Naik-turun kondisi saya menjadi amat janggal. Psikosomatik. Saya dapat berjalan jauh kala berpikir tentang kebebasan, lantas kembali terengah-engah ketika berhadapan dengan tekanan.
Yang menjadi sangat subjektif.
Tekanan bagi saya, bukan pekerjaan, bukan tumpukan tanggung jawab, bukan pula persepsi orang-orang. Sebagai seorang introver kronis, tekanan selalu timbul dari inti saya sendiri. Ekspektasi.
Berawal dari rasa sakit pada lambung yang menciptakan ketakutan dan kepanikan berlebihan, prasangka-prasangka liar bermunculan. Rasa tidak berdaya dan kebingungan, lantas mengikat jiwa saya semakin erat pada hantaman asam lambung yang semakin gila.
Lingkaran setan, tidak berkesudahan. Terhisap dalam lubang hitam yang justru saya syukuri sebagai jeda untuk mengenal diri dan Ilahi.
Melukis pengalaman romantis. Tahun 2015, saya tumbang selama 6 bulan. Tahun 2016, saya tersengal selama 2 bulan. Dan, tahun 2018, saya lunglai selama 1 bulan.
Konyol, tapi bagi saya, ini sebuah pencapaian. Penurunan waktu yang menunjukkan bahwa saya semakin mahir bertarung. Mengalahkan predator yang tumbuh dalam diri, serta menjinakkan pikiran-pikiran brutal dari alam imajinasi.
Lantas, apa yang menjadi senjata?
Doa dan kesadaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengirim Rumi, Ibnu Atha'illah, dan segenap jajaran penyampai pesan di setiap ujung jalan yang saya takuti. Percakapan, pembicaraan, dan perkataan mereka serupa embun pagi. Segar dan murni.
Selama tersesat di bulan ini, saya menyimak khotbah Rumi dan menyalami warisan-warisannya.
Menolong saya terjun bebas, memasuki ruang hampa dan bunuh diri. Mati sebelum mati. Mengenali sasmita takdir yang terkadang deras, terkadang panas.