Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penjor-Penjor Berjejer : Hari Raya Telah Tiba

23 September 2024   13:02 Diperbarui: 23 September 2024   13:58 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penjor melengkung indah di depan rumah wraga,  itu pertanda bahwa ada hari raya sebnetar lagi datang, dirayakan  dengan suasana meriah.    Hari ini, mulai meriah di Bali, Ya, karena ada hari raya Galungan, namun ada juga untuk acara  tertentu. Penjor menjadi identitas penuh makna, disana ada kegembiraan. Disana berpendar sebuah ekstasa rohani bahwa  keindahan adalah inisiasi kebahagiaan. 

Di bingkai itu, keindahan memberikan pengalaman estetis yang menyenangkan, menciptakan rasa kagum dan apresiasi akan ketakjuban manusia pada Yang memberikan Kehidupan.  Juga  ada binar-binar Ekspresi: mengalir untuk menyatakan diri bahwa, Keindahan dapat digunakan sebagai sarana ekspresi diri, baik dalam seni, musik, maupun arsitektur. Juga tak kalah penting dia adalah identitas emosi, sebab  keindahan sering kali membangkitkan emosi, memberikan ketenangan, kebahagiaan, atau inspirasi.

Manusia sebagai sosok " animal symbolicum , tak pernah lepas dari simbolisme: yakni banyak karya seni dan desain mengandung makna simbolis, menyampaikan pesan atau nilai tertentu, termasuk simbolisme penjor itu. 

Seperti halnya,pemikrian  sejak zaman Aristoteles, tradisi telah mendefinisikan manusia sebagai animal rationale (hewan yang rasional). Namun, Cassirer berpendapat bahwa ciri khas manusia bukan terletak pada sifat metafisik atau fisiknya, melainkan pada karyanya. Manusia tidak dapat dikenali secara langsung, tetapi harus dipahami melalui analisis terhadap alam simbolik yang diciptakan manusia secara historis.

Dengan demikian, manusia seharusnya didefinisikan sebagai animal symbolicum (hewan pembuat simbol). Berdasarkan pandangan ini, Cassirer berusaha memahami sifat manusia dengan mengeksplorasi bentuk-bentuk simbolik dalam semua aspek pengalaman manusia. Karyanya tercermin dalam tiga jilid Philosophie der Symbolischen Formen (1923--1929), yang diterjemahkan sebagai "The Philosophy of Symbolic Forms, dan dirangkum dalam An Essay on Man. W. J. T. Mitchell menggunakan istilah ini dalam esainya tentang "representasi" untuk menyatakan bahwa "manusia, bagi banyak filsuf baik kuno maupun modern, adalah 'hewan representasional', homo symbolicum [sic], makhluk yang karakteristiknya adalah penciptaan dan manipulasi tanda - sesuatu yang mewakili atau menggantikan sesuatu yang lain." Pada titik itulah kita hendak memaknai penjor.

Penjor, berkaitan salah satunya dengan  Hari raya galungan sebentar lagi, dirayakan oleh umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Tepatnya tanggal 25 September 2024. Bagi teman-teman yang berkunjung ke pulau bali, maka hiasan penjor depan rumah umat Hindu akan semarak.

Tempat berjualan asesoris Penjor (dokpri) 
Tempat berjualan asesoris Penjor (dokpri) 

 Pengalaman saya bertutur, Saya selalu membuat penjor, namun kinia sudah semakin simple, karena dengan membeli beberapa komponennya, kita bisa merakitnya, sehingga penjor dapat dengan mudah dibuat. Komponen itu telah di jual di pasar-pasar di Bali.

Berbeda dengan jaman dahulu, perlu mengambil dari ladang/tegalan yang ada pohon enau, untuk mengambil ambu, bambu juga kita cari ke kebun, kemudian semuanya dirakit dengan ornamen dibuat sendiri, dari janur kelapa atau janur dari pohon enau. Mengukirnya dari pagi sampai siang, biasanya setalah ayah dan ibu selesai memasak daging dan membuat banten, ngelawar di penampahan Galungan.

Kami membuatnya setalah makan agak siang, setelah itu baru berangkat ke swah, sambil mengumpulkan rumput untuk ternak, agar bisa merayakan Hari raya galungan, tanpa di ganggu oleh ternak piaraan kita.

MORFOLOGI PENJOR.

Penjor adalah tiang hias yang biasanya terbuat dari bambu, yang dihiasi dengan berbagai ornamen, seperti daun kelapa, bunga, dan buah-buahan. Penjor sering dipasang pada hari-hari besar keagamaan, terutama dalam perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali, Indonesia. Penjor melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan juga sebagai simbol keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual. Selain itu, penjor juga menjadi bagian penting dari tradisi dan budaya Bali yang kaya.

Penjor merupakan salah satu elemen budaya yang berperan penting dalam ritual keagamaan Hindu. Dalam ajaran Hindu di Bali, penjor dianggap sebagai bentuk persembahan atau ungkapan terima kasih kepada bumi yang telah memberikan kehidupan dan kesejahteraan kepada manusia (Sony Pratama, 2006). Kehadiran penjor dalam setiap ritual membuat acara tersebut lebih meriah, terutama karena ada anjuran dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyatakan bahwa penjor adalah komponen penting dalam perayaan Hari Raya Galungan-Kuningan. Seiring waktu, penjor telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Bali, namun maknanya mulai berubah di kalangan generasi muda yang tidak sepenuhnya memahami arti sebenarnya dari penjor (Studi et al., 2016).

Keindahan penjor terlihat dari hiasan-hiasannya yang artistik, menjadikannya terlihat indah dan berharga. Meski penjor menarik perhatian umat lain sebagai aksesoris dalam ritual, banyak umat Hindu yang belum sepenuhnya memahami makna penjor dalam konteks Galungan-Kuningan. Banyak di antara mereka yang membuat penjor hanya berdasarkan tradisi, tanpa memahami aspek filosofi dan etika yang terkandung di dalamnya. Secara umum, tidak ada perbedaan signifikan antara praktik Hindu di Bali dan Lombok. Umat Hindu di Lombok umumnya merupakan keturunan imigran dari Bali, sehingga ritual keagamaan di Lombok sangat dipengaruhi oleh tradisi Bali. Dalam menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu di Lombok juga membuat penjor sebagai simbol perayaan yang sakral (Pradnyanitasari, 2019).

Jenis Penjor 

Secara umum, terdapat dua jenis penjor, yaitu penjor upacara dan penjor hias, yang sama seperti di Bali pada umumnya. Penjor upacara digunakan dalam ritual keagamaan Hindu, khususnya pada Dewa Yadnya, seperti saat perayaan Galungan-Kuningan dan piodalan di pura, dan dapat dikenali dari isi penjor tersebut. Sementara itu, penjor hias dibuat untuk kegiatan Manusa Yadnya, seperti pernikahan, upacara potong gigi, dan acara resmi seperti penyambutan tamu dalam suatu kegiatan tertentu. Penjor berfungsi sebagai wujud fisik dari ungkapan rasa syukur umat Hindu atas segala anugerah yang diterima. Unsur-unsur penjor memiliki simbolisme, seperti yang tercantum dalam lontar Tutur Dewi Tapini:

- Bambu sebagai simbol kekuatan Hyang Brahma.

- Bambu yang tinggi melambangkan tempat yang tinggi, simbol gunung atau giri.

- Kain putih melambangkan kekuatan Hyang Iswara.

- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.

- Janur melambangkan kekuatan Hyang Mahadewa.

- Daun-daunan (plawa) melambangkan kekuatan Hyang Sangkara.

- Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.

- Tebu melambangkan kekuatan Hyang Sambu.

- Sanggah Ardha Candra sebagai simbol kekuatan Hyang Siwa.

Secara keseluruhan, penjor beserta perlengkapannya menjadi simbol kekuatan Sang Hyang Tri Purusa. Penjor yang telah dilengkapi dengan sarana ditancapkan di lebuh sebelah kanan pintu masuk pekarangan, dengan sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke arah jalan. Setiap bahan pembuat penjor memiliki makna dan filosofi tersendiri. Menurut lontar Tutur Dewi Tapini lamp. 26, disebutkan bahwa...

Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning  Jagat  Apang  Saking  Dewa  Mantuk  Ring  Widhi,  Widhi  Widana  Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa  Meraga  Candra,  Hyang  Sadha  Siwa  Meraga  "Windhune",  Sang  Hyang Parama Siwa Nadha" Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga  Sarwapala,  Hyang  Brahma  MeragaSarwa  Sesanganan,  Hyang  Rudra Meraga  Kelapa,  Hyang  Mahadewa  Meraga  Ruaning  Gading,  Hyang  Sangkara Meraga  Phalem,  Hyang  Sri  Dewi  Meraga  Pari,  Hyang  Sambu  Meraga  Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting

Penjor dalam Konteks Budaya Bali. 

Penjor dalam konteks budaya Bali mencerminkan keterkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan. Ini sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana, yang menekankan pentingnya tiga hubungan harmonis: antara manusia dan Tuhan, antar sesama manusia, serta antara manusia dan alam. Penjor yang ada dalam upacara adat Bali menggambarkan hubungan mendalam antara kehidupan spiritual masyarakat Bali dengan seni dan tradisi. Seni penjor sangat terkait dengan nilai-nilai agama Hindu yang membentuk pandangan hidup masyarakat Bali.

Selain itu, penjor juga melambangkan simbol-simbol flora dan fauna dalam kosmologi Bali. Dalam artikel "Jagad Raya: Representation of Flora and Fauna in Wooden Craft From A Cosmological Perspective", dijelaskan bahwa simbol-simbol dalam kerajinan kayu tradisional Bali, termasuk penjor, merefleksikan filosofi dan pandangan hidup masyarakat yang terhubung dengan alam semesta.

Dalam penelitian Atmaja (2016) yang berjudul "Kontestasi Penjor Galungan-Kuningan di Bali: Visualisasi Doa Petisi secara Demonstratif untuk Kemakmuran pada Era Masyarakat Tontonan," disimpulkan bahwa penjor merupakan simbol yang memiliki beragam makna, termasuk aspek agama, seni, ekonomi, dan sosial. Penelitian lain oleh Mahaputra (2016) berjudul "Komodifikasi Penjor di Kota Denpasar Tahun 2000--2015" menunjukkan bahwa penjor telah ada sejak pemerintahan Raja Sri Jaya Kasunu. Sebagai ciri khas agama Hindu di Bali, penjor tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap dalam ritual keagamaan, tetapi juga telah beralih fungsi dan berdampak pada kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan politik. Kedua studi ini fokus pada kajian bentuk dan sejarah penjor, serta mengkaji berbagai bentuk penjor yang digunakan selama perayaan Galungan dan Kuningan, sambil mengaitkan pemaknaan relevan dari komodifikasi yang ada. Dari sudut pandang pemaknaan, penjor yang beragam dan menarik mengaitkan perspektif agama sebagai simbol dalam menjalankan ritual keagamaan, terutama bagi umat Hindu. Kajian ini juga memanfaatkan pendekatan multidisipliner.

Menariknya, makna filosofis penjor tidak hanya terbatas pada Bali. Dalam artikel "Memaknai Tari Baris Sumbu di Pura Desa Semanik, Desa Pelaga, Petang, Kabupaten Badung", disebutkan konsep "purusa dan pradhana" yang ada dalam atribut penjor, seperti tipat dan bantal, melambangkan perkawinan antara pria dan wanita yang menghasilkan kehidupan baru serta kesejahteraan bagi masyarakat. Bentuk penjor yang melengkung juga dapat diinterpretasikan sebagai representasi kosmos, dengan berbagai ornamen yang mencerminkan flora dan fauna.

Bentuk melengkung penjor, yang menyerupai ular, menggambarkan dinamika alam semesta. Penjor juga berfungsi sebagai jembatan penghubung antara manusia dan Tuhan. Keberadaan penjor dalam berbagai upacara adat di Bali menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara sesama makhluk hidup, dengan alam, serta dalam hubungan vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Pada hari raya Galungan, umat Hindu di Bali biasanya membuat penjor. Penjor Galungan dipasang pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan, yang dikenal sebagai Penampahan Galungan, simbol dari tegaknya dharma. Penjor ini dipasang di sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Jika rumah menghadap utara, penjor diletakkan di timur pintu masuk.

Bagian atas penjor dan lengkungannya menghadap ke jalan. Bahan penjor terbuat dari bambu melengkung yang dihias dengan janur atau daun muda, serta daun lainnya. Perlengkapan penjor meliputi Pala Bungkah (umbian seperti ketela), Pala Gantung (kelapa, mentimun, pisang, nanas), Pala Wija (jagung, padi), jajanan, dan sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Di ujung penjor digantungkan sampiyan penjor yang dilengkapi dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan terbuat dari bambu, berbentuk persegi dengan atap setengah lingkaran, menyerupai bulan sabit.

Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai ungkapan rasa bakti dan terima kasih umat Hindu kepada Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga melambangkan rasa syukur atas kemakmuran yang diberikan. Bambu yang tinggi melengkung menggambarkan gunung suci, sementara hiasan seperti kelapa, pisang, dan padi melambangkan hasil bumi yang dikaruniai oleh Hyang Widi Wasa.

Penjor Galungan bersifat religius, memiliki fungsi tertentu dalam upacara, dan harus dilengkapi perlengkapannya. Dari segi bentuk, penjor melambangkan Pertiwi dan semua hasilnya yang memberikan kehidupan dan keselamatan, serta diwakili oleh dua naga: Naga Basuki dan Ananta Bhoga. Penjor juga simbol gunung yang membawa keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan penjor terdiri dari berbagai daun, sedangkan buah-buahan yang digunakan antara lain padi, jagung, dan kelapa.

Sejalan dengan pernyataan Titib (2003), penjor dalam agama Hindu memiliki beberapa fungsi simbolis, yaitu: 1) Meningkatkan dan memperkuat sraddha (keimanan yang mendalam) umat untuk menumbuhkan bhakti (ketaqwaan), yang akan membentuk kepribadian dengan moralitas tinggi dan pada akhirnya meningkatkan akhlak masyarakat; 2) Memelihara dan mengembangkan nilai seni budaya melalui seni arca, seni lukis, dan seni kriya yang sesuai dengan ketentuan kitab Silparasatra; 3) Mendorong kebersamaan di kalangan umat Hindu dalam menciptakan sarana pemujaan, terutama terkait dengan sakralisasi dan penggunaan simbol-simbol tersebut (Titib, 2003). Simbol dalam agama Hindu sangat berharga karena berfungsi sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menumbuhkan rasa bhakti dalam diri individu. Aspek-aspek tersebut sejalan dengan harapan untuk menciptakan kreativitas dan seni dalam komunitas umat.

Pembuatan penjor untuk upacara harus memenuhi syarat tertentu dan tidak boleh sembarangan. Penjor harus sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak hanya terlihat sebagai hiasan. Unsur-unsur dalam penjor merupakan simbol-simbol suci yang mencerminkan nilai-nilai etika Agama dan pengaplikasian ajaran Weda. Semat Hari Raya galungan dan Kuningan. Moga rahayu ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun