Seorang perempuan muda bergumul dengan setumpuk jurnal dan buku-buku tebal. Di matanya, tersimpan bayang-bayang yang sulit hilang.
Riak-riak masa lalu yang butuh penebusan. Petir berpendar di runcing tatapannya, yang tidak pernah sepi oleh kerumunan ambisi.
"Nebula, kamu yakin mereka siap?" Seorang perempuan setengah baya menghampiri. Pakaian mereka hampir serupa. Jas putih berhias emblem bulan sabit perak.
Perempuan berkode nama "Nebula" menghentikan penelusuran dan meletakkan kacamatanya di atas buku tebal bergambar otak.
Ia mengurut pangkal mata yang pegal akibat terlalu lama berjibaku dengan jurnal-jurnal terkait kecerdasan buatan, psikiatri, neurologi, dan segala ilmu yang mereka butuhkan untuk mewujudkan segala perihal yang konon, hanya sebatas mimpi.
"Fiat experimentum in corpore vili. Biarkan percobaan bekerja pada tubuh tidak berguna. Larisa, misi kita tidak akan terlaksana jika kita tidak memasuki dunia nyata," Nebula berkata tegas, menyebut kode nama rekannya.
Wajah tirus Larisa menegang. Matanya nanar menatap tiga tubuh cantik yang tergolek tidak berdaya.
Di tepi ranjang tercantum nama-nama yang kelak, akan menjadi identitas mereka. "Daisy", "Lily", dan "Mica".
Larisa tercenung mengamati Lily, wajah blasteran Jerman-Indonesia yang mirip dengannya terpahat di sana. Selama beberapa detik, Larisa merasakan kakinya melayang, bagai tercerabut dari tubuh sendiri.
Ia berdecak kagum pada karya dokter bedah plastik asal Korea yang berhasil menduplikasi tubuh dan wajahnya pada sosok Lily.
Nebula mengamati ekspresi rekannya. "Larisa, hilangkan sifat melankolis itu. Kelemahanmu hanya akan menjadi mangsa mereka. Bukankah kamu yang bertugas mengawasi Lily?"
Larisa terdiam, hatinya dikerubuti keraguan.
"Cepat kemari, lihatlah rumah yang kelak akan menjadi lokasi karantina mereka."
Nebula menyalakan komputer. Belum sempat ia berkata apa-apa, segalanya menjadi hitam.
Dari segala penjuru, terdengar nyaring jeritan perempuan. Bukan hanya satu-dua orang. Lima? Tujuh? Sepuluh?
Waktu berlompatan. Nebula menggeram, menatap rekaman CCTV. Terlihat Larisa terkulai lemas di hadapan Daisy yang telah menemukan ruang rahasia di rumah karantina itu.
Rencana mereka runtuh bagai gelembung yang rapuh. Kondisi terburuk terjadi, nasib Bulan Sabit Perak tengah dipertaruhkan. Mereka harus segera menyiapkan siasat untuk merapikan kembali kekacauan yang ditimbulkan Larisa.
Nebula meraih telepon, "Aquila, Larisa dalam bahaya. Daisy menggunakan mesin kita untuk mencuci otaknya. Aku harus turun tangan."
Nebula terentak. Dimensi ruang dan waktu mengalami dilatasi. Tubuh mungilnya tersedot memasuki lorong gelap dengan kecepatan tinggi. Lama, tanpa kepastian.
Selepas cahaya menyambut, mata Nebula terbelalak. Napasnya memburu, dengan dada kembang kempis.
Linangan air mata membanjiri bajunya, yang telah berganti dengan terusan khas bohemian.
"En, apa yang terjadi? Bagaimana caramu kembali ke sini?" Suara laki-laki menarik kesadarannya. Geni.
"En? Ya, ya, En ..." Aku menggumam.
"Kamu pingsan di depan museum setelah mengucapkan ... apa? Fiat, fiat, corpus? Apa yang terjadi, En?"
Aku terkesiap. Kepalaku ngilu, gelombang memori memasukinya secara acak. Menyeruak dan terserak.
"Ya ... aku sudah ingat. Larisa, kita harus menyelamatnya!" Tidak jelas. Aku mendengar suaraku sendiri seperti berada di dalam air.
Kusingkirkan fakta bahwa aku baru saja diculik oleh Elfat, kembali bersandiwara demi bisa selamat, dan kemudian disingkirkan kembali oleh Lily. Entah apa maunya.
Geni terpaku, begitu juga aku.Â
Sejenak kemudian, aku merogoh saku. Tidak ada. "Sial, telepon genggamku hilang!"
"Ini, maksudmu?" Telepon genggam warna perak berada di tangan Geni. Lega. Aku segera merebutnya. Meleset.
"Tunggu. Benda ini aku tahan hingga kamu menceritakan apa yang kamu ingat. Siapa Larisa?"
"Jangan main-main. Sudah tidak ada waktu lagi!"
"Kamu butuh ini atau tidak?" Geni memainkan telepon genggamku. Dasar, laki-laki menyebalkan.
Aku mengatur sikap, menata kembali kepingan jigsaw yang berhamburan. Mengamati Geni, benarkah laki-laki ini bisa dipercaya?
Seolah dapat membaca pikiranku, Geni berkata gusar, "Jangan melihatku seperti itu. Aku bisa dipercaya. Aku janji akan membantu. Apa pun yang kamu butuhkan, En. Aku milikmu."
Wajahku datar, melempar tatapan tajam ke arah Geni. "Kamu pikir aku percaya dengan tipu daya serigala itu?"
Geni mengendikkan bahu, nyengir. "Percaya atau tidak, aku akan membantumu, Nona."
Aku pasrah, kembali duduk, demi bisa menghubungi Aquila, aku menyiapkan kisah yang mampu dicerna cecunguk macam Geni. "Dengarkan aku. Daisy dan Lily bukan entitas yang dapat kamu telusuri."
"Maksudmu?"
"Mereka bukan manusia seutuhnya."
Geni geming dengan wajah sangsi.
"Mereka hanya entitas buatan, dengan segala memori dan pikiran yang terprogram. Awalnya, mereka dapat kami kendalikan. Sebelum ... peristiwa yang kami sebut katastrofe terjadi."
"Kami?"
"Bulan Sabit Perak," Aku menjawab pelan. Berupaya menggali memori lebih dalam lagi. "Larisa, rekanku, turun tangan dan seharusnya menjaga Lily. Tapi, Daisy menjebaknya, dan mengubah Larisa menjadi Elfat. Larisa menjadi sebentuk kecerdasan buatan yang dibentuk oleh kecerdasan buatan lain. Mimpi buruk bagi kami."
"Tunggu," Geni mengetuk lantai, seperti memikirkan sesuatu. Wajahnya kebingungan. "Hm, tapi, En ... aku dan Lily ..."
"Apa?"
"Dia pernah menjadi kekasihku."
Aku membeku sejenak. Kalajengking biadab itu rupanya masih bersarang di sana. Berkeliling memainkan sengatnya. "Tidak mungkin. Lily seharusnya tidak punya masa lalu."
"Serius, aku berani sumpah. Dia yang membebaskan kita dari rumah itu. Kurasa dia masih mencintaiku," ujar Geni tengil.
Aku termenung. Mencari-cari kepingan memori yang masih tercecer. Sosok Lily hanya duplikasi diri Larisa, bagaimana mungkin Geni mengenalnya? Aku sadar, aku tidak pernah tahu nama asli Larisa. Apakah Larisa sebenarnya ...
"Ngomong-ngomong, apa itu Bulan Sabit Perak? Untuk apa kalian membuat monster?"
Aku menyingkirkan gangguan lubang hitam demi merespon Geni. "Kamu benar-benar ingin tahu?"
Geni mengangguk seperti anak kecil yang ditawari permen.
Aku menarik napas dalam, diam sejenak. Lantas, menuturkan sebuah cerita tentang kepiluan, sisi gelap, dan masa kelam, yang melibatkan jeritan sejumlah perempuan.
Wajah Geni yang awalnya sangsi, kini berubah pucat pasi.
.... bersambung.
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 30 Oktober 2018
*Cerpen ini dibuat untuk bermain-main dengan rindu : Desol, Putri, Lilik, Peb, Mim, En.
Cerita terkait:
11. Kaleidoskop Pikiran En
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H