Ah ... bagaimana aku tidak cemburu?
Ketika angin pun telah membelaimu, lebih dulu daripada aku. Saat angin menghambur ke pelukanmu, lebih cepat dibandingkan kaki rentaku. Tatkala angin meninabobokanmu, lebih lembut daripada senandungku.
Bukankah wajar aku cemburu?
Waktu kamu berkata, akan mencari jalan pulang pada puncak-puncak di atas awan, tertidur syahdu dalam buaian angin yang menderu, dan enggan pulang ke pangkuanku.
Sampai di mana kamu, Bujang?
Kelak, bilamana jubah berbahan awan berhasil membawaku terbang, aku akan pergi menemani ke seluruh tepi yang kamu ingini. Tanduk-tanduk jurang atau batu-batu karang, siap aku jabani. Â
Percayalah, cinta ini lebih setia daripada angin yang pandai bermain rasa. Cuaca saja dibuatnya galau sepanjang tahun, apalagi kita.
Biarkan aku merebut kembali jiwamu yang telah terpatri di gua-gua, pelataran hutan, dan tebing-tebing curam. Nanti kamu tahu, bahwa aku lebih mampu merawatmu, daripada batang pohon dan batu-batu.
Sabar, sebentar lagi. Sudahkah bosan?
Sejak dulu, barangkali aku terlalu sering memintamu menunggu. Nasi yang belum matang, air yang belum panas, baju lebaran yang cuma angan, sepatu yang belum terbeli. Apa itu yang membuatmu pergi, Bujang?
"Sudah selesai jaringnya, Puan?" Kesepian bertanya, membubarkan bayang-bayang kamu di mataku yang telah rabun belasan tahun lalu.