Aku mengatur sikap, menata kembali kepingan jigsaw yang berhamburan. Mengamati Geni, benarkah laki-laki ini bisa dipercaya?
Seolah dapat membaca pikiranku, Geni berkata gusar, "Jangan melihatku seperti itu. Aku bisa dipercaya. Aku janji akan membantu. Apa pun yang kamu butuhkan, En. Aku milikmu."
Wajahku datar, melempar tatapan tajam ke arah Geni. "Kamu pikir aku percaya dengan tipu daya serigala itu?"
Geni mengendikkan bahu, nyengir. "Percaya atau tidak, aku akan membantumu, Nona."
Aku pasrah, kembali duduk, demi bisa menghubungi Aquila, aku menyiapkan kisah yang mampu dicerna cecunguk macam Geni. "Dengarkan aku. Daisy dan Lily bukan entitas yang dapat kamu telusuri."
"Maksudmu?"
"Mereka bukan manusia seutuhnya."
Geni geming dengan wajah sangsi.
"Mereka hanya entitas buatan, dengan segala memori dan pikiran yang terprogram. Awalnya, mereka dapat kami kendalikan. Sebelum ... peristiwa yang kami sebut katastrofe terjadi."
"Kami?"
"Bulan Sabit Perak," Aku menjawab pelan. Berupaya menggali memori lebih dalam lagi. "Larisa, rekanku, turun tangan dan seharusnya menjaga Lily. Tapi, Daisy menjebaknya, dan mengubah Larisa menjadi Elfat. Larisa menjadi sebentuk kecerdasan buatan yang dibentuk oleh kecerdasan buatan lain. Mimpi buruk bagi kami."