Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Penyintas yang Menyalami Rumi di Persimpangan Mati

1 Desember 2018   09:30 Diperbarui: 1 Desember 2018   10:08 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mandala membunuh Mandala dan menghidupkan jiwa lain dalam dirinya. Dua ekor burung yang saling terikat tidak akan bisa terbang bersamaan, katanya. Harus ada satu yang rela mati demi kebebasan yang lainnya.

Bagi seorang penjelajah aforisme Rumi, paragraf di atas pastilah terasa dekat. Ya, sekerat paragraf dari omnibus Tenggelam di Langit itu saya pungut dari salah satu karya Sang Mistikus.

Untaian sufisme yang untuk kesekian kalinya saya temukan di persimpangan, antara hidup, mati, dan gentayangan. Substansi yang lantas kembali bicara bahwa patah hati, menjadi upaya semesta memberi celah kepada cahaya untuk masuk dan merasuk dalam jiwa manusia.

Sampai di mana, saya? Sejauh apa saya menjadi?

Terjun bebas, barangkali menjadi satu frasa yang mendekati. Saya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Hanya debu kosmis yang memadat menjadi seorang pemikir yang berlebihan dan sulit lepas dari jeratan kepanikan.

Hingga November 2018, menjadi kali ketiga saya kembali bersinggungan dengan penyakit para overthinker. Gangguan lambung yang terkenal dengan sebutan GERD, Gastroesophageal Reflux Disease.

Hanya kalian yang pernah merasakan, yang paham betapa mengerikan "cobaan" itu. Nyeri ulu hati, sensasi terbakar, serta segala ngilu di rongga tubuh yang bergelombang dan membingungkan.

Apa yang bermasalah? Lambung atau jantung? Jantung atau empedu? Sesak ini ... paru-paru?

Tragisnya, dalam kasus saya, tidak ada apa-apa. USG, aman. Endoskopi, saya tolak.

Saya menyadari bahwa ternyata, serakan pikiran dan perasaan, yang menarik saya jauh dalam jurang pesakitan. Semakin tidak beruntung, ketika saya bergelimang di sekitar dunia yang gemar menghakimi, menyimpulkan, dan meremehkan.

Naik-turun kondisi saya menjadi amat janggal. Psikosomatik. Saya dapat berjalan jauh kala berpikir tentang kebebasan, lantas kembali terengah-engah ketika berhadapan dengan tekanan.

Yang menjadi sangat subjektif.

Tekanan bagi saya, bukan pekerjaan, bukan tumpukan tanggung jawab, bukan pula persepsi orang-orang. Sebagai seorang introver kronis, tekanan selalu timbul dari inti saya sendiri. Ekspektasi.

Berawal dari rasa sakit pada lambung yang menciptakan ketakutan dan kepanikan berlebihan, prasangka-prasangka liar bermunculan. Rasa tidak berdaya dan kebingungan, lantas mengikat jiwa saya semakin erat pada hantaman asam lambung yang semakin gila.

Lingkaran setan, tidak berkesudahan. Terhisap dalam lubang hitam yang justru saya syukuri sebagai jeda untuk mengenal diri dan Ilahi.

Melukis pengalaman romantis. Tahun 2015, saya tumbang selama 6 bulan. Tahun 2016, saya tersengal selama 2 bulan. Dan, tahun 2018, saya lunglai selama 1 bulan.

Konyol, tapi bagi saya, ini sebuah pencapaian. Penurunan waktu yang menunjukkan bahwa saya semakin mahir bertarung. Mengalahkan predator yang tumbuh dalam diri, serta menjinakkan pikiran-pikiran brutal dari alam imajinasi.

Lantas, apa yang menjadi senjata?

Doa dan kesadaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengirim Rumi, Ibnu Atha'illah, dan segenap jajaran penyampai pesan di setiap ujung jalan yang saya takuti. Percakapan, pembicaraan, dan perkataan mereka serupa embun pagi. Segar dan murni.

Selama tersesat di bulan ini, saya menyimak khotbah Rumi dan menyalami warisan-warisannya.

Menolong saya terjun bebas, memasuki ruang hampa dan bunuh diri. Mati sebelum mati. Mengenali sasmita takdir yang terkadang deras, terkadang panas.

Meredam angan-angan. Menjadi makhluk fana yang menjadikan-Nya ada.

Saya kutip kembali dengan penyesuaian, "... dua ekor burung yang saling terikat tidak akan bisa terbang bersamaan. Harus ada satu yang rela mati demi kebebasan yang lainnya."

Nafsu dan takwa. Setan dan malaikat. Pertarungan abadi terjadi meski kita menutup hati. 

Sialnya, kita belum benar-benar sadar bahwa urusan duniawi hanya remah-remah roti basi, sebelum menghadapi kondisi hampir mati.

See?

Dua ekor burung yang terikat, menggambarkan dua kehendak yang berjarak. Satu burung yang jauh lebih kuat, punya kuasa untuk menentukan arah terbang mereka. Sementara yang lemah hanya akan tersakiti jika enggan mengikuti.

Bukankah, lebih baik mematikan ekspektasi dan belajar untuk berhenti?

Biarkan kepak sayap Ilahi bekerja. Memenangkan arah. Ke mana kita terbang, bertengger, dan menuju pulang.

Mematikan kebisingan di dalam diri, untuk mendengar-Nya berbisik lembut kepada hati. Melakukan sortir terhadap angan-angan yang sementara dan tidak bernilai abadi.

Lalu, mempertanyakan kembali perkara entitas dan eksistensi.

Agar kelak, kita menyadari, bahwa fokus pada perkara-perkara hakiki akan membuat kita enggan menyelisihi segala yang cuma debu dan polusi.

"Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing there is a field. I'll meet you there. When the soul lies down in that grass, the world is too full to talk about."

-Rumi

***

Apa kabar, Kompasianer? Saya kembali.

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 01 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun