Anak laki-laki itu memandangi cabang-cabang ganjil di pucuk pohon oak tua. Seperti juntaian tangan, kaki, dan kepala yang kurus, sepi, dan sendiri, menghadap jurang.
"Kenapa dia melakukan itu, Kakek?"
Kakek menarik napas, terbatuk sebentar. "Dia kesepian, Bujang. Suaminya telah meninggal, sementara anak satu-satunya tidak kunjung kembali selepas izin mendaki Gunung Papandayan."
Mengigiti bibir, anak laki-laki tambun menggamit tangan kakeknya. Matanya berkaca-kaca. "Aku janji, akan terus menemani Kakek, dan tidak akan membiarkan Kakek kesepian seperti perempuan itu."
Sang Kakek tersenyum kaku, kehilangan kata-kata.
Dalam bungkam, dia merapal doa panjang dan penyesalan mendalam.
Menghukum diri atas luka dan duka Sang Ibunda, perempuan yang menjaring awan di Bukit Kesepian.
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 03 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H