Kamojang memiliki potensi besar untuk menghasilkan energi terbarukan karena suhu uap dan gas yang sangat tinggi, menjadikannya salah satu sumber energi geotermal utama di Indonesia. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang pertama kali beroperasi pada tahun 1983 dan kini telah mengalami beberapa tahap pengembangan.
Dengan pemanfaatan yang tepat, panas bumi Kamojang dapat menyediakan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada sumber daya fosil, serta membantu memenuhi kebutuhan energi di Indonesia.
Menurut Neumann, penelitian tentang Kawah Kamojang pertama kali didokumentasikan secara rinci oleh peneliti Belanda. Pada tahun 1926, Taverne menggambarkan morfologi Kawah Kamojang dengan sangat mendetail. Ia mencatat bahwa lapangan fumarol di kawasan ini tidak terhubung dengan gugusan Guntur, karena dipisahkan oleh punggung gunung berapi tua setinggi 2.000 meter yang telah mengalami erosi.
Kemudian pada tahun 1929, Stehn menggambarkan lapangan fumarol dan sumur lumpur di Kawah Kamojang, dengan suhu yang tercatat berkisar antara 90-94C.
Sebelumnya, pada tahun 1896, Verbeek dan Fennema menduga bahwa Kawah Kamojang berada di sisi tenggara sebuah kaldera dengan radius sekitar 1.900 meter, yang memberikan kontribusi pada pemahaman lebih lanjut tentang struktur geologi di kawasan tersebut.
Pada tahun 1918, seorang peneliti bernama JB van Dijk mengemukakan ide revolusioner untuk memanfaatkan energi dari gunung berapi di Hindia Belanda. Gagasan yang diajukan oleh pengajar di Hoogere Burgerschool (HBS) te Bandoeng ini memicu berbagai penelitian dan diskusi kritis oleh para ahli seperti Escher, Taverne, Stehn, dan van Bemmelen.
Gagasan van Dijk dimulai dengan sebuah artikel berjudul "Krachtbronnen in Italie" yang dipublikasikan di majalah Koloniale Studien. Keberhasilan Italia dalam memanfaatkan panas bumi untuk energi listrik di Larderello, Italia Tengah, menginspirasi van Dijk untuk mendorong Pemerintah Hindia Belanda agar melakukan hal yang sama.
Namun, tulisan van Dijk mendapat respons yang kurang positif dari pemerintah. Bahkan, idenya dikritik dan dianggap tidak realistis untuk diterapkan di Hindia Belanda. Diperlukan waktu sekitar delapan tahun hingga pada tahun 1926, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengalokasikan anggaran untuk pengeboran sumur eksplorasi di Kamojang.
Antara 1926 hingga 1928, Netherland East Indies Volcanological Survey mengebor lima sumur eksplorasi dengan kedalaman 60-128 meter sebagai upaya untuk membuktikan potensi panas bumi di Hindia Belanda. Namun, potensi panas bumi tersebut hampir terlupakan hingga tahun 1960-an.
Tantangan Pengembangan Energi Panas Bumi
Senior Strategist dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, mengungkapkan bahwa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) menghadapi dilema besar, karena sumber panas bumi seringkali terletak di kawasan lindung atau konservasi. Hal ini mengharuskan proses perizinan yang rumit, melibatkan berbagai kementerian, lembaga, dan instansi daerah.