Mereka memeluk, menyelubungiku dengan gumpalan keemasan beraroma pisang. Hei! Aku bahkan tidak perlu memintal, menenun, dan menjahit, mereka telah menyatu dan menjadi jubah indah untuk menerbangkanku.
Empuk, dan lembut. Alih-alih terbang, aku malah meringkuk menikmati sejuk dan nyamannya jubah keemasan yang terbuat dari awan.
Aku larut dan hanyut. Di atas pohon oak, aku tertidur nyenyak.
Ringan, ringan, terbang.
Menyusul Bujang.
***
Belasan tahun kemudian ...
Kesepian yang sendirian, tidak lagi bergumul dengan kesedihan. Anak-anak sering berkunjung, bersama kakek dan nenek mereka.Â
Kesepian kini sibuk bermain layang-layang, meniupi anak-anak dandelion, atau bergelantungan di dahan oak muda.
"Kakek, kenapa bukit ini disebut Bukit Kesepian?" Seorang anak laki-laki tambun bertanya pada kakeknya.
Wajah yang diliputi senja itu tersenyum. "Konon, ada seorang perempuan tua yang menjaring awan agar bisa terbang. Dia memanjat pohon oak tua di ujung sana." Jarinya yang tak lagi segar menunjuk ke utara. "Tapi, ketika sampai di puncak, dia kelelahan, tertidur, dan kehujanan. Tubuhnya yang penuh guratan dan cokelat tua membeku, mengeras, dan menyatu dengan pohon. Coba amati!"