasiun listrik geotermal rata-rata sebesar 45 gram karbon dioksida per kilowatt-jam listrik, atau kurang dari 5 persen emisi dari pembangkit listrik tenaga batubara.

Pembangkit listrik geotermal tradisional dibangun di tepi lempeng tektonik di mana sumber daya geotermal bertemperatur tinggi mendekati permukaan. Pengembangan pembangkit listrik siklus biner dan perbaikan dalam teknologi pengeboran dan ekstraksi memungkinkan sistem geotermal yang ditingkatkan untuk diterapkan di wilayah geografis yang lebih luas. Proyek demonstrasi beroperasi di Landau-Pfalz, Jerman, dan Soultz-sous-Forts, Prancis, sementara upaya sebelumnya di Basel, Swiss, dihentikan setelah memicu gempa bumi. Proyek demonstrasi lainnya sedang dibangun di Australia, Inggris, dan AS. Di Myanmar, lebih dari 39 lokasi mampu menghasilkan daya geotermal, beberapa di antaranya berada di dekat Yangon.

PANAS BUMI LEBIH BAIK DARI PADA NUKLIR

Panas bumi (geothermal) dianggap lebih baik daripada energi nuklir dalam beberapa aspek, terutama terkait dengan dampak lingkungan, keberlanjutan, dan risiko operasional. Berikut adalah beberapa alasan mengapa panas bumi bisa dianggap lebih baik daripada nuklir:

  1. Ramah Lingkungan:
    Panas bumi menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan energi fosil atau nuklir. Pembangkit listrik panas bumi menghasilkan energi dengan sedikit atau tanpa dampak terhadap kualitas udara dan tidak menghasilkan limbah radioaktif berbahaya seperti yang terjadi pada pembangkit nuklir.
  2. Keberlanjutan:
    Panas bumi adalah sumber energi terbarukan, yang berarti sumbernya dapat diperbaharui selama reservoir geotermal dikelola dengan baik. Sebaliknya, nuklir mengandalkan bahan bakar uranium, yang terbatas dan dapat habis dalam jangka panjang, meskipun dalam waktu yang sangat lama.
  3. Risiko yang Lebih Rendah:
    Energi panas bumi relatif aman dibandingkan dengan nuklir, yang menghadirkan potensi risiko bencana seperti kebocoran radiasi, kecelakaan reaktor, atau masalah limbah radioaktif jangka panjang. Bencana seperti kecelakaan Chernobyl dan Fukushima mengingatkan kita akan potensi bahaya nuklir yang sulit untuk diprediksi dan ditangani.
  4. Tidak Bergantung pada Cuaca:
    Seperti energi nuklir, panas bumi adalah sumber energi yang bersifat terus-menerus, tidak tergantung pada faktor eksternal seperti cuaca (berbeda dengan energi surya atau angin yang fluktuatif). Hal ini membuat panas bumi lebih stabil dan dapat diandalkan untuk pasokan energi jangka panjang.
  5. Limbah yang Lebih Terkelola:
    Meskipun pembangkit listrik panas bumi menghasilkan limbah, limbah yang dihasilkan lebih mudah untuk dikelola dibandingkan dengan limbah nuklir yang memerlukan penyimpanan jangka panjang dan pengelolaan yang sangat rumit dan mahal. Limbah panas bumi sebagian besar dapat diproses dan diolah kembali.
  6. Efisiensi Biaya dalam Jangka Panjang:
    Meskipun investasi awal untuk pembangkit energi panas bumi bisa mahal, biaya operasional dan pemeliharaan relatif lebih rendah setelah pembangkit beroperasi. Sebaliknya, energi nuklir memerlukan biaya tinggi untuk membangun reaktor, serta biaya pemeliharaan yang rumit dan pengelolaan limbah radioaktif dalam jangka panjang.

Dengan berbagai keuntungan ini, panas bumi dianggap sebagai pilihan yang lebih aman dan berkelanjutan dibandingkan dengan nuklir, meskipun keduanya memiliki peran dalam transisi energi bersih global.

Panas bumi di Indonesia, atau lebih dikenal dengan istilah geotermal, merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang sangat potensial. Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik, yang membuatnya memiliki aktivitas vulkanik dan geotermal yang tinggi. Dengan banyaknya gunung berapi aktif, Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai panas bumi di Indonesia:

  1. Potensi Energi Geotermal:
    • Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang sangat besar, diperkirakan sekitar 28.000 megawatt (MW), atau sekitar 40% dari total potensi geotermal dunia.
    • Beberapa daerah dengan potensi panas bumi terbesar antara lain di Pulau Jawa, Sumatra, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku.
  2. Pembangkitan Energi:
    • Indonesia telah mengembangkan beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Beberapa PLTP yang sudah beroperasi antara lain di Wayang Windu (Jawa Barat), Sarulla (Sumatra Utara), dan Gunung Salak (Jawa Barat).
    • Pembangkit listrik panas bumi ini menggunakan uap atau air panas dari dalam bumi untuk menghasilkan energi listrik.
  3. Keuntungan Energi Geotermal:
    • Ramah lingkungan: Energi geotermal adalah sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar.
    • Sumber energi terbarukan: Energi geotermal dapat digunakan terus-menerus selama sumber panas dalam bumi tetap ada, sehingga merupakan sumber energi yang berkelanjutan.
    • Peningkatan perekonomian: Pengembangan energi panas bumi dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian lokal.
  4. Tantangan:
    • Investasi awal yang tinggi: Pembangunan infrastruktur pembangkit listrik panas bumi membutuhkan investasi awal yang besar.
    • Kesulitan dalam eksplorasi: Proses eksplorasi dan pengeboran untuk menemukan cadangan panas bumi yang ekonomis bisa memakan waktu dan biaya tinggi.
  5. Rencana Pemerintah:
    • Pemerintah Indonesia menargetkan untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik geotermal, dengan tujuan mencapai 7.000 MW pada tahun 2030 sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

Dengan potensi yang besar ini, panas bumi di Indonesia diharapkan dapat memainkan peran penting dalam penyediaan energi bersih dan berkelanjutan di masa depan.

POTENSI PANAS BUMI DI INDONESIA 

Panas bumi di Indonesia, atau lebih dikenal dengan istilah geotermal, merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang sangat potensial. Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik, yang membuatnya memiliki aktivitas vulkanik dan geotermal yang tinggi. Dengan banyaknya gunung berapi aktif, Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai panas bumi di Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi sumber daya geotermal yang sangat besar. Potensi ini sedang dikembangkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Berdasarkan data terbaru dari Badan Geologi, hingga akhir tahun 2009, terdapat 265 lokasi geotermal di Indonesia, baik yang berasal dari proses vulkanik maupun non-vulkanik. Sebanyak 252 lokasi panas bumi di Indonesia tersebar mengikuti jalur pembentukan gunung api yang melintasi Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Maluku. Dengan total potensi sekitar 27 GWe, Indonesia memiliki potensi energi geotermal terbesar di dunia. Sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, potensi energi panas bumi yang besar ini perlu dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang semakin menipis. Dengan adanya UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam pengembangan energi geotermal di Indonesia. Untuk mempercepat investasi di sektor panas bumi, informasi mengenai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) panas bumi yang dapat dikembangkan perlu disiapkan. Selain 33 WKP yang telah ditetapkan, sebanyak 28 peta saran WKP panas bumi dengan total potensi sekitar 13.000 MWe telah dibuat. Potensi ini diharapkan dapat mendukung pencapaian target pengembangan panas bumi untuk menghasilkan energi listrik sebesar 6.000 MWe pada tahun 2020.

PANAS BUMI KAWAH KAMOJANG 

Kawah Kamojang adalah sebuah kawah vulkanik yang terletak di wilayah Garut, Jawa Barat, Indonesia. Kawah ini terkenal karena aktivitas vulkaniknya yang menghasilkan panas bumi, yang dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kamojang merupakan salah satu lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Indonesia.

Panas bumi di Kawah Kamojang berasal dari aktivitas geotermal yang terjadi di dalam bumi. Air bawah tanah yang ada di kawasan ini dipanaskan oleh magma yang ada di kedalaman tanah, sehingga menghasilkan uap panas yang keluar dari permukaan tanah. Uap ini kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik melalui pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Kamojang memiliki potensi besar untuk menghasilkan energi terbarukan karena suhu uap dan gas yang sangat tinggi, menjadikannya salah satu sumber energi geotermal utama di Indonesia. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang pertama kali beroperasi pada tahun 1983 dan kini telah mengalami beberapa tahap pengembangan.

Dengan pemanfaatan yang tepat, panas bumi Kamojang dapat menyediakan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada sumber daya fosil, serta membantu memenuhi kebutuhan energi di Indonesia.

Menurut Neumann, penelitian tentang Kawah Kamojang pertama kali didokumentasikan secara rinci oleh peneliti Belanda. Pada tahun 1926, Taverne menggambarkan morfologi Kawah Kamojang dengan sangat mendetail. Ia mencatat bahwa lapangan fumarol di kawasan ini tidak terhubung dengan gugusan Guntur, karena dipisahkan oleh punggung gunung berapi tua setinggi 2.000 meter yang telah mengalami erosi.

Kemudian pada tahun 1929, Stehn menggambarkan lapangan fumarol dan sumur lumpur di Kawah Kamojang, dengan suhu yang tercatat berkisar antara 90-94C.

Sebelumnya, pada tahun 1896, Verbeek dan Fennema menduga bahwa Kawah Kamojang berada di sisi tenggara sebuah kaldera dengan radius sekitar 1.900 meter, yang memberikan kontribusi pada pemahaman lebih lanjut tentang struktur geologi di kawasan tersebut.

Pada tahun 1918, seorang peneliti bernama JB van Dijk mengemukakan ide revolusioner untuk memanfaatkan energi dari gunung berapi di Hindia Belanda. Gagasan yang diajukan oleh pengajar di Hoogere Burgerschool (HBS) te Bandoeng ini memicu berbagai penelitian dan diskusi kritis oleh para ahli seperti Escher, Taverne, Stehn, dan van Bemmelen.

Gagasan van Dijk dimulai dengan sebuah artikel berjudul "Krachtbronnen in Italie" yang dipublikasikan di majalah Koloniale Studien. Keberhasilan Italia dalam memanfaatkan panas bumi untuk energi listrik di Larderello, Italia Tengah, menginspirasi van Dijk untuk mendorong Pemerintah Hindia Belanda agar melakukan hal yang sama.

Namun, tulisan van Dijk mendapat respons yang kurang positif dari pemerintah. Bahkan, idenya dikritik dan dianggap tidak realistis untuk diterapkan di Hindia Belanda. Diperlukan waktu sekitar delapan tahun hingga pada tahun 1926, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengalokasikan anggaran untuk pengeboran sumur eksplorasi di Kamojang.

Antara 1926 hingga 1928, Netherland East Indies Volcanological Survey mengebor lima sumur eksplorasi dengan kedalaman 60-128 meter sebagai upaya untuk membuktikan potensi panas bumi di Hindia Belanda. Namun, potensi panas bumi tersebut hampir terlupakan hingga tahun 1960-an.

Tantangan Pengembangan Energi Panas Bumi

Senior Strategist dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, mengungkapkan bahwa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) menghadapi dilema besar, karena sumber panas bumi seringkali terletak di kawasan lindung atau konservasi. Hal ini mengharuskan proses perizinan yang rumit, melibatkan berbagai kementerian, lembaga, dan instansi daerah.

Grita menyatakan bahwa pengembangan PLTP bukanlah hal yang mudah. Proses ini menggabungkan sektor pertambangan dengan sektor energi, sehingga memiliki tingkat risiko yang tinggi.

Risiko terbesar adalah dampak lingkungan, mulai dari potensi pelepasan gas beracun hingga tingginya kebutuhan air. Selain itu, terdapat juga tantangan mitigasi bencana karena PLTP sering berada di jalur gunung berapi.

Fenomena ini menyebabkan perkembangan PLTP di Indonesia kurang menggembirakan, dengan beberapa target yang ditetapkan pemerintah belum tercapai dengan maksimal.

Lebih jauh Grita berkata"Menurut saya, jika pemerintah benar-benar serius mengembangkan PLTP untuk mempercepat transisi energi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah kajian mendalam atau mendorong riset lebih lanjut," ujarnya pada Kamis (21/11/2024). "Jangan sampai pengembangan panas bumi justru memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati."

Pemerintah dapat belajar dari Kawah Kamojang, yang menjadi saksi upaya pencarian energi terbarukan oleh Hindia Belanda selama 20 tahun, dengan pendekatan riset dan pendanaan yang serius. Saat ini, pemerintah menargetkan PLTP mencapai kapasitas 10,5 GW pada tahun 2035, meskipun pemanfaatannya baru mencapai sekitar 10% dari potensi panas bumi yang ada, yaitu sekitar 2,4 GW dari total potensi 24 GW.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia menghadapi beberapa kendala yang dapat mempengaruhi pengembangannya. Berikut adalah beberapa kendala utama yang dihadapi oleh PLTP di Indonesia:

1. Investasi Awal yang Tinggi

  • Biaya pembangunan yang besar: Pembangunan PLTP memerlukan investasi yang sangat besar, terutama dalam tahap eksplorasi dan pengeboran untuk menemukan sumber panas bumi yang tepat. Biaya pengeboran yang tinggi untuk memastikan keberadaan cadangan geotermal yang ekonomis menjadi hambatan utama.
  • Risiko finansial: Karena proses eksplorasi membutuhkan waktu dan biaya yang besar dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi, hal ini membuat banyak investor enggan untuk berinvestasi, terutama jika dibandingkan dengan sumber energi lain yang mungkin lebih cepat dan murah untuk dikembangkan.

2. Kesulitan dalam Eksplorasi dan Pengeboran

  • Lokasi sumber geotermal yang tersebar: Sumber panas bumi sering kali terletak di area yang sulit dijangkau, seperti daerah pegunungan atau wilayah dengan infrastruktur terbatas, sehingga membutuhkan biaya ekstra untuk pembangunan akses jalan dan fasilitas lainnya.
  • Proses pengeboran yang kompleks: Proses pengeboran untuk menemukan sumber panas bumi yang cukup besar dan ekonomis memerlukan teknologi yang canggih dan keahlian khusus. Pengeboran ini juga berisiko karena adanya kemungkinan sumur geotermal tidak dapat menghasilkan energi sesuai harapan.

3. Dampak Lingkungan dan Sosial

  • Dampak terhadap lingkungan sekitar: Meskipun panas bumi dianggap ramah lingkungan, beberapa aktivitas geotermal seperti pengeboran dan pengelolaan sumber panas dapat menyebabkan dampak negatif, seperti perubahan aliran air, kerusakan ekosistem lokal, atau emisi gas rumah kaca tertentu dari sumur geotermal.
  • Masalah sosial dengan masyarakat lokal: Kadang-kadang, pengembangan PLTP dapat berbenturan dengan kepentingan masyarakat setempat, seperti hak atas tanah, akses sumber daya alam, atau masalah dengan pemindahan penduduk. Penyelesaian masalah sosial ini sering kali memerlukan dialog dan kesepakatan antara pengembang dan masyarakat.

4. Regulasi dan Kebijakan Pemerintah

  • Keterbatasan insentif dan kebijakan yang mendukung: Meskipun ada potensi besar, perkembangan sektor geotermal terkadang terhambat oleh kurangnya kebijakan atau insentif yang cukup dari pemerintah untuk mendorong investasi di sektor ini. Hal ini termasuk masalah dalam perizinan yang kompleks dan proses administrasi yang memakan waktu.
  • Tarif yang tidak menarik bagi investor: Harga listrik dari PLTP sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil atau pembangkit listrik lainnya, sehingga tidak selalu menarik bagi pengembang atau investor yang ingin mencari keuntungan yang lebih cepat dan lebih besar.

5. Teknologi dan Infrastruktur

  • Keterbatasan teknologi: Meskipun Indonesia memiliki potensi geotermal yang besar, teknologi yang digunakan untuk eksplorasi dan pemanfaatan panas bumi di beberapa daerah masih terbatas. Inovasi dalam teknologi pengeboran dan pembangkitan energi geotermal dapat mempercepat pengembangan, tetapi terkadang teknologi yang lebih canggih masih memerlukan biaya yang tinggi.
  • Keterbatasan jaringan transmisi: Daerah-daerah yang memiliki potensi geotermal besar sering kali terletak jauh dari pusat-pusat konsumsi energi. Pembangunan jaringan transmisi yang memadai untuk mendistribusikan listrik ke daerah-daerah tersebut menjadi tantangan tersendiri.

6. Tingkat Ketergantungan pada Energi Fosil

  • Kebergantungan pada energi fosil: Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, termasuk panas bumi, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada energi fosil, seperti batu bara dan gas alam. Hal ini membuat pengembangan energi terbarukan, termasuk geotermal, kurang mendapat perhatian dan prioritas.
  • Persaingan dengan sumber energi lain: Energi fosil yang lebih murah dan sudah ada infrastrukturnya sering kali menjadi pilihan yang lebih mudah, meskipun ada kesadaran untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

7. Keterbatasan Sumber Daya Manusia

  • Kurangnya tenaga ahli: Pengembangan dan pengelolaan PLTP membutuhkan tenaga ahli dalam bidang geotermal, teknik pengeboran, dan manajemen energi. Indonesia masih menghadapi kekurangan tenaga ahli terlatih di bidang ini, sehingga membutuhkan waktu untuk mengembangkan kapasitas manusia yang dapat mendukung industri ini.

Kesimpulan

Energi panas bumi adalah panas yang berasal dari bawah permukaan bumi dan dianggap sebagai sumber energi terbarukan. Indonesia, yang terletak di zona vulkanik aktif ("Cincin Api"), adalah salah satu pemimpin dunia dalam produksi energi panas bumi. Namun, pengembangan energi panas bumi menghadapi penolakan dari banyak komunitas, aktivis, mahasiswa, dan pengamat lingkungan, yang telah menyuarakan ketidaksetujuan mereka melalui berbagai cara. Penolakan ini telah menimbulkan konsekuensi hukum di lapangan, karena proyek-proyek panas bumi dianggap berpotensi merusak lingkungan, ditambah dengan kurangnya edukasi dan kurangnya konsensus antara pemerintah dan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan hukum doktrinal (normatif), yang memanfaatkan bahan hukum seperti sumber primer, sekunder, dan tersier. Sebuah metode yang efektif untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Pendekatan ini merupakan tanggapan atas ketidakpuasan terhadap proses litigasi dan mengusulkan langkah-langkah seperti sosialisasi dan mitigasi, pendekatan adat, dan dialog komprehensif untuk mengatasi konflik antara pemerintah dan masyarakat.

. Moga bermnafaat *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun