Meredam angan-angan. Menjadi makhluk fana yang menjadikan-Nya ada.
Saya kutip kembali dengan penyesuaian, "... dua ekor burung yang saling terikat tidak akan bisa terbang bersamaan. Harus ada satu yang rela mati demi kebebasan yang lainnya."
Nafsu dan takwa. Setan dan malaikat. Pertarungan abadi terjadi meski kita menutup hati.Â
Sialnya, kita belum benar-benar sadar bahwa urusan duniawi hanya remah-remah roti basi, sebelum menghadapi kondisi hampir mati.
See?
Dua ekor burung yang terikat, menggambarkan dua kehendak yang berjarak. Satu burung yang jauh lebih kuat, punya kuasa untuk menentukan arah terbang mereka. Sementara yang lemah hanya akan tersakiti jika enggan mengikuti.
Bukankah, lebih baik mematikan ekspektasi dan belajar untuk berhenti?
Biarkan kepak sayap Ilahi bekerja. Memenangkan arah. Ke mana kita terbang, bertengger, dan menuju pulang.
Mematikan kebisingan di dalam diri, untuk mendengar-Nya berbisik lembut kepada hati. Melakukan sortir terhadap angan-angan yang sementara dan tidak bernilai abadi.
Lalu, mempertanyakan kembali perkara entitas dan eksistensi.
Agar kelak, kita menyadari, bahwa fokus pada perkara-perkara hakiki akan membuat kita enggan menyelisihi segala yang cuma debu dan polusi.