Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Kekhawatiran, Kran Eksport Pasir Laut dibuka?

20 September 2024   15:15 Diperbarui: 20 September 2024   17:38 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Readtimes.id

Menarik memang  berita  belakangan ini, bahwa  setelah 20tahun, kran eksportir pasir laut dibuka kembali.  Dan,  pengerukan dan pengiriman pasir laut dari wilayah Indonesia untuk dijual ke luar negeri diatur oleh Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024. 

Kedua peraturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang ditandatangani olehpResiden  Jokowi pada Juni 2023. Dalam PP tersebut, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa pengerukan pasir laut diperbolehkan untuk tujuan pembersihan sedimentasi dan pelestarian ekosistem. Pasir laut yang diperoleh kemudian dapat diekspor dengan ketentuan bahwa kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.

Banyak  kekhawatiran muncul atas kebijakan pemerintah saat ini untuk itu.  Kekhawatiran eksportir pasir laut meliputi beberapa aspek, antara lain: Pertama,  Regulasi dan Kebijakan. Perubahan dalam undang-undang dan kebijakan pemerintah yang dapat membatasi atau melarang ekspor pasir laut. Kondisi demikian rawan terjadi KKN, atau diberikan hak eksport itu pada kerabat atau  keluarga dan tim sukses. Inilah kekhawatiran yang selalu ada   di benak sebagaian masyarakat kita.

Kedua,  Apakah sudah dipikirkan dampak Lingkungan yang mungkin bisa terjadi, ketika hasil-hasil kajian dan  hasil-hasil riset harus dikedepankan sedini mungkin, sehingga masyarakat bisa tercerahkan.Kekhawatiran tentang dampak negatif penambangan pasir laut terhadap ekosistem laut, termasuk kerusakan habitat dan penurunan biodiversitas yang unik dari alam Indonesia.  Atau apakah kandungan pasir laut atau sidemen tiu tidak mengandung unsusr atau senyawa penting, yang lebih berharga?  Kekhawatiran-kekhawatiran ini memerlukan perhatian agar eksportir dapat beroperasi secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Isu sensitif muncul ketika eksport pasir laut ke Singapura untuk reklamasi dan negara itu bertambah luas, efeknya adalah negara kita bisa terncam pada batas negara,

Pihak pemerintah menyebutkan bahwa yang dieksport bukan pasir laut namun sedimen laut, akibat pendangkalan laut, sehingga perlu di eksport ke luar negeri, sangat sederhana, memang, hanya dengan karena mengganggu maka perlu dilakukan ekspor. 

Perbedaan pasir laut dan sedimen  laut

Perbedaan antara sedimen dan pasir laut dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: Sedimen laut mencakup berbagai material yang mengendap di dasar laut, sementara pasir laut merupakan salah satu komponen dari sedimen tersebut. Sedimen laut bisa berupa lumpur, kerikil, atau material organik yang telah lapuk, dengan ukuran yang bervariasi, baik lebih kecil maupun lebih besar dari pasir laut. Pasir laut, di sisi lain, terdiri dari butiran pasir yang berukuran antara 0,55 hingga 2,5 mm. Sedimen laut dapat ditemukan di seluruh dasar lautan, mulai dari zona pesisir hingga laut dalam. Sebaliknya, pasir laut lebih banyak ditemukan di sepanjang garis pantai, dasar laut yang dangkal, delta sungai, dan area pasang surut. Sedimen laut berperan sebagai penyimpan nutrisi dan material organik, serta memberikan habitat bagi berbagai organisme laut. Pasir laut memiliki fungsi penting dalam menjaga ekosistem pesisir, membantu menyerap energi dari gelombang laut dan mengurangi erosi pantai.

Pasir laut apa itu? 

Berlandaskan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 mengenai Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, Pasal 1 mendefinisikan pasir laut sebagai bahan galian pasir yang berada di bawah area perairan Indonesia dan tidak mengandung unsur mineral dari golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang signifikan dari perspektif ekonomi pertambangan.

Sediment apa itu?

Menurut Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 26 Tahun 2023, hasil sedimentasi adalah material alami yang terdapat di laut, yang terbentuk melalui proses pelapukan dan erosi, lalu terdistribusi oleh aktivitas kelautan dan akhirnya terendapkan. Hasil sedimentasi ini dapat diambil untuk mencegah gangguan terhadap ekosistem dan pelayaran.

Dari laman Wikipedia, menyebutkan bahwa sedimen laut merupakan bahan yang tidak larut dalam air, seperti batu dan partikel tanah, yang mengendap dan menumpuk di dasar lautan. Sedimen ini dapat terdiri dari sisa-sisa organisme laut, hasil aktivitas vulkanik bawah laut, endapan kimia dari air laut, serta bahan-bahan dari luar angkasa, seperti meteorit. Banyak sampel inti sedimen dari Samudra Atlantik dan Pasifik diperoleh melalui Glomar Challenger, yang merupakan kapal pengeboran laut dalam yang dilengkapi dengan peralatan khusus. Sampel-sampel ini ditemukan oleh peneliti dari Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan negara lain pada tahun 1986.

Sedimen yang mengendap di dekat benua menyumbang 90 persen dari total volume endapan dan menutupi 25 persen dari dasar laut. Proses sedimentasi laut dimulai dengan bencana seperti gempa bumi yang mengaduk material sedimen di area ngarai. Ketika bercampur dengan air laut, komponen padat dan cair yang terbentuk kemudian mengalir menuruni ngarai menuju tanjakan kontinen di dasar lereng. Dataran sedimen umumnya dapat ditemukan di Samudra Atlantik.

Menurut Science Direct, sedimen laut dalam merupakan habitat mikroba yang sangat luas, mencakup hampir dua pertiga dari permukaan bumi, dan sering kali memiliki akumulasi sedimen hingga mencapai 100 meter.

Berapa Besar penambangan pasir laut  di Dunia? 

Setiap tahun, 6 miliar ton pasir diekstraksi, memberikan tekanan pada kehidupan laut. Jenewa, 5 September 2023 -- Platform data global pertama mengenai ekstraksi pasir dan sedimen lainnya di lingkungan laut melaporkan bahwa industri pengerukan laut mengambil 6 miliar ton pasir per tahun, setara dengan lebih dari 1 juta truk sampah setiap hari. Hal ini berdampak besar pada keanekaragaman hayati dan komunitas pesisir.

Platform baru ini, Marine Sand Watch, memantau aktivitas pengerukan pasir, tanah liat, lanau, kerikil, dan batu di lingkungan laut di seluruh dunia, termasuk area kritis seperti Laut Utara, Asia Tenggara, dan Pantai Timur AS. Dikembangkan oleh GRID-Jenewa, dalam Program Lingkungan PBB (UNEP), platform ini menggunakan sinyal dari Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) dan Kecerdasan Buatan (AI) untuk mengidentifikasi operasi kapal pengerukan. Marine Sand Watch menyediakan data tentang area konsesi pasir, pengerukan modal dan pemeliharaan, pelabuhan perdagangan pasir, serta informasi mengenai jumlah kapal dan operator yang terlibat. Namun, platform ini belum mampu mendeteksi penambangan skala kecil di daerah pesisir yang sangat dangkal.

Diperkirakan antara 4 hingga 8 miliar ton pasir dan sedimen lainnya diekstraksi setiap tahun di lingkungan laut dan pesisir. Data dari 2012 hingga 2019 menunjukkan bahwa pengerukan semakin meningkat, mendekati tingkat pengisian alami yang diperlukan oleh sungai untuk mempertahankan fungsi ekosistem pesisir dan laut, yang berkisar antara 10 hingga 16 miliar ton per tahun. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi wilayah-wilayah yang mengalami pengerukan intensif.

Penambangan pasir dan kerikil di laut dangkal merupakan bagian penting dari berbagai kegiatan konstruksi, tetapi juga menimbulkan ancaman bagi masyarakat pesisir yang menghadapi perubahan iklim, seperti naiknya permukaan air laut dan badai. Pasir laut sangat diperlukan untuk membangun pertahanan pantai dan infrastruktur energi lepas pantai. Selain itu, ekstraksi pasir berisiko merusak ekosistem pesisir dan dasar laut, berdampak pada keanekaragaman hayati, serta dapat mempengaruhi salinitas akuifer dan potensi pariwisata di masa depan.

Praktik internasional dan kerangka regulasi sangat bervariasi. Beberapa negara, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja, telah melarang ekspor pasir laut dalam dua dekade terakhir, sementara yang lainnya tidak memiliki undang-undang atau program pemantauan yang efektif.

Dalam laporan "Pasir dan Keberlanjutan" tahun 2022, UNEP menyerukan perlunya pemantauan yang lebih baik terhadap ekstraksi dan penggunaan pasir. Laporan tersebut merekomendasikan untuk menghentikan ekstraksi pasir di pantai dan sistem pasir dekat pantai, serta menetapkan standar internasional terkait ekstraksi pasir di lingkungan laut.

Penambangan pasir dan kerikil di perairan dangkal menjadi bagian penting dari berbagai kegiatan konstruksi. Namun, hal ini dapat mengancam masyarakat pesisir yang harus menghadapi peningkatan permukaan air laut dan badai, karena pasir laut diperlukan untuk membangun benteng pantai serta mendukung infrastruktur energi lepas pantai, seperti turbin angin atau gelombang. Proses ekstraksi pasir dapat merusak ekosistem pesisir dan dasar laut, termasuk keanekaragaman hayati laut yang terpengaruh oleh kekeruhan air, perubahan ketersediaan nutrisi, dan polusi suara. Selain itu, penambangan di area pesisir atau dekat pantai dapat memengaruhi salinisasi akuifer dan pengembangan pariwisata di masa depan.

Praktik dan kerangka peraturan di berbagai negara sangat bervariasi. Beberapa negara, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja, telah melarang ekspor pasir laut dalam dua dekade terakhir, sementara negara lain tidak memiliki undang-undang atau program pemantauan yang efektif.

Dalam laporan tahun 2022 tentang Pasir dan Keberlanjutan, UNEP menekankan perlunya pemantauan yang lebih baik terhadap ekstraksi dan penggunaan pasir. Laporan tersebut merekomendasikan agar ekstraksi pasir di pantai dan sistem pasir dekat pantai untuk tujuan penambangan dihentikan, serta perlunya penetapan standar internasional untuk ekstraksi pasir di lingkungan laut.

"Dampak lingkungan dari penambangan dan pengerukan di perairan dangkal sangat memprihatinkan, termasuk terhadap keanekaragaman hayati, kekeruhan air, dan dampak kebisingan pada mamalia laut," ujar Pascal Peduzzi, Direktur GRID-Geneva di UNEP.

"Data ini menunjukkan perlunya pengelolaan yang lebih baik terhadap sumber daya pasir laut dan pengurangan dampak dari penambangan di perairan dangkal," tambahnya. "UNEP mengajak semua pemangku kepentingan, negara anggota, dan sektor pengerukan untuk melihat pasir sebagai material strategis dan segera terlibat dalam diskusi untuk meningkatkan standar pengerukan secara global."

UNEP/GRID-Geneva berencana untuk menyempurnakan data dan mengembangkan versi baru platform untuk memantau secara hampir real-time, serta meningkatkan kapasitas deteksi hingga hampir 100% untuk kapal pengerukan, serta membedakan dengan lebih baik antara jenis kapal dan aktivitas terkait.

Inisiatif ini didukung oleh Universitas Jenewa, dengan pendanaan dari Kantor Federal Swiss untuk Lingkungan Hidup dan Kementerian Federal Jerman untuk Lingkungan Hidup. Platform ini dibangun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UNEP/GRID-Geneva bersama mitra penelitiannya, Global Fishing Watch dan Universitas California Santa Barbara.

Pekerjaan yang dilakukan UNEP/GRID-Geneva sejalan dengan resolusi Majelis Lingkungan Hidup PBB untuk memperkuat pengetahuan ilmiah, teknis, dan kebijakan terkait pasir, serta mendukung kebijakan dan tindakan global yang ramah lingkungan terkait ekstraksi dan penggunaan pasir.

Moga bermanfaat *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun